PENGERTIAN DAN PEMBAGIANNYA

Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil –dalil syari’at yang darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :

1. Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.
2. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab(pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana (syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.

Tentang pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal tersebut adalah hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah syari’at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslahah mursalah.

Selanjutnya mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i. Sedangkan dalam istishhab tidak ada hujjah qath’I yg menetapkannya menjadi dalil syara’. Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan pernyatan ini, al-‘Amudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.

Sedangkan sadd al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum melainkan hanya sekedar kaidah yg menjadi subordinat dari kaidah dasar ma’alat al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah subordinatnya semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari’atkan) dan yg lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah.

Pembagian kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis) yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah mursalah,dan istishhab.

Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas. Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-macam jenis.

Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil –dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.

TERTIB URUTAN SUMBER-SUMBER HUKUM

Bila ditelusuri lebih jauh,sumber-sumber hukum islam baik yg telah disepakati para ulama dalam penetapannya maupun yang masih manjadi perdebatan pada dasarnya terkonsentrasi pada sumber uhukum naqliyah(dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-sunah. Karena sumber –sumber hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal namun bergantung kepada adanya legitimasi dari la-Qur’an dan al-sunah. Karena itulah al-Qur’an dan al-sunah adalah dalil primer dalam perujukan hukum-hukum syari’at. Hal ini didasarkan pada dua sisi :

1. Muatan al-Qur’an dan al-sunah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabangan secara detail sebagaimana hukum-hukum zakat,perdagangan,dan sanksi-sanksi pelanggaran.
2. Muatan al-Qur’an dan al-sunah yg mencakup kaidah universal yg menjadi sandaran hukum-hukum parsial dan cabangan sebagaimana ijma’ adalah hujjah dan merupakan sumber hukum,begitu pula qiyas dan lain sebagainya.

Legalitas al-Sunah sebagai sumber hukum juga tertera dalam al-Qur’an. Hal ini juga didasarkan pada dua sisi pandang:

1. Al-Qur’an memerintahkan untuk mengamalkan dan berpedoman kepada al-sunah.
2. Al-Sunah memiliki fungsi sebagai penjelas dari kandungan al-Qur’an.

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari’at al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila di al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunah karena al-sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di al-sunah tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’ karena sandaran ijma’ adalah nash-nash al-Qur’qn dan al-Sunah. Bila dalam ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.

Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah SAW menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya : “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “ Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “ Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “ Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yg memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yg diridlai oleh Allah dan rasul-Nya”.

Diriwayatkan dari Abu Bakar ra,ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunah Rasulullah SAW. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yg lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.

Wallau a’lam bi al-shawab.

Other Article



visit the following website Senyawa kimia Berita Bola