Di Pedalaman Amazon, Seks Tak Dibutuhkan
08.32
Diposting oleh Melany Christy
Makhluk-makhluk liar yang hidup di pedalaman hutan Amazon tak membutuhkan seks untuk kelangsungan hidupnya. Bahkan, pejantan pun tak berguna.
Contohnya saja koloni semut spesies Mycocepurus smithii. Semua anggota koloni semut ini dipastikan betina dan tak satu pun yang jantan.
Setelah dipelajari, mereka tetap bertahan hidup karena sang ratu semut memiliki kemampuan mengkloning diri. Sifat DNA setiap semut identik dengan DNA ratunya.
"Dalam dunia serangga sosial, banyak tipe reproduksi. Namun, spesies ini mengembangkan cara yang tidak biasa," ujar Anna Himler, biolog Universitas Arizona yang melaporkan hasil temuannya itu dalam Proceedings of the Royal Society B.
Ia mengatakan, reproduksi aseksual untuk menghasilkan hewan berjenis kelamin jantan pada beberapa jenis serangga memang terjadi. Namun, reproduksi aseksual yang menghasilkan betina belum pernah ada pada semut.
Para peneliti belum tahu mengapa semut ini mengubah cara reproduksinya dan sejak kapan melakukannya. Faktanya, koloni semut itu hidup di hamparan jamur yang juga melakukan reproduksi aseksual.
Dari kode genetikanya, semut tersebut diperkirakan telah hidup di "hutan jamur" sejak 80 juta tahun lalu. Bahkan, akibat tak lagi melakukan hubungan seksual, setiap individu sudah tak mungkin melakukannya karena alat reproduksi yang disebut organ mussel telah mengalami degradasi.
Ada keuntungan dan kerugian melakukan reproduksi kloning. Tingkat kesuksesan perkembangbiakan dari generasi ke generasi dapat mencapai 100 persen. Namun, dengan sifat genetika yang seragam, populasi menjadi mudah musnah jika terjangkit penyakit mematikan.
Beberapa Jenis Kodok Terancam Punah
08.05
Diposting oleh Melany Christy
odok masih dengan mudah kita temui di berbagai tempat di sekitar kita. Namun siapa sangka jika beberapa jenis hewan ampibi ini mulai langka di alam bebas, termasuk populasinya di Indonesia.
Menurut peneliti kodok dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hellen Kurniati, ancamana utama yang dihadapi kodok adalah hilangnya habitat, polusi lingkungan, pemanfaatan dan penyakit yang diakibatkan oleh jamur dan virus.
"Kerusakan hutan di Pulau Jawa juga berdampak pada status jenis kodok yang terdapat di dalamnya, terutama jenis-jenis yang endemik, yang tidak terdapat di pulau lain," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, di Jakarta, Selasa (25/11).
Dari data yang diperoleh Hellen, dari 5.915 jenis kodok yang sudah ditelaah statusnya oleh International Union for Conservation and Natural Resources (IUCN), sebanyak 1.893 jenis di antaranya berada dalam status terancam dan menuju kepunahan. "Di Indonesia terdapat sekitar 351 jenis kodok, dan lebih dari 100 jenis lainnya belum dideskripsikan, terutama jenis kodok dari Papua," lanjutnya.
Hellen menambahkan, ada dua jenis kodok endemik Jawa berstatus kritis (CR), yaitu Kodok Merah (Leptophryne Cruentata) dan Kodok Pohon Ungaran (Philautus Jacobsoni). "Kodok Merah hanya terdapat di hutan tropis dataran tinggi di Jawa Barat, sedangkan Kodok Pohon Ungaran hanya terdapat di hutan tropis Jawa Tengah," jelasnya.
Selain dua jenis yang berada di status kritis tersebut, masih ada empat jenis kodok endemik lainnya yang berstatus rentan, di antaranya, Kongkang Jeram (Hula Masoni), Kodok Pohon Mutiara (Nyctixalus Margaritifer), Kodok Pohon Kaki Putik (Philautus Pallidipes), dan Kodok Pohon Jawa (Rhacophorus Javanus).
Jangan Harap Bertemu Kodok Ungaran
07.51
Diposting oleh Melany Christy
BOGOR, - Meski belum termasuk dalam daftar sebagai hewan yang telah punah, kodok ungaran (Philautus jacobsoni) hampir tidak dapat ditemukan lagi saat ini. Hal tersebut dikatakan Hellen Kurniati, peneliti kodok dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Bahkan sampel spesimennya juga kita tidak punya," katanya di sela-sela training pengenalan amfibi di Museum Zoologicum Bogoriense, Cibinong, Bogor, Rabu (26/11). Satu-satunya sampel diambil tahun 1930-an dan disimpan di Museum Leiden, Belanda.
Bagaimana warna asli tubuh kodok tersebut pun Hellen mengaku tidak pernah melihatnya karena warnanya pudar setelah diawetkan. Sejak lebih dari tujuh dekade belum pernah ada yang melaporkan pernah melihat atau menemukannya kembali.
Kodok Ungaran merupakan spesies endemik yang dulunya hanya tinggal di dataran tinggi kawasan hutan Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Ukuran tubuhnya termasuk kecil dan arboreal atau hidup di lubang-lubang pohon.
Menurut Hellen penyebab utama menghilangnya kodok Ungaran adalah perubahan habitat besar-besaran. Hutan alam yang asri sudah tak dapat ditemui di Gunung Ungaran dan kondisinya berbeda sekali dibandingkan puluhan tahun lalu.
Meski demikian untuk menyebutnya punah belum dapat dilakukan. Statusnya dalam daftar merah International Unionm for Conservatioj of Nature (IUCN) masih CR (critically endangered). Apalagi sampai saat ini belum pernah dilakukan survei secara menyeluruh untuk memastikan tak ada lagi spesies tersebut di sana.
Belum ada rencana dari LIPI untuk menggelar ekspedisi pencarian kodok Ungaran karena terbentur biaya dan tingkat urgensinya. Nah, apakah perburuan kodok Ungaran akan kembali kecolongan lagi oleh peneliti luar negeri?
TEMPATKU BERPIJAK
09.19
Diposting oleh Melany Christy
by:Leoni Margaretha
Airmataku masih mengalir bila menyadari harus kehilangan sebagian kehidupan dan masa depanku, akibat dari kecelakaan fatal yang kualami setahun lalu. Kecelakaan yang merenggut kaki kiriku...
Kupandangi kakiku yang hanya tinggal sebelah, kaki kanan yang sendiri, tak ada teman saat berjalan, dan menopang tubuh. Namun kaki kananku tentu saja tak sesedih aku, karena akulah yang merasakan betapa beratnya hidup tanpa sepasang kaki yang lengkap.
Kejadian itu telah merubah total hidupku, aku yang dulu riang, bangga pada diriku, selalu optimis memandang masa depan, kini menjadi pendiam, minder dan menutup diri. Hidupku telah hancur.
Apalagi ketika kekasih yang telah menemaniku selama dua tahun, Thomas, meninggalkanku. Dengan alasan yang sangat sederhana, tak ingin merawat wanita cacat sepertiku seumur hidup.
Kuhela nafasku panjang, menahan perihnya hati kala mengenang semua, kadang sampai terlintas dibenakku untuk mengakhiri hidup yang sudah tak berguna ini, yang menjadi benalu bagi orang-orang yang aku sayang. Andai saja aku tak ingat perjuangan mamaku saat mempertahankan aku, aku pasti sudah melakukannya.
Tiba-tiba saja ponselku berbunyi...kulihat nomor yang muncul di layar. Entah siapa?
"Halo..." sapaku.
"Benar ini Vivian?" tanya seorang cowok dari seberang.
"Iya, siapa ini?"
"Aku Edo, Vi...ingat?"
"Edo? Hm...Edward Raditya?" tebakku, menyebut nama seorang sahabat yang dulu sempat mengisi hariku.
"Rupanya kamu masih mengingat aku, Vi,"
"Bagaimana aku bisa lupa?" aku bahagia, karena sahabat yang dulu pernah singgah di hatiku, tiba-tiba saja muncul, setelah hampir sepuluh tahun menghilang.
"Kamu tahu nomorku dari siapa?" tanyaku penasaran.
"Gina...beberapa hari lalu aku ketemu dia,"
"Aku juga udah lama nggak ketemu Gina, sekarang dia ada di mana? Dan kamu?"
"Aku dan Gina ada di Semarang, hm...besok Minggu, aku ke Yogya, bisa kasih tahu alamatmu, aku mau ke rumahmu," kata Edo mengejutkanku. Lalu aku kembali melirik kakiku, rasa sakit hati kembali menyelimuti hatiku.
"Minggu aku pergi, Do...maaf ya," jawabku lirih. Aku tak mau Edo kecewa karena aku bukanlah aku yang dulu, yang bisa menemaninya jalan kemanapun dia mau.
"Ya udah, nggak apa-apa, tapi lain kali kalo ada waktu kita ketemuan ya?"
"Hm.. iya," aku terpaksa memberikan janji palsu, hhh...
***
Dari situ bermula kembali, hubungan yang dulu sempat terputus. Edo sering menghubungiku, meskipun belum satupun pertemuan yang dia ingini, aku iyakan. Aku tak kan membiarkan Edo tahu, kalo aku cacat! Aku tak mau dia seperti temanku lain, yang memandangku sebelah mata, terlalu mengasihaniku atau menghindariku karena tak mau direpotkan. Karena itulah, aku terpaksa terus berbohong...maafkan aku, Do.
***
"Vi, aku nggak sabar pengin ketemu kamu nih...besok aku ke Yogya ya? Aku udah dapat alamat kamu dari Gina kok," kata Edo, lagi-lagi mengejutkanku. Aku panik, dan tak tahu harus bagaimana...
"Aku sibuk, Do, maaf," jawabku.
"Kalo malam pasti di rumah kan?" tanyanya penuh harap.
"Aku...aku udah pindah rumah!" aku kembali bohong! Aku benci kenapa harus terus melakukan ini.
"Kenapa kamu menghindari aku, Vi?" Edo mulai curiga,
"Aku bener-bener sibuk!" jawabku singkat. Kudengar Edo menarik nafasnya panjang.
"Vi, jujur saja aku sebenarnya ingin minta maaf sama kamu," katanya lirih. Edo minta maaf? Memangnya apa kesalahannya padaku?
"Dulu aku mengacuhkan perasaanmu, padahal sebenarnya aku tahu kalo kamu mencintai aku," Deg! Ternyata Edo tahu???
"Kamu pasti masih marah ya, karena itu kamu nggak mau menemui aku," sambungnya. Aku terdiam.
"Vi, asal kamu tahu aja ya, aku ingin menemui kamu, untuk memperbaiki hubungan kita... aku nggak pernah bisa melupakan kamu, aku sayang sama kamu, Vi," aku masih saja terdiam, hatiku hancur, dan perih... Airmatakupun mengalir deras membasahi pipi.
"Tapi aku sudah bukan aku yang dulu, Do," ucapku dengan bibir bergetar.
"Jadi kamu sudah menikah ya? Aduh, maaf...aku nggak tahu, kupikir kamu masih sendiri," kudengar Edo tertawa kecil namun aku tahu itu dipaksakannya.
"Tapi bukan berarti kita nggak boleh temenan lagi kan?" sambungnya. Kuhela nafasku panjang, mempersiapkan satu kebohongan lagi, sungguh tragis!
"Boleh...tapi jangan datang ke rumahku ya, suamiku pencemburu," kataku lirih.
***
Tok...tok...tok
Kudengar pintu rumahku diketuk. Aku segera meraih krekku dan berdiri. Betapa terkejutnya aku saat melihat sepasang mata yang dulu begitu akrab menatapku, dan sebersit senyum yang begitu melekat di hatiku...
"Edo?!?" kataku tak percaya. Sedangkan Edo menatapku dengan nanar, shock tak percaya memandang ketidak utuhanku. Dan itu terasa sangat menyakitkan untukku...
"Apa?!? Kaget?!? Sudah aku bilang kamu jangan pernah ke sini!!! Sudah puas kamu melihat aku seperti ini!!" bentakku. Namun Edo masih saja tak berkutik. Bahkan saat kututup pintu dengan keras, diapun masih terdiam. Aku menangis, hatiku hancur, sangat hancur... menyadari aku akan kehilangan Edo untuk yang kedua kali.
Tunggu...bukankah aku tak mau kehilangan Edo, lalu mengapa aku melakukan ini? Aku mengambil krekku lalu berjalan tertatih-tatih kembali membuka pintu. Namun Edo sudah tak ada di sana... aku menyesal...
Dan yang lebih kusesali, sejak kejadian itu, Edo tak pernah lagi menghubungi aku, Edo telah menghilang lagi...
***
Sebulan telah berlalu, mama memanggilku.
"Vi, ada teman kamu nih," katanya. Aku mengerutkan alisku. Teman? Bukankah semenjak kecelakaan itu, aku kehilangan semua temanku? Dengan penasaran akupun melangkah keluar.
Kulihat Edo duduk bersama mamaku. Dia melemparkan senyumnya padaku.
"Mama masuk dulu, Vi..." kata mama sambil menepuk bahuku.
"Ada apa kamu ke sini? Mau menertawakan aku?!?" ucapku ketus. Edo kembali tersenyum.
"Maaf ya, waktu itu aku pulang nggak pamit dulu sama kamu," katanya.
"Sudahlah, lupakan," kataku singkat.
"Aku punya sesuatu buat kamu...nih," katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan yang agak besar padaku.
"Kamu nggak perlu memberi aku apa-apa!"
"Sudahlah terima saja, aku tulus kok," Lalu aku membukanya, dan aku terkejut melihat isinya... sebuah kaki kiri palsu...aku menatap Edo tak percaya.
"Tapi ini mahal, Do..." kataku.
"Itu masih belum seberapa, Vi...ada yang lebih dari itu yang ingin aku berikan padamu," Edo menatapku lembut.
"Aku ingin memberikan kedua kakiku untuk menjadi tumpuanmu...pijakanmu, yang selalu mengiringi setiap langkahmu, dan tempatmu bersandar ketika lelah menghadapi semua cobaan hidup... Vi, aku mencintai kamu, menikahlah denganku," Edo menggenggam tanganku erat lalu mengecupnya.
Aku menangis bahagia, menyadari kecacatanku tak menghalangi Edo untuk menikahi aku, bahkan dia dengan cinta tulusnya, mampu mengembalikan rasa percaya diriku dan kehidupanku yang sempat hilang dan hancur.
Edo, terima kasih, telah memberikan harapan baru untukku.
Nafas Jiwa
08.23
Diposting oleh Melany Christy
Seberkas sinar menyilaukan menusuk pupil mataku, membuatku mengerjap perlahan. Tapi tunggu! Di mana saat ini aku berada?!? Lalu kubuka mataku, namun sinar putih itu menembusnya tajam hingga membuatku kembali memejamkannya.
Saatku kembali terpejam, memoriku kuputar kembali ke beberapa waktu lalu, yang kuyakin dengan begitu aku akan tahu jawaban dari pertanyaanku, di mana aku saat ini...
Kulihat seorang gadis dengan senyumnya yang sangat manis bergelayut di lengan kananku, sepintas aku lupa siapa dia? Aku hanya merasa bahwa dia adalah seorang yang sangat dekat denganku. Dengan manja dia terus bergelayut seolah tak ingin lepas barang sedetikpun. Lalu gadis itu merapatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik,
"Mas, kamu tahu nggak kenapa aku jadi seperti ini?" aku menggelengkan kepalaku.
"Karena saat ini aku bahagia, kamu tahu kenapa?" sekali lagi aku menggelengkan kepalaku.
"Aku hamil, Mas," ungkap gadis itu dengan memamerkan ekspresi bahagianya.
Ya Tuhan, kini aku ingat siapa gadis itu, dia adalah Rona, istriku yang sudah aku nikahi selama tiga tahun, istriku yang sangat aku cintai dan mencintai aku?!?
***
Aku kembali membuka mataku, masih silau namun aku berusaha untuk bisa menatap sekelilingku. Pertama yang kulihat hanya buram, namun lama-lama mulai nampak jelas. Aku berada di sebuah ruangan yang serba putih, dan beraroma obat-obatan, yah aku berada di kamar rumah sakit. Tapi kenapa aku berada di sini??? Sekali lagi aku mencoba mengembalikan ingatanku di peristiwa terakhir yang membawaku ke sini.
...(flashback)
"Ma, aku berangkat dulu ke rumah sakit," pamitku pada seorang wanita tengah baya, hm... mamaku???
"Tapi ini udah malam, Ren!"
"Nggak tahu kenapa, Ma, aku kangen banget sama Rona, lagian kan udah dari dua hari yang lalu aku belum ke rumah sakit,"
"Tapi kamu kan baru aja sampai dari luarkota?!? Apa kamu nggak cape???" aku menggelengkan kepalaku, buatku tak ada rasa capek untuk bertemu dengan istriku yang teramat aku cintai.
"Aku pergi dulu, Ma," ucapku lalu kucium punggung jemari wanita yang telah melahirkanku itu.
"Iya, tapi hati-hati di jalan ya,"katanya. Aku mengangguk.
Lalu aku pergi dengan mobil warna hitamku, tak seberapa lama, aku mendengar bunyi ponselku, bip... tit... dit... aku mengangkatnya.
"Kak Rendra, ini Marsha, barusan aja kak Rona menggerakkan jarinya, cepetan ke sini ya Kak,"
Lalu akupun segera melesatkan mobilku melebihi batas kecepatan normal, aku ingin segera melihat Rona bangun, aku tak sabar ingin melihatnya sadar, setelah sekian lama koma... koma???
***
Aku segera beranjak dari tempat tidurku, menyadari bahwa Rona koma, dan itu artinya aku harus bergegas menemuinya...
Akupun melangkah keluar dari kamarku, anehnya aku masih mengenali koridor menuju ke kamar tempat Rona dirawat. Akupun segera berlari ke sana, berharap melihat Rona telah tersadar dari tidur panjangnya.
Sesampainya di depan kamar itu aku masuk, namun masih saja beribu
kecewa kurasakan, karena Rona masih saja aku temukan terbaring lemah di sana. Lalu aku melangkah mendekatinya. Kusentuh keningnya lalu bibirnya, masih saja tak bergerak. Kuhembuskan nafasku panjang seraya menggenggam erat tangannya yang kurang lebih selama dua bulan membeku.
Lalu tiba-tiba saja sepenggal ingatanku kembali lagi.
...(flashback)
"Selamat, Pak, anak anda laki-laki," kata seorang dokter sesaat setelah keluar dari ruang persalinan.
"Lalu bagaimana dengan istri saya, Dok?" tanyaku panik. Dokter itu diam, lalu menarik nafasnya panjang,
"Istri anda banyak mengeluarkan darah, dan sampai sekarang dia masih belum siuman, teruslah berdoa Pak, hanya Tuhan yang bisa membantunya, sedangkan kami team dokter hanya bisa berusaha."
Bagai petir menyambar kepala dan hatiku, hancur berkeping-keping.
***
Tanpa sadar airmatakupun meleleh untuk yang kesekian kalinya. Aku kecewa jelas kecewa karena Tuhan tak mendengarkan doa yang kupanjatkan untuk Rona. Yang aku inginkan tidaklah banyak dan sulit, aku hanya ingin Tuhan memberikan yang terbaik untuknya, entah itu sadar ataupun pergi untuk selamanya... asalkan jangan membuatnya menderita seperti ini, terjebak diantara dua dunia... aku tak rela Rona harus merasakan semua ini?!?
Secepatnya kuhapus airmataku saat kulihat pintu kamar terbuka perlahan, Marsha, adik Rona, bersama seorang pria tengah menggendong tangan seorang anak berusia sekitar lima tahunan masuk ke dalam. Lalu anak itu turun dari pelukan pria itu dan berlari mendekatiku... hm, bukan... dia mendekati Rona.
"Mama, bangun, Ma, ini Rendra..." kata anak itu sambil menyebut namaku. Namaku? Bukan?!? Nama anak itu sama dengan namaku?!? Rona membuka matanya perlahan lalu tersenyum. Demikian juga dengan pria itu,
"Maafin aku ya, aku terlambat, jadi nggak bisa nemenin kamu melahirkan, tapi aku sudah melihat anak kita kok, dia cantik seperti kamu," katanya mengejutkanku.
"Aku yang harusnya minta maaf, San, nggak nungguin kamu datang... Kamu nggak keberatan kan? Aku ngotot untuk melahirkannya tepat ditanggal, hari dan jam yang sama dengan waktu kematian Mas Rendra? Dan aku juga ngotot untuk di tempatkan di ruangan ini agar..." kata Rona lalu menangis. Pria itu mengelus rambut Rona lalu berkata, "Sudahlah... aku bisa memakluminya kok."
...(flashback)
Aku melihat traffic light berwarna merah lalu sorot lampu menyilaukan sebuah kendaraan besar muncul dari arah kanan... tampak begitu jelas di mataku, dan dengan begitu cepat mendekat!!!
***
Segera kulepaskan tanganku dari tangan Rona, tubuhkupun bergetar, shock! Dan ternyata itu membuat Rona seperti menyadari kehadiranku. Matanya lembut menembus mataku, tepat! Meski mungkin dia tak benar-benar bisa melihatku.
"Agar kamu bisa menemui aku, Mas, maafkan aku," desisnya pelan, namun sangat jelas terdengar di telingaku.
***
Namun setidaknya aku kini bisa pergi dengan tenang, karena Rona kini telah hidup bahagia, meskipun bukan bersamaku lagi.
Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku untuk Rona, Kau telah memberikan yang terbaik untuknya, meski bukan yang terbaik untukku. Namun aku tetap merasa bahagia...
***
Tercatat waktu kematian Rendra: Selasa, 6 Januari 2004 pukul 00.15
Dan waktu kelahiran: Selasa, 6 Januari 2009 pukul 00.15
HOW STUPID I AM?!?
08.04
Diposting oleh Melany Christy
Berbagai cara sudah aku coba untuk bisa melupakan sosoknya dengan selalu mengenang kejadian menyakitkan yang pernah terjadi di dua belas tahun yang lalu, tapi tetap saja aku tak pernah bisa lupa.
Entah kenapa sosok dirinya masih begitu melekat erat dalam hatiku, bahkan semakin parah saja, sehingga membuatku tetap sendiri diusiaku yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun ini. Kenapa tak ada pria yang bisa menggantikan posisinya di hatiku? Kenapa aku tetap mencintainya meskipun berulang kali dia menyakiti hatiku? Kenapa aku begitu bodoh? Sampai kapan aku mau terus begini? Seribu pertanyaan memenuhi benakku...
“Aya...” suara mamaku membelah lamunanku, segera aku mengubah ekspresi sedih di wajahku, aku tak mau mamaku tahu keresahanku. “Apa, Ma?”
“Besok tante Erni datang, bukan apa-apa sih... ehm, maksudnya beliau mau mengenalkan putranya ke kamu...,” lagi-lagi... kutarik nafas panjang, sudah tiga kali ini mama berbuat begini, aku sih maklum saja, itu semua karena kedua adik perempuanku sudah menikah.
”Kamu masih belum menyerah kan,Ya?” kutarik bibirku mencoba tersenyum,
“Sebenarnya Aya sudah capek, Ma... tapi buat Mama, Aya akan selalu coba...,” Mama mendatangiku lalu mengusap rambutku,
“Bukan maksud mama menjodohkan kamu, Ya... mama cuma mau bantu,” aku anggukkan kepalaku, “Thanks, Ma,”
***
Seperti kata mama kemarin, tante Erni teman SMU mama datang. Akupun bergegas merapikan rambut panjangku, dan masih tetap dengan perasaan dingin aku keluar kamar... sama seperti yang kurasakan saat kedatangan kedua teman mama yang lain sebelum ini. Aku berhenti sejenak di depan pintu saat memandang pria bertubuh tinggi yang saat ini tengah berdiri berhadapan dengan mama, dan itu artinya membelakangi aku. Sejanak aku terkesima, sosok itu mirip... tapi model rambutnya berbeda... jantungku mulai berdebar, lalu kuhela nafasku panjang, kenapa dari belakang sosoknya mirip sekali dengan Andre...? Pria yang selama ini tak mampu hilang dari pikiranku.
“Aya...,” mama melambaikan tangannya kearahku, mataku terus menatap pria itu nanar. Akupun melangkah mendekat, sambil terus mencoba menenangkan diri. Sedangkan pria itu sama sekali tak menoleh kearahku, tante Erni tersenyum, “Hai, Ya...,” sapanya.
“Malam, Tante,” balasku.
“Kenalin nih...,” Deg!!! Jantungku benar-benar copot, yang benar saja... dia benar-benar Andrean Satria...
“Hai, Ya... kita ketemu lagi,” sapanya sambil mengulurkan tangannya. Dengan hati gundah gulana aku balas jabatan tangannya yang hangat.
“Lho kalian kok...,” ucap mama bingung.
“Aya dan Andre sempat berteman waktu SMU, Ma,” ucapku.
“Berteman?” balas Andre. Ups! Aku merasa konyol mengatakannya, tapi..., “sebenarnya kami sempat pacaran, bukan begitu, Ya?” Andre tetaplah Andre... orang yang suka bicara blak-blakan dan apa adanya.
“Wah kebetulan dong kalo gitu...,” ucap tante Erni seraya tersenyum menggodaku.
“Kalo gitu, kalian nostalgialah dulu, mama sama tate Erni masuk ke dalam dulu,” lalu mereka berdua meninggalkan kami.
Cukup lama aku terdiam, canggung rasanya meskipun mungkin pertemuan kembali ini sangat aku harapkan.
“Kamu masih sama seperti dulu, Ya..., cantik dan lugu,” kata Andre memecahkan keheningan. Namun aku masih diam, aku malah kembali teringat saat terakhir kali aku bertemu dengannya, kejadian itu... sangat menyakiti aku. Tanpa sadar airmatakupun menitik, dan Andre mengusapnya dengan lembut.
“Aku minta maaf, Ya...” katanya. Maaf? Kenapa satu kata itu tak pernah terpikir olehku... apakah aku bisa memaafkannya atas kejadian itu? Kalo tidak... kenapa aku masih menyimpan perasaan cinta padanya? Kenapa semua ini ternyata begitu membuatku bingung... Aya apa sih maumu? Katamu cuma Andre... dan sekarang dia telah berdiri di depanmu, tapi kamu nggak bisa mengucapkan apapun... bahkan kata maafpun tak pernah terpikirkan olehmu?!?
“Aku ingin mengulangi semuanya dari awal, kalo kamu nggak keberatan, Ya..., aku ingin memperbaiki hubungan kita dulu,” Andre ingin memperbaikinya, ini kan yang aku seharusnya harapkan, tapi kenapa seolah aku tak bisa mengharapkan dia... kenapa aku ini? Terbayang lagi kejadian per kejadian dimasa laluku, begitu playboynya pria satu ini, putus sambung lebih dari sepuluh kali dalam satu tahun... dan yang terakhir kalinya...
“Kamu terlalu percaya diri, kalo aku nggak akan mungkin mutusin kamu, Ya,” ucapnya saat itu.
“Tapi kamu selalu minta kembali ke aku kan?” balasku tak mau kalah waktu itu.
“Itu semua ada alasannya... , mau tahu?” bisiknya, “karena kamu adalah cewek yang paling bisa aku bodohi... hahaha...,” Sekeras mungkin aku tampar pipi Andre, sakit mungkin tapi tetap tak sesakit luka hatiku...
"Eh, kamu kira aku sungguh-sungguh mencintai kamu ya!” sekali lagi Andre mencelaku, dan sekali lagi hampir aku mendaratkan tamparanku yang kedua di pipinya, tapi tangannya keburu menangkapku.
“Mana ada sih cewek yang mau diajak balik setelah cowoknya menyeleweng kecuali kamu, Ya... udah gitu sampai berulang-ulang lagi... konyol!!!” tangan Andre menghempaskan tanganku keras. Hhh...
***
“Ya... Aya,” panggil Andre menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menatapnya tajam,
“Sekali lagi untuk kesekian kalinya, An... aku maafin kamu,” kataku. Andre tersenyum seraya menggenggam tanganku, aku segera melepaskan tanganku..., “tapi aku bukan Aya yang dulu begitu bodoh di matamu, aku nggak akan mengulanginya lagi,”
“Tapi aku yang sekarang juga bukan aku yang dulu, Ya... aku sudah berubah,” balas Andre.
“Apalagi kamu sudah berubah, An... aku akan merasa belum pernah mengenal kamu, kenapa aku harus nekat pacaran dengan seseorang yang belum pernah aku kenal?” Sungguhkah aku mengatakan ini pada Andre? Aku sendiri tak percaya... aku yang begitu tak bisa melupakan Andre... setelah duabelas tahun ini.
“Maaf, An... aku nggak bisa,” aahhhh... lega rasanya dadaku setelah sekian lama aku terkungkung dalam bayangan pria ini, seolah kini aku terbang bebas... lepas semua beban yang selama ini menghimpitku... dan aku tak menyesal dengan keputusanku ini, yang jelas aku bukan Aya yang bodoh lagi... sekarang aku sudah berubah, mulai hari ini... mulai detik ini... aku sudah berubah. Aku mengembangkan senyumku yang kali ini tak aku paksakan,
“An, maaf ya,” kataku. Andre tersenyum kecut.
“Kamu merasa menang sudah menolakku?!?” katanya mengejutkan aku.
“Di sini nggak ada yang menang dan yang kalah, An...,”
“Lalu kenapa kamu tersenyum?”
“Aku merasa beban yang selama ini aku tanggung, raib begitu saja... terima kasih, An... kamu sudah membantuku menghilangkannya,”
“Aku sama sekali nggak merasa membantumu... aku datang ke sini hanya karena aku mau tahu apakah kamu masih tetap Aya yang bodoh seperti kataku dulu,” Deg!!! Aku menatap Andre tak percaya, dia kembali mengatakan aku bodoh...
“Dan ternyata masih tetap saja bodoh... sudah tahu nggak bisa melupakan aku, nggak mau aku ajak balik lagi, aku harap kamu menyesal?!?” aku terkejut, namun aku malah bahagia, bersyukur karena ternyata aku tak salah menolaknya.
“Aku nggak menyangka kamu tetap nggak berubah juga, An... hm... pokoknya thanks deh, apapun yang kamu katakan, aku tetap thanks ke kamu, tunggu ya aku panggil mama dan tante..., aku capek mau tidur, sekali lagi thanks, An..., untung banget lho kamu datang,”
Mulai malam ini aku tak pernah lagi mengharapkan Andre, bayangannya di hatiku sudah aku cabut seakar-akarnya hingga tak bersisa lagi. Esok hari akan aku jalani hari baru, yang lepas dari bayang-bayang Andre... bahkan sekarang aku sempat heran, apa sih kelebihannya yang membuat aku tak bisa melupakannya? Kelebihan gengsi kali’ atau... aku hanya mengharapkannya, supaya bisa membalasnya? Entahlah...
Rumah Itu...
07.31
Diposting oleh Melany Christy
Hari ini adalah hari pertama aku bersama mama papaku menempati rumah baru, setelah rumah lamaku laku terjual. Entah apa sebabnya papa menjual rumah yang sudah terlanjur kusayangi itu dengan pindah ke rumah kuno yang hampir seluruh cat dindingnya mengelupas ini. Rumah antik bangunan Belanda, kata mama yang kudengar ketika berbincang dengan papa. Yah, benar-benar antik kurasa, lihat saja pintu dan jendelanya yang besar dan tinggi, dan kamar-kamar yang sangat luas dan lembab, dengan langit-langit yang dua kali lebih tinggi dari biasanya!
Dan malam ini kamarku hanya mendapat pantulan sinar lampu dari luar jendela dan lubang udara. Selain itu juga udara kurasakan sangat dingin. Saking dinginnya sampai membuat tubuh mungilku menggigil dan gigi-gigiku bergemeretak keras. Sedangkan kepalaku terasa sangat berat bagai tertindih sebuah batu besar, mata dan dadaku terasa sangat panas. Ada apa denganku?
Sayup-sayup kudengar suara gamelan di antara denging telinga. Suara itu makin jelas terdengar hingga menembus dinding kamarku. Kucoba membuka mataku yang mulai perih, memastikan tak ada seorangpun yang mencoba mengiburku dengan memainkan musik aneh itu. Dan ternyata memang tak ada seorangpun bersamaku kecuali aku dan bayangan… Bayangan? Kulihat pantulan sinar lubang udara yang tergambar di dinding, tidak sepenuhnya kotak, sebagaimana bentuknya, tapi… seperti ada sesuatu yang membuatnya begitu. Penasaran, kumiringkan kepala menatap ke lubang itu, dan… kulihat di sana…
Sebuah kepala hitam berambut, bermata merah, semerah darah dengan seringai senyum yang mempertontonkan deretan gigi kuning dan runcing. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, bagaimana mungkin manusia bisa memanjat lubang udara setinggi itu? Manusia? Bukan! Itu jelas bukan manusia! Kucoba mengerjapkan mata berulang kali, tapi ternyata sosok itu tak mau pergi… malah kini terus menerus menggeleng berusaha agar bisa masuk ke lubang itu, dan lama kelamaan dia berhasil semakin melesak ke dalam, seolah ingin menghampiriku. Ini mustahil, tak mungkin ada yang bisa melakukan itu, lubang itu terlalu kecil, kalaupun bisa masuk paling hanya kepala saja… tapi ternyata... memang hanya kepalanya yang masuk, karena tak ada tubuh yang menempel padanya… apa yang harus aku lakukan??? Sedangkan suara nafasnya yang bergemuruhpun mulai terdengar… gruk… gruk… gruk… disertai aroma seperti kambing basah bercampur anyir darah yang menyeruak menusuk tajam ke dalam lubang hidungku!
Aaaahhhhh!!! Akupun menjerit sebelum makhluk kepala itu berhasil menghampiriku. Klik, lampupun menyala dan Mama masuk ke kamarku dengan panik,
“Ada apa, Nit? Kamu kenapa?” Mama memelukku erat.
“Ya ampun Nit, badan kamu panas sekali, kamu demam! Sebentar mama ambil obat dulu!” kata mama seraya beranjak akan meninggalkanku. Karena takut aku menahan tangan mama.
“Mama, jangan pergi, Nita takut!” kataku dengan suara gemetar. Mama tersenyum.
“Takut apa sayang?”
“Ada monster kepala yang mau masuk lewat lubang udara, Ma…,” kataku. Mama kembali tersenyum lalu mengelus kepalaku.
“Monster itu nggak ada, Nit… itu cuma khayalan kamu aja, karena kamu lagi demam,”
“Nita nggak berkhayal, Ma, Nita juga dengar ada musik Jawa,”
“Nita, seorang anak yang lagi kena demam biasanya memang begitu, pikirannya jadi kemana-mana, kamu nggak usah takut ya…,” mungkin ucapan mama benar. Karena saat kulihat ke lubang udara, monster itu benar-benar tak ada. Akupun lega. Lalu kubiarkan mamaku meninggalkan aku sebentar untuk mengambil obat. Yah setidaknya mama membiarkan lampu dalam keadaan menyala….
Tapi apa yang terjadi?
Suara gamelan kembali terdengar dan monster itu… kembali tersenyum padaku, masih melalui lubang udara yang sama.
“Ini cuma khayalanku…, ini cuma…” pikirku sambil menutup mata dan mengatur degub jantungku yang mulai mengencang.
Gruk…gruk…gruk… ya Tuhan, nafas berat itu tepat terdengar di telinga kananku, semakin jelas dan semakin jelas… dan bau itu...
Aaahhhhh!!! Aku kembali berteriak sekuat tenaga. Namun kali ini mama tak datang. Lalu akupun kembali berteriak… mama benar-benar tak datang. Ke mana mama? Kenapa mama membiarkan aku yang sedang sakit ini sendirian, bersama monster yang sangat mengerikan! Bagaimana kalau ternyata monster itu memakanku? Mama……
Lalu kuberanikan diri untuk membuka mataku…
Byaaarrr! Silau oleh sinar yang sangat terang, akupun kembali terpejam. Lamat-lamat kudengar suara orang berbicara,
“Maaf, Bu, saya sudah berusaha, tapi tetap Tuhan yang menentukan,” Lalu terdengar tangis yang menderu-deru… kulihat mama dan papa berlari ke arahku, tidak! Bukan ke arahku melainkan pada seonggok tubuh yang tertutup selimut dari ujung kepala hingga kaki. Siapa itu? Kenapa mama dan papa menangisinya? Dan ketika mama membukanya dan menciuminya barulah aku melihat siapa sosok itu… adalah aku! Aku terkejut lalu terdengar suara tepat di telinga kananku… gruk… gruk… aku menoleh. Dan ternyata monster itu telah ada di sampingku, tanpa perasaan ngeri aku membiarkannya membawaku, menuju ke arah suara gamelan…
***
Anita adalah anak ke duabelas yang meninggal di rumah itu. Rumah yang menyimpan misteri oleh adanya roh penari Jawa penculik anak-anak yang konon dibunuh suaminya dengan cara dipenggal dan dibakar lantaran tak bisa memberi keturunan. Uniknya semua anak yang hendak diculik mengalami gejala demam yang sama. Setelah kejadian itu, rumah tersebut dirubuhkan setelah diberi sesajen selama 40 hari 40 malam.
Puisi "Tuhan, ambil saja Nyawaku "
07.19
Diposting oleh Melany Christy
Tuhan ambil saja nyawaku
Bila senyum dari bibir
Adalah tangis nelangsa
Di hati...
Tuhan angkat saja rohku
Bila orang yang kuharap
Yang kucinta sampai akhir hayat
Tak lagi buat rasa nyaman...
Tuhan tarik saja nafasku
Bila tak ada arti lagi
Yang ingin kuraih
Dalam hidup ini...
Tuhan cabut saja jantungku
Bila tak lagi dapat
Yang kucari di dunia ini
Kebahagiaan...
Gadis Berjilbab Itu
07.08
Diposting oleh Melany Christy
Aneh sekali mimpi itu, ya. Kita hanya bisa menebak-nebak apakah yang hendak diberitakannya – kabar dari masa kelakkah yang dibawanya, atau hanya sekadar suara-suara dari ingatan yang diambil begitu saja, acak, dan tak bertujuan. Aku tak tahu. Tapi, kadang aku berpikir seperti ini. Mimpi itu seperti maling. Munculnya perlahan-lahan, langkahnya mengendap-endap, seringkali menengok ke kiri dan ke kanan, dan memakai jubah sewarna malam.
ia sebenarnya tengah menunggu waktu yang tepat untuk pergi ke gudang pikiran: tempat berdebu di mana keinginan-keinginan yang tak sampai dan ketakutan-ketakutan yang telah kita simpan jauh-jauh dan kita gembok, teronggok begitu saja. Aku sering heran sendiri bagaimana ia bisa menemukan kuncinya. Entahlah. Tapi, ia selalu saja bisa menemukannya dan membuka gudang itu dengan mudah. Ia jadi seperti anak kecil bila telah berada di dalam: menemukan banyak mainan baru, mencoba satu persatu, hingga akhirnya menemukan mainan yang menurutnya cocok, lalu membawanya keluar.
***
Aku akhirnya menikah. Kukira aku tidak akan pernah merasakan pengalaman itu. Yah, seperti biasa, selalu banyak kekhawatiran, tentunya, bagi lelaki yang telah cukup umur. Konyol memang, memikirkan hal yang bukan-bukan. Jangan-jangan maut keburu menjemput, jangan-jangan tak akan pernah menemukan pasangan yang tepat, jangan-jangan tak bisa menafkahi, jangan-jangan.. Terlalu banyak ‘jangan-jangan,’ ya. Tapi seperti kata orang, kekhawatiran selalu bisa memunculkan ketakutan-ketakutan yang berlebihan, yang biasanya hampir tak pernah benar-benar terjadi. Dan kalau pun terjadi, katanya, tenang saja, tidak semenakutkan yang dibayangkan, kok. Aku sering tak percaya pada perkataan semacam itu. Kupikir itu hanya kata-kata kosong saja untuk menenangkan hati. Tapi, sudahlah. Itu dulu. Aku mempercayainya sekarang. Buktinya, aku menikah. Dan semuanya berjalan lancar.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku baru saja menyadarinya. Sepengetahuanku, setiap mempelai haruslah berada di depan menjadi pusat perhatian, dengan pakaian yang menyolok, dengan senyum yang harus terus-menerus menggantung, dengan iringan orang-orang yang mengantri memberi selamat. Tapi aku? Di mana aku berdiri? Di tengah ruangan, dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Bagaimana pakaianku? Aku memakai kemeja flannel yang kubiarkan tak dikancingkan, memperlihatkan kaos putih yang jadi abu-abu, lusuh. Dan celanaku? Mengerikan: jins belel yang sobek di kedua lutut, seperti sepasang mata yang tengah mengintip.
Dadaku ribut. Pikiranku lalu-lalang.
Apa yang sebenarnya tengah kulakukan di pesta perkawinanku? Bagaimana mungkin aku memakai pakaian seperti ini? Apa yang… Pikiranku mendadak macet. Perlahan, kesadaranku yang lain, yang tadi mungkin tengah bersembunyi, sekarang merangkak naik mendaki kepalaku dan menyodorkan pertanyaan yang menakutkan: mungkinkah ini bukan pesta pernikahanku?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kutata pikiranku. Dari mana tadi aku tahu bahwa aku tengah menikah? Aku mengingat-ingat: mempelai perempuan! Maka, kulihat mempelai perempuan di ujung sana, di depan, menjadi pusat perhatian dan sedang sibuk melayani orang-orang yang memberi selamat. Tak salah lagi. Gadis Berjilbab itu. Gadis yang setiap kali kami berpapasan hanya bisa menatap mataku sejenak untuk kemudian menunduk atau mengalihkan tatapan itu ke arah lain. Gadis yang sungguh menaati Tuhannya, pikirku. Gadis lugu, yang meskipun telah berusaha merumahkan perasaannya padaku demi Tuhannya dengan tatapan singkatnya, namun selalu saja gagal, karena matanya seringkali berkhianat pada hatinya yang menginginkan diriku; kutemukan jejak senyum dimatanya kala menatapku.
Kulihat lagi Gadis Berjilbab itu. Benar, memang dia. Tapi dari mana aku tahu bahwa aku yang menikah? Tentu saja aku tahu, batinku, karena Gadis Berjilbab itu pasti menikah dengan… Aku tersentak. Lalu kulihat sosok yang tadi kuabaikan begitu saja yang berdiri disamping gadis berjilbab itu. Tenggorokanku tersumbat. Siapa lelaki itu?
Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri lagi. Kuperhatikan lelaki itu baik-baik. Dari jarak lima puluh meter kulihat tubuhnya tegap dan tinggi. Kurasa aku tak setegap dan setinggi itu. Tapi aku tidak yakin karena penglihatanku sesekali terhalang oleh tamu-tamu yang lalu-lalang. Aku mencoba mendekat hingga jarak dua puluh meter. Sekarang aku melihatnya dengan jelas.
Aku berpikir, mungkinkah itu aku setelah beberapa tahun: setahun, dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun kemudian. Mungkinkah aku berubah sebanyak itu. Tapi tak mungkin, bukan? Bila kita telah berumur pertengahan 20-an, kupikir perkembangan fisik kita telah sempurna. Dan kalau pun berubah, bukan grafik semakin meninggi yang terjadi, melainkan menurun.
Kuperhatikan lelaki itu lekat-lekat sekali lagi. Itu bukan rambutku. Rambut lelaki itu ikal dan tebal, sedangkan rambutku lurus dan tipis. Itu juga bukan telingaku, kerena daun telingaku sedikit runcing seperti elf dalam cerita Tolkien, sedang daun telinga lelaki itu tidak. Selama aku mencocok-cocokkan diriku dan lelaki itu, aku hanya bergumam tak percaya: itu bukan mataku, itu bukan bibirku, itu bukan hidungku, itu bukan… itu bukan…
***
Sepertinya ia telah puas bermain. Maka, seperti biasa ia akan mengembalikan dan menyimpan mainannya dengan hati-hati pada tempatnya semula. Ia berusaha tak meninggalkan jejak apapun. Perbuatannya itulah yang sering menyebabkan kita tak bisa mengingat mimpi semalam. Gambar-gambar tak pernah jelas. Adegan-adegan jungkir-balik tak nyambung. Dan di pagi hari, sewaktu kita membuka mata, yang kita dapatkan hanya remah yang terasa rapuh. Mungkin kita berusaha mengingatnya, mungkin kita melupakannya begitu saja. Kita tak ambil pusing dan hidup pun berjalan terus.
Namun, sering juga kejadiannya tidak seperti itu. Ia mungkin saja berusaha keras menghapus jejak, tapi ada kalanya ia terlalu banyak membawa mainan dari gudang, terlalu semangat bermain, sehingga kesetanan, sehingga lupa diri, lalu lupa membereskan mainan dengan tepat. Bila seperti itu, ingatan tentang mimpi jadi tertinggal dengan kuat. Kita tak lagi disuguhi gambar-gambar yang mengambang samar sewaktu bangun, malah sebaliknya. Hanya saja, buatku, resikonya cukup mahal. Kita jadi terbangun tiba-tiba, napas kita terengah-engah, keringat dingin membanjir. Uhh, letihnya bukan main. Dan, lebih buruknya, kita mungkin saja menjerit-jerit tolol, dengan tangan dan kaki yang sibuk menerjang ke segala arah, lalu terkena serangan jantung, lalu mati menyedihkan. Mati di tempat tidur.
Yah, begitulah.
Malam itu, aku pun menjerit-jerit bego. Masih terasa olehku, di mulut, kata-kata terakhir yang tak sempat kuucapkan dalam mimpi, yang rupanya terbawa dan ikut menyebrang ke alam nyata: Itu memang bukan diriku.
Aku tepekur lama. Dada masih memburu-buru, kerongkonganku kerontang. Kulirik jam: pukul dua malam. Aku bangkit berjalan menuju cermin. Tampangku menyedihkan. Sisi-sisi rambutku menempel di pipi yang licin oleh keringat, tak karuan. Aku serasa lebih tua sepuluh tahun.
Kutatap mataku. Benar, tak salah lagi. Bukan mata itu yang tadi kulihat dalam mimpi. Mata dari lelaki yang berdiri disamping Gadis Berjilbab itu tak seperti ini. Mata lelaki itu adalah mata yang sering kuharap ada dimataku. Sepasang mata yang hanya ada pada mereka yang telah tahu apa yang mesti mereka perbuat dengan Hidup.
Gambar dan adegan dalam mimpi itu masih terasa kuat di kepalaku. Aku bisa mengingat detail-detail kecil yang tadi sewaktu mimpi tak sempat kuperhatikan. Lelaki itu, dan gadis yang beberapa waktu lalu kuanggap Gadis Berjilbabku terbingkai dalam rona bahagia yang merah muda, wajah mereka bercahaya. Sepasang malaikat, dengan jubah putihnya, dengan sayap-sayap lembut sewarna beludrunya, berputar agung mengelilingi keduanya, mendoakannya. Tuhan pun turun tangan, pikirku. Aku merosot tak berdaya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat sekarang. Tuhan telah memberikan restunya. Padahal tadi sempat terlintas di benak: akan kubawa kabur saja Gadis Berjilbabku, seperti di cerita-cerita picisan, biar kutembak mereka-mereka yang menghalangi niatku..
Tapi, aku terus saja berdiri di tengah ruangan, tak berbuat apa-apa, di dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Sendirian. Masih menggumam-gumam: itu bukan… itu bukan…
Aku akhirnya terbangun dengan telunjukku menunjuk-nunjuk tak jelas pada lampu neon yang menempel tinggi di langit-langit kamarku.
Lama sesudahnya, sering aku berpikir tentang mimpi… Tentang mimpi malam itu… Tentang Gadis Berjilbab itu…
“SEPERTI KAMU JUGA!”
07.06
Diposting oleh Melany Christy
Aku tak menyangka bertemu kamu, dia dan mereka di sini. Di negeri impianku yang telah lama bercokol di kepalaku selama bertahun-tahun. Aku merasa sendirian. Tak bisa bicara. Meskipun masih bisa mendengar. Sekalipun hanya mendengar suara-suara asing yang mematahkan semangat. Aku cuma bisa menatap wajah-wajah kaku, berbalut pakaian modis musim dingin dengan model rambut warna-warni dengan takjub. Tidak ada yang tidak cantik. Meskipun aku bingung dengan kecantikan yang seperti apa hingga seorang pria terkagum dan berdiri mematung. Karena sesungguhnya yang namanya cantik cuma debu. Tidak lebih! Dan yang tampan cuma tanah liat. Tidak lebih!
Jadi di mana yang sempurna? Tidak ada! Semuanya yang tampak di permukaan cuma pulasan dan warna-warni yang mempermak kita untuk menjadi lebih baik atau lebih tirus. Wanita-wanita yang takut gemuk, takut jelek, takut hitam dan takut dicap “tak terawat” menjejali tiap sudut jalan di kota besar ini dengan kaca dan lipstik di tangan mereka. Mereka sesekali merapikan dandanannya sebelum kembali bekerja. Sangat kontras dengan wanita-wanita dan para pria yang berada di restoran atau rumah makan. Mereka tampak lebih apa adanya dengan wajah kuyu karena seharian bekerja. Bau badan mereka adalah bau harum makanan yang keluar dari panci-panci dan wajan-wajan besar di dapur. Bukan wangi parfum!
Lelehan keringat yang meluncur di dahi mereka menandakan kerja keras mereka hari itu. Aku mendengar mereka berteriak di jalan, mempromosikan makanan di restorannya dengan celemek warna-warni. Bau makanan semerbak ke mana-mana, menguasai udara seperti mencekikku. Aku tak bisa membedakan mana bau babi panggang, ayam goreng, makanan Thailand atau makanan Jepang. Semua bau sepertinya sama! Mana bisa aku makan? Aku kelaparan tetapi malas makan! Aku cuma bisa mengeluarkan sebaris kalimat setelah sekian jam mematung di sana.
“Bawa aku ke Mc Donald!”
Sejam kemudian aku sudah memakan jatah makan malamku hari kesekian di Taiwan. Sekantung kecil kentang goreng, fille’ o fish, coca-cola yang sama sekali tak ada rasa Taiwannya! Sama saja seperti paket fille’ o fish yang aku beli di outlet Mc Donald di jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Tidak ada bedanya! Aku tertawa kecil.
Aku kembali mengawasi jalanan sempit yang penuh dengan neon box bertuliskan nama-nama restoran dalam bahasa mandarin. Menikmati orang-orang yang bersepeda di trotoar, berebut tempat dengan pejalan kaki. Taiwan benar-benar unik! Hanya kurang menarik! Aku tidak melihat orang-orang dengan baju adat yang membungkuk sopan kepada tamunya seperti di Jepang. Sepanjang mataku memandang aku cuma melihat Starbucks, Starbucks, Starbucks! Gerai khasnya nyaris ada di tiap blok! Aku menepuk kepalaku sambil bergumam.
“Bangun, Ne! Inilah wajah kota moderen hari ini!”
Aku menelan ludah. Oh ya? Moderen apa sama dengan tidak tahu adat? Lihat bagaimana mereka berciuman di sembarang tempat! Tak tahu malu! Aku bahkan tidak tahu bedanya pelacur dengan bukan di sana! Apakah itu yang membuat Taipei layak disebut kota besar? Kalau memang demikian…..betapa dusunnya aku! Aku nyaris muntah melihat sepasang anak muda yang tepat berada di belakangku di sebuah kedai minuman. Mereka berdua berciuman lama sekali. Aku pikir mereka berdua keterlaluan!
Ternyata….pasangan di belakangnya pun melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Dan semua orang melalui jalan itu tanpa bergeming. Tidak ada ekspresi marah, shock atau kaget melihat adegan tersebut. Aku tersenyum masam. Aku mengarahkan mataku ke arah bartender di hadapanku. Ia terlalu lama mencampur minuman sehingga antrian jadi sangat panjang. Aku tidak tahu apakah itu karena minumannya dikenal sangat enak sehingga orang-orang antri atau justru karena pengunjungnya tahu betapa lamanya menunggu pesanan minuman di sana sehingga mereka bisa berciuman selama mungkin di depan kedai itu! Entahlah!
Yang pasti, aku merasa ini bukan duniaku. Aku terasing. Tak bisa bicara. Tak bisa ke mana-mana. Kakiku melangkah tapi jiwaku seperti duduk karena kelelahan. Aku seperti robot yang berjalan tanpa jiwa. Aku berhenti di sebuah toko buku yang hampir tutup. Aku berkeliling sebentar sebelum akhirnya keluar karena memang jam kerjanya sudah selesai. Beberapa penjaga tokonya melepas seragam coklatnya yang seperti celemek melebihi batas dengkul dan mulai berbenah.
“Kita tunggu mereka di luar yuk, Ne.”
Itu suara Yunni. Aku mengangguk. Aku menatap jalanan yang lampu-lampunya mulai dipadamkan.
“Kamu tahu tidak, Ne. Jauh sebelum aku tahu kamu akan ke sini….aku mimpi kamu.”
Aku tertegun karena tak menyangka ia akan berkata demikian.
“Oh ya? Mimpi apa?”
“Aku mimpi ketemu kamu dan kenalan dengan kamu. Aku pikir Agustus tahun lalu kamu ikut Ko Philip ke Taiwan. Ternyata….tidak. Jadi, aku pikir itu cuma mimpi aja. Eh, kamu baru ke Taiwan tahun ini. Aku senang banget lho waktu tahu kalau kamu ikut ke sini,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Tiba-tiba saja kelelahanku hilang. Aku bergairah. Aku merasa Taiwan adalah negara yang menarik. Aku tersanjung sekali mendengar kata-katanya itu. Ia bermimpi ketemu aku? Orang biasa ini? Untuk apa? Untuk mendapatkan doa berkatku? Ah, Yunni! Ada-ada saja!
“Lho, bener! Aku tidak bohong, Ne! Karena itu aku senang sekali waktu diberitahu kalau kamu akan datang ke sini. Sayang kamu tidak datang tanggal 31 Januari kemarin. Laose sudah menyediakan tempat di rumahnya untuk kamu. Kita sudah merancang acara jalan-jalan dengan kamu…..,” jelasnya buru-buru karena tahu aku tak percaya.
Aku langsung terdiam. Kalian memperlakukan aku dengan sangat baik tetapi aku terlambat menyadarinya. Aku menceritakan nubuatan Pak Benaiah kepadanya.
“Kamu tidak ada di nubuatan itu secara spesifik, Yunni. Tetapi kamu ada di hatiku…”
Ia tersenyum lebar dan memelukku erat-erat.
“Aku juga. Aku juga, Ne.”
Ah, indahnya persahabatan ini. Sayangnya cuma 10 hari! Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak mau menunjukkan kesedihanku kepadanya. Aku mulai tengelam dalam lamunan ketika aku dikagetkan oleh tarikan tangan Yunni.
“Ayo, Ne! Kita ke arah sana, yuk! Itu mereka sudah di sana!”
Aku mengangguk lemah. Aku mengikuti langkahnya sementara pikiranku melayang ke mana-mana. Aku melewati keramaian pasar malam di Taipei dengan pikiran yang tidak fokus. Aku letih tetapi tidak diberi pilihan untuk berhenti. Aku teringat dengan permintaan oleh-oleh dari teman-teman di Surabaya yang jumlahnya sudah mereka tentukan.
“Minimal Rp. 150.000 untuk aku ya, Ne! Jangan lupa lho!”
Aku bergidik. Minimal? Itu angka minimal untuk satu orang! Kalau aku punya 10 teman ‘kan jadi angka fantastis! Aku tertawa kecil. Menggelikan! Persahabatan yang benar-benar menggelikan! Atau memang aku yang bodoh karena di antara kami bertiga hanya aku yang paling enggan minta sesuatu kepada orang lain! Aku tidak pernah meminta apapun kepada siapapun, bahkan dengan alasan yang paling rohani sekalipun! Tidak pernah! Aku tidak mau merepotkan orang yang akan bepergian dengan membelanjakan jutaan uangnya hanya untuk membelikan cincin, baju, jas, kalung, kue atau apapun….kecuali kalau ia membelikan novel “Inferno” karya Dante Alleghieri.
Tetapi….teori itu dipatahkan oleh Anita, Mei en, Laose, Scotty, Yunni dan orang-orang POKI. Aku kedinginan Sabtu sore itu. Aku berdiri menghadap bendungan besar yang terhampar di depan kamar Hotel “Bitan” sambil menunggu jemputan. Udara dingin yang menusuk tulang sempat membuat perutku kram. Aku nyaris memutuskan untuk tidak ikut retreat TKW yang dilayani oleh Ko Philip malam itu. Tetapi…aku juga malas ditinggal sendirian di kamar hotel yang menyediakan acara televisi yang “benar-benar tidak jelas” dan menyediakan perangkat mandi (shower cup, tooth brush, comb, Shaver, dll.) dengan kemasan menggelikan!
Jadi aku senang ketika Anita dan Yunni meneleponku, hanya untuk bertanya apakah sudah siap berangkat.
“Nit, aku lapar banget. Aku mau Pop Mie.”
“Oke. Oke, kita akan ke Supermarket sekarang, ya. Kita akan belikan kalian roti dan Pop Mie. Sabar ya. Sebentar lagi kita akan ke sana,” kata Anita dari seberang sana.
Setelah itu ia menutup telepon. Aku pun menutup telepon hotel tersebut dan mengucapkan Xie-Xie kepada seorang gadis putih cantik berleher jenjang dengan rambut lurus sepunggung. Riasan wajahnya serasi dengan baju seragam hotel yang ia kenakan. Sayangnya ia tidak bisa bahasa Inggris dan aku tidak bisa bahasa mandarin.
Maka terjadilah kebisuan yang cukup panjang selama aku menunggu Ko Philip turun dari lantai 11. Tigapuluh menit kemudian rombongan POKI datang. Mereka mengeluarkan makanan dari kantung plastik belanjaan yang mereka bawa dan menyodorkan sepotong roti keju kepadaku. Aku memakannya seperti lama sekali tidak pernah makan roti! Lahap sekali!
Sakit perutku ditambah rasa dingin karena berada di area pegunungan, semakin membuatku enggan pergi. Berkali-kali aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku dan berharap kehangatannya terasa…nyatanya panasnya yang tak seberapa dikalahkan oleh tiupan angin dan hujan yang turun malam itu. Upf! Aku baru bisa mengalahkan rasa sakitnya ketika melihat pemandangan indah yang terhampar di depanku. Aku takjub!
Hamparan hijau dedaunan berbaur dengan warna kuning kecoklatan menyatu dengan gazebo, sungai kecil berbatu besar yang airnya dangkal serta gunung tinggi di samping kiriku. Di hadapanku berdiri sebuah rumah yang terbuat dari papan kayu bercat putih.
Di samping kanannya terdapat sebuah bangsal tanpa dinding, berdiri dengan bantuan beberapa tiang penyangga saja. Di atasnya terpancang sebuah papan buram dengan tulisan mandarin. Aku tidak tahu apa artinya!
Aku makan semangkuk Pop Mie buatan Korea di salah satu bangkunya. Rasa hangat menjalar ke seluruh wajahku ketika aku meniup panas kuahnya yang berbau khas. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Mendadak aku teringat dengan makanan instan yang Yunni berikan kepadaku pagi tadi. Makanan sejenis lemper yang kulit luarnya seperti ketan putih atau beras yang dilapisi rumput laut dan berisi abon daging ikan tuna.
“Aku sudah kenyang. Mungkin Ko Philip mau memakannya, jadi lebih baik aku berikan kepadanya saja,” pikirku.
Aku menyimpannya di tas kamera videoku. Aku mulai melewatkan sesi-sesinya dengan mata setengah mengantuk. Lelah sekali. Sesekali aku berusaha membunuh kantuk dengan berkeliling mengambil gambar dan minum segelas kopi.
Ah, kopi….jadi kangen dengan Torabika Capuccinoku yang masih tersisa 2 sachet di kamar. Hm, seandainya aku bisa membawanya ke tempat ini. Sayang sekali….karena terburu-buru aku lupa membawanya. Aku masih teringat kepada percakapan awalku dengan Yunni, perjumpaanku dengan Anita di bandara beberapa hari lalu dan jalan-jalan bersama Scotty dan Mei En. Tak terasa sudah 9 hari bersama. Minggu besok adalah hari terakhirku bersama mereka.
Mengapa tiap pertemuan pasti diselingi perpisahan? Hidup memang penuh dengan misteri yang tak terpecahkan! Akhirnya sesi Ko Philip selesai juga. Kami berdua pulang ke hotel diantar orang-orang POKI. Aku menyerahkan “lemper Taiwan” yang kusimpan tadi kepada Ko Philip. Aku pikir pasti dia lebih lapar dari aku. Awalnya Ko Philip menolak makanan tersebut, tetapi akhirnya aku berhasil memaksanya untuk menerimanya. Di tengah perjalanan tiba-tiba Ko Philip mengatakan sesuatu yang membuatku terpana.
“Kamu beruntung, Ne. Kamu datang pada saat udara di sini sudah tidak terlalu dingin. Padahal waktu 31 Januari kemarin, di sini dingin sekali,” katanya sambil tersenyum.
Semua yang di dalam mobil itu mengiyakan. Aku terdiam. Oh ya? Wah! Aku jadi terharu. Untuk urusan yang paling tidak penting pun Tuhan mau mendengar dan menjawabnya…apalagi kalau hal itu penting bagiNya dan aku.
Biarkan Aku Menjadi Aku
07.03
Diposting oleh Melany Christy
Berhenti sebentar
Biarkan aku menjadi aku
Sebentar Saja
Hanya satu hari dua malam
Hanya jumat malam sampai minggu pagi
Biarkan aku menjadi aku
Minggu pagi sampai Jumat sore aku bukanlah diriku
Minggu pagi sampai Jumat sore aku bahkan tak tahu siapa aku
Berhenti sebentar
Biarkan aku menjadi aku
Memiliki diriku yang aku kenal
Biarkan aku menjadi aku
Yang mengindahkan perasaanku, bukan mengabaikannya
Yang mengakui lelah dan peluhku, bukan melawannya
Yang melakukan apa yang aku suka, bukan berpura-pura suka pada apa yang aku lakukan
Aku lelah
Berhenti sebentar
Biarkan aku menjadi aku... Sebentar saja
Kau pesona malam
07.01
Diposting oleh Melany Christy
Gemerlap lampu cahaya kota seolah menari mengajak berdansa
di himpit gelisah membelah murka
tiada suka tetap kau rasa menyelami malam hina ranjang berdansa
tersingkap sutra penutup raga menampak paha membakar jiwa
kau pesona malam...
Bunga sorga melambai nista
memaksa...
Kau petik dengan tangis melanda meradang luka membusuk di jiwa
tiada adam yang meminta pelukan hangat setulus cinta
hina nista di mata dunia
kau pesona malam...
Tangis mu tiada arti laksana anjing di mata ulama
Jajakan pesona bersama arak tawarkan hangat hanya sekejap
waktu hampir pagi
kau masih tertawa bersama iblis penguasa dunia
tangis rengek meminta kau kembali bersama sisa cinta yang kau punya
kau pesona malam...
Menjadi dewi bersama mentari...
Terbuang waktu yang berlalu...
Kau pesona malam...
Di pundak mu menggelayut beban...
Kau pesona malam...
Bagai rembulan tapi tak bersinar...
Hardik bengis menjadi sarapan
celoteh mereka laksana petir
Berkilat...
Ganas...
Menyambar dan menyumbat di ulu hati...
Ikhlas hati membumbung tinggi pada illahi...
I Cried For My Brother Six Times
17.49
Diposting oleh Melany Christy
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku memilikinya, aku mencuri 50 sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau marah dan menyuruh aku dan adikku berlutut di depan tembok. Dengan sebuah tongkat bambu ditangannya, ayah meminta diantara kami untuk mengaku.
“Siapa yang mencuri uang itu?” beliau bertanya. Aku tertegun paku dengan kepala menunduk ke bawah, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi adikku, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu telah mengecewakan ayah. Kamu layak dipukul sampai mati!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak cukup berani untuk mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya berguman, “Kedua anak kita menunjukkan prestasi yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, sudah cukup dengan membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemah? Bahkan jika harus ayah jual semua barang yang ad di rumah untuk menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.“
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab dengan senyumannya, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, adikku berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang sudah bertahun-tahun pecah telah diganti. Dalam rumah kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Ini semua adalah usaha adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Dia tersenyum menatapku dan berkata “Ini adalah kali pertama kamu membuat pacarmu ke rumah. Pacarmu adalah mahasiswa dari kota. Saya tidak kemiskinan kita menjadi penghalang hubungan kalian”.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berulang kali, suami dan aku mengajak kedua orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju, ia mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Ketika suamiku menjadi direktur pabriknya, kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku tersengat aliran listrik ketika ia berada diatas sebuah tangga untuk memperbaiki jaringan kabel. Akibat sengatan listrik, ia harus masuk ke rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?“
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkanlah kakak ipar, beliau baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dihadapi suamimu?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan sambil menangis aku berkata sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.