Selama rapat berlangsung setiap anggota bersikap sopan santun, bersungguh-sungguh menjaga ketertiban, dan mematuhi segala tata cara rapat sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI.
–Pasal 7 Kode Etik Anggota DPR RI—

Pada 27 Mei 2009 lalu, Ruhut Poltak Sitompul menyinggung perasaan etnis Arab Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah memberikan bantuan kepada Indonesia. Ruhut justru membanggakan Amerika Serikat sebagai penyelamat ekonomi negara Indonesia yang ia sampaikan dalam diskusi “Mengungkap Strategi Tim Sukses Capres” di Gedung DPD, Jakarta.[1]Lalu, saat diskusi Bank Century 16 Desember 2009 di Jakarta, perkataan Ruhut Sitompul kembali mengundang ketidaknyaman peserta diskusi ketika ia menyinggung etnis China. Ruhut menyindir mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie dengan membawa etnis China. Peserta diskusipun menyampaikan kekecewaan pada Ruhut Sitompul. “Saya agak kecewa dengan Bang Ruhut. Tadi Anda bicara etnis. Anda mengatakan seorang tokoh Chinese. Bagi saya tidak penting apa dia itu Chinese atau pribumi, asalkan dia berpihak pada rakyat. Ini lebih baik ketimbang orang pribumi, ngaku pro rakyat, tapi korupsinya nauzubilah mindzalik. Jadi, tolong Anda klarifikasi,” protes salah satu peserta diskusi. [2]

Dalam dua peristiwa tersebut, Ruhut S mendapat kecaman luas dari masyarakat. Sebagai seorang petinggi partai yang Ketua Dewan Pembina selalu mencitrakan diri sebagai orang santun, ternyata ‘membina’ orang seperti Ruhut yang kerap mengumbar opini yang menyinggung SARA. Didalam partai tersebut, Ruhut P Sitompul, SH menjabat sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Departemen Pendidikan dan Pembinaan Politik Partai Demokrat. [3]

Belum cukup menyinggung perasaan etnis Arab dan China (Tionghoa) di Indonesia, Ruhut pada Rapat Century 6 Januari 2010 kembali mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Ruhut yang selalu tampil berlebihan (dan memposisikan diri paling benar), mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di Gedung Senayan. Kata-kata yang tidak terhormat keluar dari anggota dewan terhormat. Ruhut Sitompul mengeluarkan kata “bangsat” kepada Prof Gayus Lumbuun setelah mereka berdua terlibat perang kata-kata di pansus. Merasa bahwa pembagian waktu yang tidak proportional, Ruhut memanggil pimpinan sidang pansus dengan “kodok”.

Berikut kutipan adu mulut kedua anggota komisi III itu:

Ruhut: Tanya sama kodok. Jangan marah-marah kodok. Engkau kan profesor.
Gayus: Anda jangan kurang ajar, jangan bawa-bawa profesor. Harusnya Pansus menegur Ruhut supaya dikembalikan di fraksinya saja karena sering bikin gaduh.
Ruhut : Anda pimpinan, Anda harus tegas…Kalau nggak senang lempar palu ke aku..
Gayus: Satu kata untuk engkau, diam kau!
Ruhut: Diam apa bangsat! brengsek! [4]

Meskipun telah 3 kali disorot oleh publik sejak posisinya di Partai-nya SBY, Ruhut tampak santai dan seenaknya menyinggung lawan bicaranya dengan kata-kata yang kurang etis. Hal ini kembali terjadi pada Rapat Pansus Hak Angket DPR RI tentang Bank Century tanggal 14 Januari 2010. Pada rapat tersebut, pansus menghadirkan mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla (JK), SE sebagai saksi ‘kunci’.

Pada sidang pansus tersebut, JK kembali mengulang pernyataannya bahwa dana Bank Century dirampok internal. Dia juga mengaku yang memerintahkan Polri untuk menangkap Robert Tantular. Tindakan itu dilakukan, karena JK melihat Gubernur Bank Indonesia (BI) waktu itu, Boediono yang sekarang menjadi Wapres hanya diam. Begitu pun dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang juga menjabat Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada saat yang sama.

Semua pertanyaan anggota Pansus dijawab JK dengan lancar dan terbuka. Giliran Partai Demokrat (PD) tiba, persoalan pun muncul. Sebagai pembicara pertama dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul tidak menanyakan JK bagaimana duduk persoalan amblasnya uang triliuan, sebagaimana pertanyaan anggota Pansus lainnya. Yang dilakukan Ruhut bukanlah pertanyaan, tetapi mengadili JK bak terdakwa.

Adu argumen terjadi antara Ruhut dan JK, ketika JK menepis pernyataan Ruhut yang menyebutkan Wapres JK telah intervensi hukum. JK menyebut bahwa dirinya (Wapres) terlalu rendah jika intervensi polisi menangkap Robert Tantular, yang terjadi justru JK memerintahkan, bukan mengintervensi. Jawaban ini, langsung membuat peserta rapat dan hadirin di balkon tertawa. Hal ini tentu membuat Ruhut tidak senang. Mendapat argumen dari JK, Ruhut pun ‘menyerang’ lebih keras. Sampai saatnya, Ruhut tidak lagi memanggil JK dengan ‘Bapak”. Ruhut dengan nada yang tidak wajar memanggil JK dengan “Daeng”. Kata “Daeng” untuk identitas suku Bugis dikeluarkan dengan konteks tidak semestinya ini membuat dua anggota pansus yang berasal dari Sulawesi Selatan tersinggung.[5]

Penggunaan kata Daeng (untuk suku Bugis) dalam kondisi, relasi dan waktu tepat merupakan sapaan hormat. Namun, ketika kata “Daeng” digunakan dengan nada, intonasi dan konteks yang tidak tepat, maka “Daeng” ini menjadi kata yang merendahkan martabat seseorang. Dan pada peristiwa itu, Ruhut menggunakan “Daeng” dengan nada sinis. Sehingga wajar jika ada orang dari suku Bugis menjadi marah.

Sebenarnya panggilan Daeng untuk orang Bugis Makassar itu biasa saja. Daeng itu dipanggil untuk kakak, orang yang dihormati, sampai tukang becak pun kita panggil Daeng, atau tukang sayur. Jadi panggilan biasa. Ya memang, yang jadi soal panggilan Daeng itu tidak pada tempatnya pada saat itu karena acaranya lebih formal, kan. Kedua cara memanggilnya itu nyeleneh, ya kan?. Sehingga banyak teman-teman dari Makassar merasa tersinggung. Karena cara memanggilnya itu.

- Jusuf Kalla- [6]

Motivasi Ruhut?

Baik Ruhut maupun politikus partai Demokrat selalu membela bahwa pernyataan Ruhut yang kasar dan berbau SARA tidak dimaksudkan untuk menghina atau memicu “SARA”. Dengan alasan bahwa ia adalah orang Batak, para politisi Demokrat seolah-olah merestui sikap dan pernyataan Ruhut. Adalah lucu mengkambingkan suku Batak atas kekasaran yang dilakukan si Poltak ini. Apa semua masyarakat bodoh dan tidak tahu bahwa banyak orang Batak yang bisa berbicara halus dan santun?

Burhanuddin Napitulu (Golkar), Tifatul Sembiring (PKS), Trimedya Panjaitan (PDIP), Effendy M S Simbolon (PDIP), adalah para politisi yang berasal dari suku Batak. Namun, mereka bisa berbicara dengan halus dan santun. Dari catatan saya, mereka-mereka ini tidak/belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar dan berbau SARA di depan publik. Seorang Darmin Nasution ataupun Marsilam Simanjutak yang hadir dalam rapat pansus Century pun bisa berbicara dengan santun di depan publik, meski ia orang Batak. Begitu Ketua Plk KPK Tumpak Hatorangan Panggabean atau pengacara Todung Mulya Lubis yang bernada halus. Oleh karena itu, mereka yang berusaha membela Ruhut atas perkataan kasar dan ’sara’ atas nama suku Batak sudah sepantasnya ‘mengaca’. Sungguhlah lucu ketika Partai Demokrat menilai kata ‘bangsat’ yang dilontarkan Ruhut ke Gayus sebagai hal yang wajar.

Pertanyaan dan persoalannya adalah mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat membiarkan Ruhut Sitompol mengumbar omongan liarnya? SBY yang terkenal teliti dan hati-hati ternyata membiarkan Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut demikian bebas dan liarnya. Dengan ‘liar’-nya mulut si Ruhut dan dalam beberapa kesempatan membuat gaduh di sidang pansus, kita perlu menduga bahwa Ruhut memang sengaja dipasang untuk mengganjal laju Pansus Hak Angket DPR.

Kejadian Ruhut membuat marah Gayus Lumbuun, menginterupsi hanya karena waktu makan siang, membuat pernyataan-pernyataan (bukan pertanyaan) pemujian berlebihan kepada ‘bos’-nya di sidang pansus serta memanggil “Daeng” dengan sinis untuk JK secara tidak langsung membuat integritas pansus semakin merosot sekaligus energi pansus tersita terhadap persoalan yang tidak substansi. Dengan sikap Ruhut saat ini, tentu laju Pansus menjadi tersendat.

**********

Para anggota dewan yang menjadi anggota pansus angket BC pada khususnya dan anggota DPR pada umumnya, mestinya sudah mengerti dan memahami hak, tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang dimiliki seorang anggota dewan terhormat. Dengan segala fasilitas dan wewenang yang dimilikinya,mestinya anggota DPR dalam mengemban dan memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, wajib menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR RI.

Mestinya seorang anggota DPR patuh dan melaksanakan kode etik yang tertuang dalam pasal 7 bahwa “selama rapat berlangsung setiap anggota bersikap sopan santun, bersungguh-sungguh menjaga ketertiban, dan mematuhi segala tata cara rapat sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI.” [7]

Semoga para petinggi partai yang memiliki anggota dewan dengan ‘mulut liar’ tidak memberi alasan konyol bahwa perkataan kasar seperti ‘bangsat’ di sidang resmi negara adalah hal wajar!
Dan berharap agar kode etik anggota dewan ini tidak hanya menjadi formalitas belaka! Hanya digunakan untuk menghukum anggota dewan yang ‘lemah’ secara politik, namun petinggi/teras tidak tersentuh dengan kode etik tersebut.

[1]Debat Kusir Ruhut Sitompul, Permadi dan Fuad Bawazier, 27 Mei 2009
[2]Kompas, 16 Des 2009
[3]Situs Resmi Demokrat, per 18 Jan 2009
[4]MetroTVnews, 6 Jan 2009 dan Detiknews, 6 Jan 2009
[5]JakartaPress, 15 Jan 2009
[6]Kompasiana : Wawancara JK, per 18 Jan 2009
[7]Kode Etik DPR RI, per 18 Jan 2009

Other Article



visit the following website Senyawa kimia Berita Bola