"Kayak Taman Ria, ya," celetuk beberapa orang melihat kerumunan di seputaran Taman Fatahillah hingga ke Kalibesar. Yang lain tak sepenuhnya mengungkapkan dengan kata yang persis sama. Namun intinya, keramaian orang yang mengepung Taman Fatahillah hingga Kalibesar, apalagi di malam hari, belakangan ini memang makin meningkat. Bagi sebagian orang, katakan saja pedagang kaki lima, ojek sepeda yang kian beragam—tak lagi khusus sepeda ontel—keramaian itu tentu saja merupakan potensi. Pengunjung inilah yang diharapkan akan membuang uang untuk menyewa sepeda, minum, makan, dan lain-lain.

Namun, apakah keramaian yang seperti itu yang diharapkan dalam rangka revitalisasi Kota Tua Jakarta? Sebuah keramaian yang tak jelas arahnya? Kerumunan orang yang datang sekadar datang dan bikin penuh kawasan itu? Tentu saja tidak karena, jika demikian, maka upaya menjadikan kawasan tersebut sebagai kekuatan ekonomi kreatif akan jadi angan-angan belaka.

Mana ada yang tertarik jika melihat kondisi kawasan tersebut sekarang ini. Tengok saja upaya menggelar Wisata Malam di sana, yang sudah sejak tahun lalu diembuskan oleh Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan bersama Robert Tambunan, pengelola bangunan tua milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Bangunan berjuluk "Toko Merah", "Kerta Niaga", dan "Cipta Niaga” adalah sedikit dari bangunan beken milik PPI yang ada di bawah Menteri Negara BUMN itu.

Uji coba menggelar wisata kuliner di sepanjang Jalan Pintu Besar Utara berdurasi 24 jam tak menyiratkan tanda yang baik. Pasalnya, kerumunan di kawasan tersebut lebih banyak pelajar yang isi koceknya terbatas. Kerumunan orang yang tumpah di kawasan itu tak datang untuk sesuatu yang sudah ajeg, misalnya untuk menikmati makan malam atau menghabiskan malam di Kafe Batavia dan Kafe Gazebo di Jalan Kunir, atau misalnya menyerbu sebuah kegiatan yang sudah terjadwal. Tak hanya di seputaran Taman Fatahillah, tentunya, tapi kegiatan dan keberadaan kafe—dengan harga terjangkau dan makanan khas—yang menyebar hingga ke Jembatan Kota Intan, misalnya.

Saya hanya ingin mengingatkan, lebih ke utara dari Jembatan Kota Intan sebenarnya sudah ada pelopor yang mencoba menghidupkan kawasan dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Kafe Galangan namanya (siapa tahu ada yang sudah lupa). Kafe ini akhirnya tak kuat menahan beban produksi karena keramaian tak mencapai kawasan tersebut.

Kembali ke upaya menggelar Wisata Malam di kawasan Taman Fatahillah, Robert Tambunan belum-belum sudah bersuara berat, "Siapa yang mau beli makanan di Wisata Malam kalau yang datang cuma pelajar yang tidak terarah tujuannya." Mungkin, hal itu terjadi karena penataan di kawasan tersebut bersifat parsial, tidak menyeluruh. Dari kegiatan yang terjadwal, kegiatan yang tak berpusat pada Taman Fatahillah, akses jalan, lahan parkir, kebersihan, dan WC umum tak ditata dalam satu perencanaan.

Keberadaan khalayak pelajar atau anak muda yang hanya ingin bermain di sana bukan sebuah kesalahan. Pasalnya, di mana lagi ada taman seterbuka, seluas, dan sekeren di Kalibesar dan Fatahillah. Kerumunan itu hanya perlu diarahkan. Tentu dengan berbagai kegiatan yang jelas, semisal kegiatan wisata jalan-jalan, wisata kuliner, pergelaran kesenian, kebudayaan, pemutaran film kuno seperti mis-bar atau gerimis bubar, lomba foto, lomba lukis, penampilan seni kontemporer, apa pun.

Apalagi, kawasan Kota Tua yang masuk dalam Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari, termasuk Glodok, sebetulnya bisa menghasilkan pemasukan lebih dari Rp 11 miliar per tahun hanya dari PBB saja. Seperti kata Lurah Pinangsia, Sumanta, “Target PBB tahun lalu sekitar Rp 9,7 miliar. Realisasinya Rp 9,3 miliar, belum 100 persen. Karena masih banyak tunggakan,” ujarnya. Kenapa? karena banyak bangunan tua yang tak jelas kepemilikannya. Ada pula yang luas tanah dan bangunan tak sesuai antara fakta di lapangan dan yang tercantum dalam PBB.

Other Article



visit the following website Senyawa kimia Berita Bola