A GIRL IN THE RAIN
09.31
Diposting oleh Melany Christy
Aku pertama bertemu dirinya di suatu september kira-kira setengah tahun yang lalu. Seorang gadis yang berteduh di bawah guyuran hujan sore hari. Aku berada di sana, tergesa-gesa masuk ke sebuah kafe. Melewatinya masuk ke sebuah kafe. Aku kemudian duduk di dekat jendela mengamatinya bertanya-tanya mengapa sampai malaikat berteduh dari hujan.
Aku sadar aku jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Dadaku bergemuruh dan aku begitu malu. Tidak mungkin aku menyapanya, memang apa yang akan kukatakan padanya. Dia hanya seorang gadis di jalan. Mana mungkin aku akan berkata “aku jatuh cinta pada pandangan pertama”. Tidak mungkin saat itu aku menyapanya, tidak dengan jantungku berdebar dan wajahku memerah.
Jadi aku memesan Cappucino, pahit rasanya. Tapi aku tak peduli, memandanginya dari balik jendela. Dan terus memandanginya hingga habis waktu dia pergi. Hujan telah habis dan dia pergi.
Aku juga pergi. Pergi mengabaikannya, aku pikir beberapa jam pasti aku akan melupakannya. Tapi ternyata aku salah. Bayang-bayang gadis itu menghantuiku. Aku mencarinya tanpa sengaja di sudut yang sama ketika aku melewati jalan itu. Aku bahkan memimpikan pertemuanku dengannya. Aku bahkan sering menghampiri cafe tanpa alasan dan duduk di sekitar waktu itu di kursi itu memandangi tempat itu memesan Cappuchino yang sama.
Kupikir aku gila. Memang aku gila.
Waktu demi waktu berlalu. Memang aku semakin lama semakin melupakannya, tapi tidak begitu saja. Sampai setengah tahun aku masih mengunjungi Kafe itu. Dulu aku memang sering ke sana, tapi semakin lama semakin jarang.
Aku putus dengan pacarku yang lama. Pacaran lagi putus lagi, Kemudian aku jadian lagi dengan seorang gadis kenalan temanku. Seorang mahasiswi, kami putus satu bulan kemudian. Kejadian itu tiga minggu yang lalu. Mereka bilang bahwa aku tidak memperhatikan mereka, tapi ada juga masalah masalah lain. Intinya, aku sebenarnya memang tidak begitu menyukai mereka.
Yang paling aku ingat adalah mereka berdua pernah menanyakan pertanyaan yang sama. Di sini, di kafe ini. Aku memandangi pojok jalan itu, kemudian mereka bertanya, mencari siapa. Aku berkata. Tak ada apa-apa. Dan percakapan berjalan lagi. Bumi kembali berputar dan terus berputar. Kami berkencan dan kemudian putus.
Aku sering menanyakan diriku apa yang akan kukatakan jika bertemu dirinya. Aku bisa bertanya siapakah dirinya? Apakah dia manusia atau peri? Apakah dia hanya imajinasiku? Apakah dia ada? Dimanakah rumahnya? Apakah dia percaya cinta? Bagaimanakah dunia dipandang dari matanya? Bodoh, tidak mungkin aku bisa menanyakan pertanyaan itu.
Aku tertawa sendiri di kafe itu. Terkekeh kecil seperti orang gila. Kupikir benar kata orang, cinta itu memiliki struktur yang sama dengan kegilaan.
Saat itu hujan, dan seorang gadis lewat di depan kaca jendela besar. Gadis itu, berjalan perlahan. Waktu berjalan perlahan. Sangat perlahan.
Aku menemukannya, aku menemukannya, ini takdir. Aku akan.
Apa?
Kakiku tidak bisa digerakkan. Mulutku kaku. Ayo diriku. Inilah saat yang kau tunggu-tunggu. Ayo bergerak. Ayo. Tapi aku tidak bergerak. Mencengkram lututku bahkan membiarkan dia pergi. Aku memaksa diriku, aku ingin berteriak tunggu. Tapi tidak bisa, tapi tidak boleh, tapi tidak semestinya. Aku hanya diam.
Diam beku. Takut.
Aku membiarkan seorang lelaki menyambut dirinya. Hatiku remuk secara mendadak. Semacam remuk disebabkan oleh bom, terlalu cepat sehingga aku tak sempat merasakannya. Aku tidak merasa sedih, aku tidak merasakan apapun. Tidak bahkan rasa hampa. Aku menghirup kopi lagi seakan tidak ada apa-apa dan memang benar tidak terjadi apa-apa. Dunia masih berputar seperti biasa.
Bumi masih berputar seperti biasa tapi entah kenapa aku berharap dia hancur saja beserta semua orang yang menghuninya.
“Pelayan” kataku.
“iya pak” dia mendekat padaku.
“pesan satu lagi” kataku.
Dan dia membawakan satu lagi. Dan satu lagi. Dan...
dia menolak untuk memberikannya.
“tapi anda sudah minum” katanya.
“minum berapa terserah, ini kafe-kan, kau pikir aku tak sanggup bayar. Lihat ini uangku.” aku melempar seratusribuan ke wajahnya.
Manajernya datang dengan wajah kesal. Dia mengajak berkelahi,akan kau layani. Aku harap dia kuat. Aku harap dia bisa memberikan perlawanan yang bagus. Sang pelayan wanita menghalanginya. Aku tidak terima, dia sudah menghinaku.
Aku terjatuh tiba-tiba. Jantungku terasa sakit. Yang terakhir aku ingat adalah sirine ambulan yang membawaku pergi.
Aku bangun dengan menyadari atap putih dan bau steril rumahsakit. Aku teryata belum mati. Syukurlah, sangat tidak keren mati karena overdosis kafein. Pemilik kafe yang menyelamatkanku, dia mahasiswa kedokteran. Jangan tanya padaku bagaimana bisa.
Yang pasti aku masih hidup, dan yang aku tahu sekarang adalah semuanya percuma. Jika saja aku bertemu dengan dirinya seribu kali aku tak akan mampu mengatakan apapun. Aku terbaring kaku sering tidak sadar di tempat tidur. Kondisiku membaik dengan sangat lambat, mungkin karena diriku memang tidak niat sembuh. Tapi akhirnya aku membaik juga.
Pikiran lain di kepalaku adalah bahwa aku pasti akan diusir dari kafe itu. Pasti.
Untunglah, aku tak akan ke kafe itu lagi. Lagipula percuma saja aku bertemu dengan gadis itu lagi. Satu bulan lagi berlalu dan aku dapat reputasi buruk sebagai preman kafein. Teman-temanku menghiburku. Aku pernah berniat menceritakan cerita ini kepada temanku tapi mereka pasti hanya menertawaiku.
Di kafe lain yang baru buka, di dekat jendela. Aku menulis di laptopku sambil minum Espresso setelah kapok dengan kappucino. Menulis begitu panjang ketika hujan tiba-tiba turun dan seorang gadis merunduk berteduh di pinggir jalan. Gadis itu berpakaian kuning. Aku mengalihkan pandangan, mendengus. Gadis yang sangat menarik, aku langsung tahu aku menyukainya. Aku langsung tahu bahwa aku sangat ingin mendekat dengannya. Aku hanya mendengus. Lalu tiba-tiba sebuah ide menggelenyar di kepalaku. Aku tertawa.
Aku berlari keluar kafe dan menghampiri gadis itu dan berkata.
“Godzilla. Aku bertaruh, Godzilla akan langsung menghancurkan Ultraman”
Gadis itu mengkerutkan kening mengerutkan kening melihatku cengar-cengir. Dia pasti menganggapku semacam orang aneh. Dia pasti lari dengan wajah takut atau sebal tapi perkiraanku salah, dia malah berpikir serius.
“Entahlah, godzilla memang besar, tapi Ultraman mungkin bisa menghadapinya” kata gadis itu.
Aku-nya yang malah melongo.
“Ada apa? Aku memang pernah melihatnya waktu masih kecil. Kakakku, suka mengkoleksi hal-hal seperti itu dan sejenisnya. Dan dia sering berdiskusi dengan temannya tentang hal-hal yang.. Eh, kenapa kau. Kau mau mengerjaiku ya? ” dia nampak mundur bersiap dengan kuda-kuda ala karateka mungkin itu gerakan refleknya.
“Tidak. Tidak salah sih.. Tapi ada alasannya. Biar aku cerita oke”
Gadis itu menyipitkan mata. Tapi dia nampaknya mau mendengarkan.
Sementara aku mulai bercerita di pinggir trotoar di sebelah jalan aku merasa gadis yang berteduh di hujan dan kekasihnya pergi melewati kami sambil bergandengan tangan. Tapi mungkin cuma perasaanku.
“Kira-kira setengah tahun yang lalu... ”
Posting Komentar