Kau tahu?
Aku terus menunggu di bangku bandara itu, berharap ending film picisan menjelma pada kisahku, kisah kita. Berharap kau tak jadi terbang meninggalkan aku termangu di sini. Sendiri dan beku..
Ahh, kalau aku bilang begini di hadapanmu, pasti kau bilang aku terlalu mendramatisir perasaan. Kebanyakan nonton sinetron yang berlabel angka di belakang judulnya.
Kau memang sinis dan kejam dalam urusan perasaan. Terutama perasaanku padamu.
Kau mempersetankan tiap kata pujangga yang kubilang indah.
Kau tertawakan tiap kisah cinta yang kubilang sedih. Kau adalah manusia paling tak romantis, sementara aku ratu melankolis.

baca kelanjutan cerita:

Entah apa mau-Nya pertemukan kita begitu rupa dalam rasa saling suka. Mungkin benar kata orang, tiap manusia mencari pelengkap dirinya pada manusia lain. Dalam hal ini aku dan kamu adalah 2 kutub magnet yang berlawanan. Tak heran tarik menarik begitu kuat.

Tapi sungguh, sebagai orang yang menomorsatukan hati, aku jalani hubungan ini dengan makan hati. Kau adalah kebalikan semua pangeran-pangeran dalam buku dongengan koleksiku. Kenapa bertahan? Begitu teman-temanku bertanya kebingungan jika aku mengadu-terisak tapi tetap menolak untuk putus.
Akh, haruskah kujelaskan, kalau kau adalah makhluk paling jujur yang pernah kutemui seumur hidup. Tidak seperti bapak-ibuku yang bilang aku anak pintar padahal matematikaku di raport nyata-nyata berangka merah. Tidak seperti guru ngajiku yang bilang bohong tak apa untuk kebaikan. Tidak, tidak ada satu orang pun yang kuketahui tak pernah bohong selain kau.
Buatmu, jika kejujuran adalah masam, maka masamlah itu, kalau pahit maka pahitlah, tak kurang juga tak lebih. Jadi bayangkan ketika kau mengatakan suka padaku, itu adalah kejujuran manis yang jarang keluar dari mulutmu yang sinis. Jangan salahkan aku kalau hati-hati itu dengan lahap kumakan. Buatku harga kejujuran tak bisa disandingkan dengan perasaan yang tertekan.

Aku pernah.. ngg, maaf kukoreksi, aku SERING berada pada situasi manis yang imitasi. Wajah manis yang lebih sering membuatku menangis ini seperti kutukan. Di bangku SMA surat cinta dalam buku membuatku kaku. Rasa melankolisku terbang, lalu jatuh begitu saja pada pembuat surat indah. Rangkaian kata-kata indahnya membuatku jengah-terperangah saat nyata-nyata yang diharapnya cuma keperawananku.

Ah, wajah dan tubuhku yang kata orang-orang rupawan agaknya memang rawan dengan ketakjujuran laki-laki. Masa kuliah, aku tak terlalu menanggapi ketika puisi-puisi mengisi inbox-ku. Tapi lelaki yang satu ini tak hanya berkata-kata indah. Lelakunya juga indah serta rajin ibadah. Alhasil, untuk keduakalinya aku pun jatuh. Masa pacaran tak ada tanda-tanda dia mengincar keperawananku, menjamah pun tidak. Bukan muhrim katanya. Betapa aku tak melayang dengan kata indah yang sesuai dengan perilaku macam begini?
Tapi rupanya lelaki yang sempurna memang tak ada. Dia memang tak menciumku dengan bibir, tapi dengan kepalan tangan yang tak sungkan mampir, tak hanya buat matang biru, kadang juga pecah bibir. Hanya karena aku terlalu lama di mall, berbicara dengan teman kampusku yang lelaki, atau bahkan sekedar berhaha hihi di telpon.
Jika kalian ributkan KDRT yang terjadi pada masa perkawinan, maka aku sudah mengalaminya bahkan dalam masa pacaran. Dengan sedikit ironis, aku harus mensyukuri keadaan itu dan memuja filosofi orang jawa, filosofi untung. Ya, untung belum terlanjur menikah. Betapa tidak, horor saat berpasangan ternyata berbanding lurus dengan saat sudah tak jadi pasangan. Imel, sms, telpon, bahkan paket yang bernada mengancam kerap mampir setelah dia kuputuskan.
Hhh.. bahkan dia lebih mengerikan saat kutinggalkan. Posesif yang terlalu membuatnya seperti kisah-kisah psikopat dalam film. Butuh campur tangan polisi untuk membuatnya sadar bahwa aku tak mau lagi diatur, tak mau lagi kepala dibentur-bentur.

Lalu yang ke-3. Ahh, berapa banyak persedian kesabaran kalian untuk membaca curhatanku ini? Kusingkat sajalah, karena ceritaku nanti bisa kalian lihat kurang-lebihnya dalam sinetron pada jam prime time. Aku seperti kena kutuk atas hobi beratku dengan cerita-cerita melankolis. Tak hanya dalam fiksi, aku juga harus mengalaminya dalam nyata. Bukan, aku bukan wanita bodoh yang tak bisa membaca gelagat. Tapi merekalah, para lelaki itulah yang terlalu pintar berakrobat kata dan rasa. Sederhananya mereka pintar sekali mengatakan padahal tak merasakan, menyembunyikan busuk niatan musang dalam bulu-bulu ayam.
Nah setelah mengalami 6 kebohongan dalam 6 hubungan berturut-turut, jangan salahkan aku kalau takut pada indah kata-kata, manis madu mulut. Sudah kubilang kan tadi, aku bukan wanita bodoh.
Jadi maaf saja, puisi indah, rayuan gombal, menyanyi sambil bergitar; tak lagi buatku bergetar melainkan ketakutan gemetar. Ternyata selain guru yang berharga, pengalaman juga memelihara ketakutan. Ketakutan yang makin membesar seiring kegagalan hubungan-hubunganku.

Ketakutan yang pecah begitu saja seperti balon hijau, yang membuat hatiku sangat kacau, saat aku bertemu kau. Kamu dengan senyum kakumu, dengan otak yang besar sebelah di bagian kiri, dengan tatapan dingin yang menatapku tanpa ingin.
”Puspa..”
”Genta..”
Ah jabat tanganmu pun erat tanpa ada senyum hangat.
Kalau saja tak mengingat kita ada di divisi yang sama di kantor, mana mungkin aku mau bersusah payah berbasa-basi mengajak berkenalan. Padahal kau yang anak baru. Kau tahu? Kau memang sungguh keterlaluan dalam soal tata krama pergaulan.
Jadi kepintaranmu yang memecahkan segala soal di divisi kita dengan dingin penuh logika dan tanpa perasaan (kau menyebutnya efektif-aku menyebutnya sadis), membuatmu melampauiku, dari rekan berubah jadi atasan.
Ketampananmu yang khas laki-laki. Kemapananmu dan segala ke-an mu yang lain membuat wanita di kantor kami maupun kantor klien, antri mengajak kencan tapi gentamu tak juga berbunyi, bergerak pun tidak. Jika tak atas nama pekerjaan takkan ada pertemuan, jadi jangan harap ada rapat yang berubah jadi rapet. So, di situasi kami semua sudah menganggap kau frigid bahkan gay, kau mengajakku bertemu bahkan bertamu ke rumahku dan..
”Puspa, aku suka kau, ada pertanyaan?..”
Entah darimana kau dapat ide ’menembak’ cewek dengan cara sedingin itu? Yang kuyakin hanyalah kejujuran ucapanmu dan itu lebih dari cukup untuk membuatku mengangguk..
”Ngg.. oke, jadi apa pertanyaanmu?..”
ADUH! Iya dia kan tak bertanya maukah aku jadi pacarmu.. jadi anggukanku menuntut jawaban berupa pertanyaan. Yah jadilah jawaban-pertanyaan yang terlintas paling jujur di kepalaku saat itu.
”Kenapa?..”
Sungguh mati. Baru kali itu kulihat kau menunjukkan ekpresi selain dingin, ekspresi yang menandakan bahwa kau manusia biasa yang punya rasa. Merah dadu pada tulang rahangmu membuatku gemas.
”Jujur, aku tak tahu.. aku hanya ingin kita lebih dari sekedar partner kerja..”
”Maksud Bapak, bawahan dan atasan..” koreksiku.
Kau melambaikan tangan tak sabar.
”Ahh, persetanlah dengan hirarki jabatan, kau mau atau tidak itu yang jauh lebih penting dan plis panggil saja namaku..”
Ahhh, tahukah kau. Aku seperti memergoki seorang anak lelaki yang mimpi basah untuk pertama kalinya. Sifat defensifmu malah membuatku makin yakin akan kejujuran kata-katamu, kejujuran yang lugas kalau tak mau dibilang lugu.

Jadi tolong katakan. Kenapa aku kini ada di sini? Terdampar di bangku-bangku bisu bandara?
”Kenapa bisa hamil?”
”Wahai Genta, apakah otak pintarmu tak termasuk soal seks?..”
”Bukan begitu, maksudku kau tahu kan aku dikirim perusahaan ke Inggris..”
”Apa hubungannya dengan kehamilanku? Kau toh cuma dikirim 1 bulan, bahkan waktu kaupulang pun perutku belum akan membesar..”
”Itu masalahnya, Pak Pandu memintaku belajar banyak dari pusat dan itu tak cukup satu bulan.”
Ahhh mau berapa bulan pun, kutangkap kata-katamu adalah bualan. Kebohongan pertamamu yang berani-beraninya kauucapkan di depan calon anak kita..

Jadi tolong jangan kau tanya-tanya kenapa aku terus saja ada di sini bersama anak kita, meski jasad kami sudah kaukubur di tanah gembur dekat dapur. Kebohongan mungkin bisa kaukubur, tapi kejujuran tetap akan menggerayangimu sayang.
Mau bukti?

Selesai

Other Article



visit the following website Senyawa kimia Berita Bola