Si Kecil Kesengsem Gurunya?
17.23
Diposting oleh Melany Christy
Guru bisa menyampaikan sesuatu dengan cara yang lebih bersahabat.
Duh, kesalnya, meski mulut kita sudah berbusa meminta si kecil untuk membereskan mainannya, ia tak juga mengindahkannya. Eh, sekalinya patuh, ia bisa-bisanya berkata, "Oke, aku beresin. Soalnya kata pak guru, kalau habis main, semuanya harus dibalikin ke tempat semula."
Lho, bukankah kita juga bilang begitu selama ini? Apakah anak-anak sekecil ini pun sudah menganut paham, yang penting bukan apa yang dibicarakan tapi siapa yang berbicara?
Guru dan dokter
Guru dan dokter merupakan figur istimewa bagi anak-anak. Di usia 3-5 tahun, si kecil sudah bisa menilai kepandaian seseorang. Guru yang kerap mengajarinya banyak hal: bernyanyi, mewarnai, berbicara bahasa Inggris, hingga olahraga, masuk kategori pandai. Demikian pula dengan dokter yang mampu mengobatinya kala sakit. Lantaran guru dan dokter adalah orang pandai, ia akan sangat percaya dengan apa yang dikatakan mereka.
Jangan lupa, kebiasaan kita mengutip ucapan guru atau dokter juga menguatkan persepsi anak bahwa sosok guru dan dokter merupakan orang-orang yang bisa dipercaya dan dipatuhi. "Ayo, makan. Dokter kan bilang kamu harus banyak makan supaya cepat besar!" Atau, "Ingat apa yang dibilang bu guru? Sebelum berangkat sekolah kamu harus sarapan!"
Cara kita melarang tanpa alasan jelas dengan gaya yang membuat anak tersudut dan merasa tidak dihargai akan membangun kesan negatif pada diri anak.
Sosok idola
Masih ada beberapa alasan mengapa anak lebih percaya dan patuh terhadap guru atau dokter, seperti:
Lebih sabar
Selain mengetahui guru dan dokter adalah orang-orang pandai, anak pun kerap terkagum-kagum akan perilaku mereka yang penyabar, penuh senyum, penyayang, dan kerap membantu orang yang sedang membutuhkan. Kekaguman itu akan membuat anak mengidolakan mereka.
Dibandingkan kita yang kerap kehilangan kesabaran saat menasihati mereka, guru atau dokter biasanya menyampaikan sesuatu dengan cara yang sangat bersahabat, yang membuat anak merasa nyaman. Pada gilirannya, rasa nyaman ini menumbuhkan kedekatan anak dengan figur tersebut.
Rasa takut
Namun tak hanya pengidolaan, ketakutan pun bisa menjadi penyebab kepatuhan anak pada kata-kata guru atau dokter. Kita lah yang terkadang membangun persepsi yang menakutkan pada kedua profesi itu. "Kalau tidak mau makan nanti dimarahi bu guru, lho!" Atau, "Kamu mau disuntik dokter atau makan?"
Kata-kata yang berlebihan itu tentu dapat membuat anak-anak prasekolah bergidik. Kalau sikap guru atau dokter yang ditemuinya memang dingin dan kaku, atau anak pernah mengalami pengalaman buruk (misal, kesakitan kala disuntik) akan semakin mengukuhkan ketakutan anak.
Pendekatan berbeda
Pendekatan guru atau dokter kepada anak umumnya akan berbeda dengan orangtua. Profesionalitas akan mendorong guru atau dokter mencari cara agar pendekatan yang dilakukan pada seorang anak bisa berhasil (dalam arti anak merasa nyaman dan mau mengikuti keinginan mereka). Apabila pendekatan yang dilakukan orangtua amat bertolak belakang (misal orangtua kerap tidak sabar, kata-katanya tak lembut, terkesan memerintah dengan ekspresi marah) maka "kebanting lah" sosok orangtua.
Ingat, kemampuan anak-anak prasekolah sudah berkembang. Tanpa perlu diperintah, ia sebenarnya tahu kalau ia harus mandi, harus makan, harus cuci tangan, dan sebagainya. Ketika orangtua memerintah layaknya seorang raja, makan anak kerap tak patuh.
Lho, bukankah kita juga bilang begitu selama ini? Apakah anak-anak sekecil ini pun sudah menganut paham, yang penting bukan apa yang dibicarakan tapi siapa yang berbicara?
Guru dan dokter
Guru dan dokter merupakan figur istimewa bagi anak-anak. Di usia 3-5 tahun, si kecil sudah bisa menilai kepandaian seseorang. Guru yang kerap mengajarinya banyak hal: bernyanyi, mewarnai, berbicara bahasa Inggris, hingga olahraga, masuk kategori pandai. Demikian pula dengan dokter yang mampu mengobatinya kala sakit. Lantaran guru dan dokter adalah orang pandai, ia akan sangat percaya dengan apa yang dikatakan mereka.
Jangan lupa, kebiasaan kita mengutip ucapan guru atau dokter juga menguatkan persepsi anak bahwa sosok guru dan dokter merupakan orang-orang yang bisa dipercaya dan dipatuhi. "Ayo, makan. Dokter kan bilang kamu harus banyak makan supaya cepat besar!" Atau, "Ingat apa yang dibilang bu guru? Sebelum berangkat sekolah kamu harus sarapan!"
Cara kita melarang tanpa alasan jelas dengan gaya yang membuat anak tersudut dan merasa tidak dihargai akan membangun kesan negatif pada diri anak.
Sosok idola
Masih ada beberapa alasan mengapa anak lebih percaya dan patuh terhadap guru atau dokter, seperti:
Lebih sabar
Selain mengetahui guru dan dokter adalah orang-orang pandai, anak pun kerap terkagum-kagum akan perilaku mereka yang penyabar, penuh senyum, penyayang, dan kerap membantu orang yang sedang membutuhkan. Kekaguman itu akan membuat anak mengidolakan mereka.
Dibandingkan kita yang kerap kehilangan kesabaran saat menasihati mereka, guru atau dokter biasanya menyampaikan sesuatu dengan cara yang sangat bersahabat, yang membuat anak merasa nyaman. Pada gilirannya, rasa nyaman ini menumbuhkan kedekatan anak dengan figur tersebut.
Rasa takut
Namun tak hanya pengidolaan, ketakutan pun bisa menjadi penyebab kepatuhan anak pada kata-kata guru atau dokter. Kita lah yang terkadang membangun persepsi yang menakutkan pada kedua profesi itu. "Kalau tidak mau makan nanti dimarahi bu guru, lho!" Atau, "Kamu mau disuntik dokter atau makan?"
Kata-kata yang berlebihan itu tentu dapat membuat anak-anak prasekolah bergidik. Kalau sikap guru atau dokter yang ditemuinya memang dingin dan kaku, atau anak pernah mengalami pengalaman buruk (misal, kesakitan kala disuntik) akan semakin mengukuhkan ketakutan anak.
Pendekatan berbeda
Pendekatan guru atau dokter kepada anak umumnya akan berbeda dengan orangtua. Profesionalitas akan mendorong guru atau dokter mencari cara agar pendekatan yang dilakukan pada seorang anak bisa berhasil (dalam arti anak merasa nyaman dan mau mengikuti keinginan mereka). Apabila pendekatan yang dilakukan orangtua amat bertolak belakang (misal orangtua kerap tidak sabar, kata-katanya tak lembut, terkesan memerintah dengan ekspresi marah) maka "kebanting lah" sosok orangtua.
Ingat, kemampuan anak-anak prasekolah sudah berkembang. Tanpa perlu diperintah, ia sebenarnya tahu kalau ia harus mandi, harus makan, harus cuci tangan, dan sebagainya. Ketika orangtua memerintah layaknya seorang raja, makan anak kerap tak patuh.
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under
article,
konseling,
serba serbi
. Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
21 Februari 2010 pukul 17.28
Perlu dibaca dan diaplikasikan oleh guru. Guru yang baik dan dekat dengan murid akan membuat murid nyaman dan lebih efektif menerima pembelajaran. mantab!