PANCARAN berlebihan sonar di lautan mengganggu pendengaran mamalia laut, bahkan menyebabkan tuli sesaat yang mengancam keselamatan.

Banyaknya kasus paus dan lumba-lumba yang terdampar di pantai, yang banyak terjadi beberapa dekade lalu, mengarah pada aktivitas latihan kapal perang. Teorinya, pendengaran mamalia laut rusak akibat kuatnya pancaran sonar frekuensi menengah yang digunakan kapal selam maupun kapal laut.

Sonar yang menjadi navigasi pergerakan mamalia laut pada tingkat tertentu justru membuat disorientasi. Hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Biology Letters yang terbit di Inggris, Rabu lalu, memperkuat dugaan itu meskipun masih dalam skala laboratorium.

Namun, penulisnya memberi penekanan, penelitian itu bukan untuk menyalahkan sonar yang dipancarkan kapal-kapal perang. Beberapa waktu lalu, penelitian berbeda menyebutkan, keriuhan aktivitas kapal di permukaan laut mengganggu produktivitas biota laut.

Para ahli biologi kelautan di bawah pimpinan Aran Mooney dari Universitas Hawaii menguji coba lumba-lumba yang lahir di penangkaran—lumba-lumba hidung botol dari Atlantik—dengan paparan sonar berfrekuensi menengah dari sebuah alat khusus. Eksperimen dilakukan di kandang lokasi laut terbuka di Institut Biologi Laut Hawaii yang dihadiri pelatih lumba-lumba.

Para peneliti memasang sejenis alat penyedot tanpa lengan di kepala lumba-lumba dengan menempelkan sensor pemantau gelombang otak. Hasilnya, ketika alat penimbul bunyi (ping) mencapai kekuatan 203 desibel dan terus diulang, data saraf menunjukkan mamalia uji tuli. Otak tak cukup merespons bunyi.

Menurut Mooney, tahapan uji itu tidak melukai lumba-lumba. Mamalia uji hanya tuli sesaat. Pendengarannya secara tipikal pulih dalam 20 menit dan hanya terjadi pada tingkatan tertentu, yang telah diatur. Pada tingkatan tertentu ketika sonar dinyalakan, sensor yang dipasang menunjukkan terjadinya peningkatan napas cepat secara signifikan. Ia menyatakan, pengulangan sonar berdampak pada perilaku dan psikis lumba-lumba. Namun, mereka belum tahu bila diekstrapolasikan di alam liar.

”Level suara yang kami gunakan setara dengan jika obyek berjarak 40 meter dari sumber sonar,” kata Mooney. Reaksi lumba-lumba dalam kondisi seperti selama dua menit tampak kebingungan dan kesulitan mencari jalan keluar.

Di laut lepas, bunyi yang mengganggu bisa jadi tak selemah ketika uji coba. Bunyi-bunyi itu kadang terjebak pada lapisan yang disebut termoklin, pada kedalaman lebih dari 100 meter atau sekitar itu.

Pada kondisi itu, diperkirakan akan menyulitkan mamalia laut mencari lokasi yang lebih tenang. Masih dibutuhkan penelitian lain dengan kondisi yang berbeda-beda.

Other Article



visit the following website Senyawa kimia Berita Bola