Katak, dan Kerusakan Lingkungan
07.42
Diposting oleh Melany Christy
BAGI sebagian orang, katak dan kodok adalah hewan yang menjijikkan karena kulitnya berlendir, bahkan ada yang beracun. Namun, bagi Djoko Tjahjono Iskandar, herpetolog atau peneliti reptil dan amfibi dari Institut Teknologi Bandung, katak adalah salah satu amfibi yang seksi dan khas.
Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang beraneka ragam menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, karena bisa hidup di air dan di darat, katak dapat digunakan untuk mengukur adanya kerusakan lingkungan hidup. Cacat atau hilangnya jenis katak tertentu bisa menjadi indikasi kerusakan lingkungan.
"Keanekaragaman katak di Indonesia adalah surga bagi peneliti. Kini baru 400-500 spesies katak yang ditemukan di Indonesia. Kemungkinan besar masih banyak katak yang menunggu ditemukan," katanya.
Djoko membuktikannya sendiri dengan menjelajah ke berbagai tempat di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua. Hasil penelitiannya antara lain 16 jenis baru katak, diakui sebagai kontribusi yang penting.
Oleh karena itu, para peneliti asing mengabadikan penemuan ini untuk menghormati dia, antara lain dengan menamakan temuannya sebagai Collocasiomya iskandari (2000), Luperosaurus iskandari (2003), Fejervarya iskandari (2004), dan Draco iskandari (2007).
Ia juga melakukan penelitian ilmiah pada beberapa katak khas Indonesia lainnya, seperti katak tanpa paru-paru, yakni katak kepala pipih kalimantan (Barbourula kalimantanensis).
Sempat mendeskripsikan jenis itu pada 1978, Djoko berhasil menemukan kembali tahun 2007 di Taman Nasional Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat. Katak ini merupakan satu-satunya katak di dunia yang bernapas tanpa paru-paru, tetapi menggunakan kulit. Nenek moyangnya diyakini sudah ada sejak 50 juta tahun lalu.
International Union for Conservation of Nature lalu memberikan perlindungan kepada katak kepala pipih sebagai satwa yang terancam punah. Diperkirakan jumlahnya terbatas dan merupakan endemik di Kalimantan.
Djoko juga menemukan katak unik lain di Sulawesi tahun 1989. Uniknya, katak yang hingga kini belum diberi nama itu tak bertelur, tetapi merupakan katak pertama di dunia yang melahirkan kecebong.
Minim informasi
Keahlian menemukan dan mendeskripsikan berbagai macam katak spesies baru itu tak didapat Djoko dengan mudah. Minimnya data membuat dia harus mengawali studi katak dari penduduk kampung hingga berkorespondensi dengan ahli katak terkemuka dunia.
Satu per satu peneliti katak dunia dia kirimi surat berisi pertanyaan dan penelitian tentang katak di Asia atau Indonesia. Peneliti hewan terkenal dunia yang dihubunginya antara lain RF Inger.
"Jawabannya memakan waktu yang lama. Saat itu teknologi belum maju karena kami hanya memakai jasa pos. Namun, hati saya sangat senang karena data yang diberikan banyak dan lengkap," kata pengajar Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB ini.
Ia juga banyak belajar dari penduduk lokal. Salah satu pengalamannya ketika mencari katak di hutan Sulawesi tahun 1990-an. Sebagai orang baru di dunia katak, ia bersemangat masuk hutan hendak mencari katak pada siang hari. Namun, hal itu justru mengundang tanya penduduk setempat.
Seorang penduduk mengatakan, mencari katak pada siang hari itu tindakan sia-sia. Waktu ideal mencari katak ternyata malam hari. Dia sadar, pengalamannya di dunia katak belum banyak.
Hal serupa dia alami ketika mencari katak kepala pipih di Kalimantan pada 2007. Ia buta tentang tempat tinggal dan cara hidup katak kepala pipih. Satu-satunya informasi adalah katak yang pernah dibawa temannya, seorang ahli ikan, dari Kalimantan tahun 1978. Jadilah, hingga hari ke-10 ia belum menemukan si kepala pipih. Padahal, biasanya katak dengan informasi lengkap bisa ditemukan dengan segera.
Baru pada hari ke-12, timnya menemukan dua ekor katak kepala pipih yang hidup di bawah batu sekitar sungai. Namun, saat hendak diteliti dan dimasukkan ke dalam ember, katak itu mati.
"Sampai mati dua ekor katak. Setelah dibedah, baru diketahui dia tak punya paru-paru. Katak itu ternyata bernapas menggunakan kulit," katanya.
Meski telah menemukan berbagai katak spesies baru, Djoko belum merasa puas. Ia yakin, masih banyak jenis katak lain yang hidup dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
Minimnya informasi itu adalah ironi. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah spesies katak yang banyak, tetapi tak lebih dari 20 peneliti katak di negeri ini.
"Berbeda dengan negara-negara di Eropa. Di tiap negara minimal ada seorang herpetolog. Data yang dimiliki sangat lengkap, dari nenek moyang katak hingga yang kini masih hidup. Padahal, di dataran Eropa katak hanya sekitar 40 jenis," ujarnya.
Warisan dunia
Belajar dari pengalaman itu, Djoko mulai rajin menulis buku dan publikasi di berbagai tempat. Hingga kini 68 publikasi internasional dan sembilan buku telah diterbitkan. Selain itu, 45 publikasi nasional dan 10 buku bisa dinikmati masyarakat.
Bahkan, lebih dari 100 presentasi internasional dan nasional telah dia lakukan. Tempatnya pun bermacam-macam, dari ruang seminar internasional di Singapura hingga kebun binatang di Bandung.
Akan tetapi, menurut Djoko, usaha itu harus ditingkatkan, terutama dengan menambah jumlah peneliti katak. Meski tak berpotensi menambah pundi harta peneliti, penelitian katak adalah usaha pertanggungjawaban pada keanekaragaman hayati Indonesia. Bahkan, mungkin suatu hari nanti ada kegunaan lain dari hasil penelitian berbagai katak tersebut.
Katak, diyakini Djoko, bisa dipublikasikan, baik sebagai lambang daerah atau taman nasional. Dia berharap, setelah dikenal masyarakat, ekosistem dan keberlangsungan hidup katak bisa terjaga.
Selain itu, masih banyak kemungkinan yang bisa digali. Contohnya, berbagai pertanyaan pada penelitian katak berkepala pipih.
"Dunia ini masih memiliki banyak ilmu yang belum digali. Tugas semua pihak adalah hadir di sana, mencari ide baru, lantas mengabarkannya kepada semua orang. Itulah inti dari hadirnya ilmu dalam masyarakat," katanya.
Posting Komentar