Putu Medan, Puluhan Tahun Menemani Warga Jakarta
23.17
Diposting oleh Melany Christy
DARI Medan, berkembang ke Jakarta bahkan Malaysia. Begitulah perjalanan cemilan bernama putu bambu dan putu mayang. Seperti namanya, putu bambu adalah putu seperti yang kita kenal, terbuat dari tepung beras dan irisan gula jawa dimasak dalam bambu yang yang sudah dikemas sedemikian rupa. Setelah itu, diberi topping parutan kelapa.
Bedanya, ketika putu bambu dimasak tak mengeluarkan bunyi seperti penjual putu yang biasa keliling. Selain itu, ukuran putu bambu lebih besar dibandingkan putu biasa. Bambu yang digunakan otomatis lebih besar. Warna putu bambu aslinya adalah putih tidak seperti putu ”jakarta” yang berwarna hijau, meski putu bambu juga bisa diberi warna hijau sesuai selera warga Jakarta. Perbedaan lain, selain taburan kelapa, putu bambu juga bertabur gula pasir.
Demikian pula putu mayang, tak seperti di Jakarta yang berwarna-warni, putu mayang medan tak mau berdandan centil. Dia tetap pada waran aslinya, putih, ditaburi gula pasir. ”Tapi terserah pembeli, mau ditaburi gula jawa cair juga bisa,” ujar Warnim, istri Syaiful Bahri, pedagang putu bambu dan putu mayang di Jalan Toko Tiga Sebrang, Jakarta Barat.
Pedagang putu bambu dan putu mayang, seperti penjual cemilan manis-manis lainnya, berdagang menggunakan gerobak dan mangkal di satu tempat. Jika di awal usaha hanya ada putu mayang dan putu bambu maka seiring perjalanan waktu, kue-kue teman minum teh atau kopi ini pun bertambah. Sebut saja lupis, cenil, klepon, kue talam hingga ongol-ongol, dadar gulung, ketan kuning, wajik, dan masih banyak lagi.
”Itu pesanan orang. Orang pengen ada ini, itu, seperti juga orang ada yang maunya putu warna hijau, ya, kami bikin. Tapi aslinya putu mayang dan putu bambu itu putih tulen, asli warna tepung beras,” kata Idrus Tanjung yang didampingi istrinya, Murnizar yang membuka dagangan di dekat Lokasari, Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat.
Jika Syaiful Bahri mulai membuka usaha di ujung Jalan Toko Tiga Sebrang, tepatnya di dekat pertigaan jalan tersebut, Jalan Perniagaan, dan Jalan Kemenangan sejak 1985 maka Idrus Tanjung memulai di seputaran Lokasari pada 1992. Sejak itu pula warga di seputaran kawasan tersebut setiap sore hingga malam bisa menikmati cemilan manis tersebut. Harga satuan cemilan itu dipatok Rp 1.500 kecuali cenil dan ongol-ongol yang dijual per porsi, seukuran gelas sedang, sekitar Rp 3.000.
”Kalau sebelum kerusuhan, kami buka setiap hari dari jam empat sore sampai jam sebelas malam. Sekarang dari setengah tiga sore sampai jam sembilan malam. Dulu kan makin malam makin ramai. Apalagi masih ada bioskop Chandra (kini jadi pertokoan-Red) di Pancoran itu. Orang pulang kerja juga masih banyak, jalanan sempit tapi yang banyak orang jalan kaki atau naik becak,” begitu Warnim berkisah.
Sore menjelang malam berapa waktu lalu ketika Warta Kota ingin mencoba putu bambu dan putu mayang di gerobak Warnim, rata-rata pelanggannya memang orang pulang kerja yang selalu melewati gerobak putu ini atau keluarga yang sekadar ingin cemilan manis saja. ”Lumayan sambil nonton film di rumah,” jawab seorang pembeli.
Cerita yang hampir sama juga disampaikan Murnizar dan Idrus, yang membuka dagangan Senin-Sabtu mulai 18.00 hingga tengah malam atau bahkan pukul 01.00 dini hari. ”Ini memang makanan khas malam,” tandas Idrus. Turunnya pelanggan yang membeli dagangan mereka belakangan ini, menurut mereka, tak lain adalah karena makin redupnya bisnis hiburan di jantung hiburan Jakarta ini. ”Dulu kan apa juga ada, tempat hiburan masih banyak yang buka, jadi sampai malam pun orang pasti masih perlu cemilan manis seperti ini,” kata Idrus yang diamini Murnizar.
Buat mereka yang ingin melek hingga pagi, menginginkan makanan penutup, atau sedang tak tertarik makan besar, cemilan manis ini memang bisa jadi teman yang sangat menyenangkan apalagi jika dilahap hangat-hangat. Khususnya untuk putu bambu dan putu mayang, yang memang jadi jagoannya.
Putu bambu terasa begitu lembut dengan rasa campuran manis dan gurih karena gula jawa di dalamnya, parutan kelapa, dan butiran gula pasir. Demikian pula putu mayang yang terlihat kaku tapi begitu sampai di mulut, terasa lembut. Rasa alami tanpa pewarna bercampur gula pasir bikin makan putu mayang (dan putu bambu) menjadikan sebuah pengalaman nyemil yang lain.
Bedanya, ketika putu bambu dimasak tak mengeluarkan bunyi seperti penjual putu yang biasa keliling. Selain itu, ukuran putu bambu lebih besar dibandingkan putu biasa. Bambu yang digunakan otomatis lebih besar. Warna putu bambu aslinya adalah putih tidak seperti putu ”jakarta” yang berwarna hijau, meski putu bambu juga bisa diberi warna hijau sesuai selera warga Jakarta. Perbedaan lain, selain taburan kelapa, putu bambu juga bertabur gula pasir.
Demikian pula putu mayang, tak seperti di Jakarta yang berwarna-warni, putu mayang medan tak mau berdandan centil. Dia tetap pada waran aslinya, putih, ditaburi gula pasir. ”Tapi terserah pembeli, mau ditaburi gula jawa cair juga bisa,” ujar Warnim, istri Syaiful Bahri, pedagang putu bambu dan putu mayang di Jalan Toko Tiga Sebrang, Jakarta Barat.
Pedagang putu bambu dan putu mayang, seperti penjual cemilan manis-manis lainnya, berdagang menggunakan gerobak dan mangkal di satu tempat. Jika di awal usaha hanya ada putu mayang dan putu bambu maka seiring perjalanan waktu, kue-kue teman minum teh atau kopi ini pun bertambah. Sebut saja lupis, cenil, klepon, kue talam hingga ongol-ongol, dadar gulung, ketan kuning, wajik, dan masih banyak lagi.
”Itu pesanan orang. Orang pengen ada ini, itu, seperti juga orang ada yang maunya putu warna hijau, ya, kami bikin. Tapi aslinya putu mayang dan putu bambu itu putih tulen, asli warna tepung beras,” kata Idrus Tanjung yang didampingi istrinya, Murnizar yang membuka dagangan di dekat Lokasari, Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat.
Jika Syaiful Bahri mulai membuka usaha di ujung Jalan Toko Tiga Sebrang, tepatnya di dekat pertigaan jalan tersebut, Jalan Perniagaan, dan Jalan Kemenangan sejak 1985 maka Idrus Tanjung memulai di seputaran Lokasari pada 1992. Sejak itu pula warga di seputaran kawasan tersebut setiap sore hingga malam bisa menikmati cemilan manis tersebut. Harga satuan cemilan itu dipatok Rp 1.500 kecuali cenil dan ongol-ongol yang dijual per porsi, seukuran gelas sedang, sekitar Rp 3.000.
”Kalau sebelum kerusuhan, kami buka setiap hari dari jam empat sore sampai jam sebelas malam. Sekarang dari setengah tiga sore sampai jam sembilan malam. Dulu kan makin malam makin ramai. Apalagi masih ada bioskop Chandra (kini jadi pertokoan-Red) di Pancoran itu. Orang pulang kerja juga masih banyak, jalanan sempit tapi yang banyak orang jalan kaki atau naik becak,” begitu Warnim berkisah.
Sore menjelang malam berapa waktu lalu ketika Warta Kota ingin mencoba putu bambu dan putu mayang di gerobak Warnim, rata-rata pelanggannya memang orang pulang kerja yang selalu melewati gerobak putu ini atau keluarga yang sekadar ingin cemilan manis saja. ”Lumayan sambil nonton film di rumah,” jawab seorang pembeli.
Cerita yang hampir sama juga disampaikan Murnizar dan Idrus, yang membuka dagangan Senin-Sabtu mulai 18.00 hingga tengah malam atau bahkan pukul 01.00 dini hari. ”Ini memang makanan khas malam,” tandas Idrus. Turunnya pelanggan yang membeli dagangan mereka belakangan ini, menurut mereka, tak lain adalah karena makin redupnya bisnis hiburan di jantung hiburan Jakarta ini. ”Dulu kan apa juga ada, tempat hiburan masih banyak yang buka, jadi sampai malam pun orang pasti masih perlu cemilan manis seperti ini,” kata Idrus yang diamini Murnizar.
Buat mereka yang ingin melek hingga pagi, menginginkan makanan penutup, atau sedang tak tertarik makan besar, cemilan manis ini memang bisa jadi teman yang sangat menyenangkan apalagi jika dilahap hangat-hangat. Khususnya untuk putu bambu dan putu mayang, yang memang jadi jagoannya.
Putu bambu terasa begitu lembut dengan rasa campuran manis dan gurih karena gula jawa di dalamnya, parutan kelapa, dan butiran gula pasir. Demikian pula putu mayang yang terlihat kaku tapi begitu sampai di mulut, terasa lembut. Rasa alami tanpa pewarna bercampur gula pasir bikin makan putu mayang (dan putu bambu) menjadikan sebuah pengalaman nyemil yang lain.
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under
makanan
. Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar