Tak Akan Lari, Lek Tau Kukejar
22.16
Diposting oleh Melany Christy
Di antara sekian banyak jenis makanan yang berjejer di kawasan Pancoran, Jakarta Barat, ada satu yang lumayan menarik perhatian. Kenapa? Karena pedagangnya masih sangat tradisional, berkeliling dengan pikulan. Tapi, kalau dia datang, langsung dikerubungi pelanggannya.
Makanan yang dijual juga unik, namanya lek tau. Rasanya, tidak ada tempat permanen yang menjual makanan ini. Bahkan, pedagang keliling pun bisa dibilang tinggal tersisa Atim bin Saimin ini. Lek tau adalah bahasa Hokkian yang artinya kacang hijau. Meski Atim dan pelanggan lain bersikukuh nama itu berasal dari bahasa Betawi karena makanan ini diyakini sebagai makanan asli Betawi dari sejak sebelum kemerdekaan.
Tapi apa pun asal bahasanya, makanan yang digendong Atim saban hari sejak 1975 itu memang kacang hijau. Bedanya, ini kacang hijau yang lebih mirip wedang ronde. Pasalnya, tidak seperti (bubur) kacang hijau yang biasa Anda konsumsi, kacang hijau ini lebih encer dengan rasa jahe yang lebih kuat. Jadi lebih hangat begitu mampir di kerongkongan. Kacang hijau ini berteman dengan santan yang lebih kental, ditambah pacar cina dan onde-onde dari sagu.
Orang biasa membeli lek tau untuk dibawa pulang, atau makan di tempat. Karena ini makanan pikulan, Atim tidak punya tempat khusus untuk bersantap. Maka bersiaplah "menumpang" di pinggir warung atau di taman mungil di depan Hotel Pancoran atau di warung-warung makan yang ada di belakang gedung Gloria. Atau, ya dimakan di rumah. Risikonya, kenikmatannya bakal berkurang karena lek tau lebih nikmat dimakan saat masih panas.
Semangkuk lek tau, harganya antara Rp 2.000 dan Rp 2.500. "Pembeli boleh pilih. Ada yang minta dibanyakin onde-onde-nya atau pacar cinanya. Atau ada yang minta kacang hijaunya dibanyakin," kata Atim yang asal Tangerang ini. Rasanya? Anda tentu pernah makan bubur kacang hijau dan pernah merasakan wedang ronde. Nah, lek tau adalah paduan keduanya. Rasa manis dan jahe yang bikin hangat, pas. Rasa manisnya juga dominan manis dari gula jawa. Gurih dengan santan yang tak terlalu encer. Rasa yang unik, itu saja.
"Cuma orang-orang lama aja yang tahu makanan ini. Ini makanan asli Betawi," ujar Atim. Kisah soal "hanya" orang-orang lama yang tahu soal lek tau tampaknya klop. Ketika Warta Kota akhirnya berhasil "menangkap" Atim dan lek tau-nya, setelah dua pekan menanti, pelanggan yang biasa mengonsumsi lek tau sejak bocah dan kebetulan sedang berada di seputaran Pancoran sampai-sampai rela mengejar Atim.
"Pak, lek tau ya. Udah lama banget saya enggak makan lek tau. Bungkus dua, ya," kata Shinta, karyawati bank swasta, yang ketika tinggal di seputaran Tanah Abang tahun 1980-an biasa bertemu lek tau. Dia sah-sah saja tidak ingat siapa penjualnya. Tapi Atim yakin, pelanggannya tak lain pelanggannya sejak 1975.
Jika Anda memang sedang ingin berburu lek tau, bersiaplah dengan yang namanya penantian. Atim biasa ada di seputaran Pancoran, Jakarta Barat. Biasanya Atim muncul sekitar pukul 16.00-17.00 di depan gedung Fortuna. Dia akan melanjutkan perjalanan dan berhenti di depan Apotek Semesta (ke arah Jalan Pintu Kecil, di deretan seberang gedung Gloria) sekitar pukul 17.30. Pukul 18.00 biasanya dagangannya sudah ludes.
"Kalau pagi, dari jam 08.30 sampai sekitar jam 3 sore, saya ada di Pasar Pagi Lama, Petak Baru. Di jalan kayak gini juga (trotoar)," tandas Atim, "Kalau Sabtu sama Minggu saya lebih cepet sampai Gloria. Jam 1 juga udah sampe, kan yang kerja di Pasar Pagi sama Petak Baru banyak yang libur."
Makanan ini memang sederhana, baik dari tampilan, maupun bahan. Untuk bahan, cukup dengan kacang hijau, gula jawa, gula pasir, jahe, serta sagu untuk onde-onde dan pacar cina. Tentu tak lupa santan. Tapi di balik kesederhanaan itulah makanan ini menyimpan kenangan yang mendalam buat para penggemarnya yang sudah mengenal lek tau, barangkali, sejak nenek-kakek mereka.
Makanan yang dijual juga unik, namanya lek tau. Rasanya, tidak ada tempat permanen yang menjual makanan ini. Bahkan, pedagang keliling pun bisa dibilang tinggal tersisa Atim bin Saimin ini. Lek tau adalah bahasa Hokkian yang artinya kacang hijau. Meski Atim dan pelanggan lain bersikukuh nama itu berasal dari bahasa Betawi karena makanan ini diyakini sebagai makanan asli Betawi dari sejak sebelum kemerdekaan.
Tapi apa pun asal bahasanya, makanan yang digendong Atim saban hari sejak 1975 itu memang kacang hijau. Bedanya, ini kacang hijau yang lebih mirip wedang ronde. Pasalnya, tidak seperti (bubur) kacang hijau yang biasa Anda konsumsi, kacang hijau ini lebih encer dengan rasa jahe yang lebih kuat. Jadi lebih hangat begitu mampir di kerongkongan. Kacang hijau ini berteman dengan santan yang lebih kental, ditambah pacar cina dan onde-onde dari sagu.
Orang biasa membeli lek tau untuk dibawa pulang, atau makan di tempat. Karena ini makanan pikulan, Atim tidak punya tempat khusus untuk bersantap. Maka bersiaplah "menumpang" di pinggir warung atau di taman mungil di depan Hotel Pancoran atau di warung-warung makan yang ada di belakang gedung Gloria. Atau, ya dimakan di rumah. Risikonya, kenikmatannya bakal berkurang karena lek tau lebih nikmat dimakan saat masih panas.
Semangkuk lek tau, harganya antara Rp 2.000 dan Rp 2.500. "Pembeli boleh pilih. Ada yang minta dibanyakin onde-onde-nya atau pacar cinanya. Atau ada yang minta kacang hijaunya dibanyakin," kata Atim yang asal Tangerang ini. Rasanya? Anda tentu pernah makan bubur kacang hijau dan pernah merasakan wedang ronde. Nah, lek tau adalah paduan keduanya. Rasa manis dan jahe yang bikin hangat, pas. Rasa manisnya juga dominan manis dari gula jawa. Gurih dengan santan yang tak terlalu encer. Rasa yang unik, itu saja.
"Cuma orang-orang lama aja yang tahu makanan ini. Ini makanan asli Betawi," ujar Atim. Kisah soal "hanya" orang-orang lama yang tahu soal lek tau tampaknya klop. Ketika Warta Kota akhirnya berhasil "menangkap" Atim dan lek tau-nya, setelah dua pekan menanti, pelanggan yang biasa mengonsumsi lek tau sejak bocah dan kebetulan sedang berada di seputaran Pancoran sampai-sampai rela mengejar Atim.
"Pak, lek tau ya. Udah lama banget saya enggak makan lek tau. Bungkus dua, ya," kata Shinta, karyawati bank swasta, yang ketika tinggal di seputaran Tanah Abang tahun 1980-an biasa bertemu lek tau. Dia sah-sah saja tidak ingat siapa penjualnya. Tapi Atim yakin, pelanggannya tak lain pelanggannya sejak 1975.
Jika Anda memang sedang ingin berburu lek tau, bersiaplah dengan yang namanya penantian. Atim biasa ada di seputaran Pancoran, Jakarta Barat. Biasanya Atim muncul sekitar pukul 16.00-17.00 di depan gedung Fortuna. Dia akan melanjutkan perjalanan dan berhenti di depan Apotek Semesta (ke arah Jalan Pintu Kecil, di deretan seberang gedung Gloria) sekitar pukul 17.30. Pukul 18.00 biasanya dagangannya sudah ludes.
"Kalau pagi, dari jam 08.30 sampai sekitar jam 3 sore, saya ada di Pasar Pagi Lama, Petak Baru. Di jalan kayak gini juga (trotoar)," tandas Atim, "Kalau Sabtu sama Minggu saya lebih cepet sampai Gloria. Jam 1 juga udah sampe, kan yang kerja di Pasar Pagi sama Petak Baru banyak yang libur."
Makanan ini memang sederhana, baik dari tampilan, maupun bahan. Untuk bahan, cukup dengan kacang hijau, gula jawa, gula pasir, jahe, serta sagu untuk onde-onde dan pacar cina. Tentu tak lupa santan. Tapi di balik kesederhanaan itulah makanan ini menyimpan kenangan yang mendalam buat para penggemarnya yang sudah mengenal lek tau, barangkali, sejak nenek-kakek mereka.
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under
makanan
. Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar