Soto Betawi Sejak Tahun 1940-an
22.58
Diposting oleh Melany Christy
Di sela toko-toko penjual barang antik dan alat-alat olahraga di Jalan Padang Panjang, Manggarai, Jakarta Selatan, terselip sebuah warung soto yang dipadati pengunjung setiap harinya. Di bagian depan warung dibentangkan kain putih yang juga berfungsi sebagai papan nama bertuliskan 'Soto Betawi Haji Husen'.
Pemandangan di warung soto betawi milik Haji Husen yang sederhana cukup kontras dengan deretan mobil pelanggannya yang diparkir berjajar di sepanjang Jalan Padang Panjang. Melihat ramainya warung soto betawi tersebut akhirnya Warta Kota singgah di warung tersebut untuk mencicipi semangkok soto betawi buatan Husen serta sepiring nasi putih.
Satu porsi soto betawi buatan Husen antara lain berisi potongan paru, babat, daging, serta lidah sapi, yang sebelumnya sudah digoreng terlebih dahulu. Namun bagi warga yang memiliki selera khusus bisa memilih menunya sendiri, seperti hanya lidah sapi saja atau paru saja.
Ditemui di sela kesibukannya melayani pelanggan, Minggu (8/2) siang, Husen menuturkan bahwa usaha dagang soto betawi yang digelutinya saat ini adalah usaha turun-temurun dari almarhum Kaiban, ayahnya. Dikisahkan Husen bahwa ayahnya sudah berdagang soto betawi di kawasan Manggarai sejak sekitar tahun 1940-an. Husen adalah generasi keempat yang meneruskan usaha dagang soto tersebut.
"Setelah bapak saya, dua kakak saya yang melanjutkan usaha ini. Kemudian menurun ke saya sejak tahun 1964 hingga saat ini," ujar pria asli Pasar Rumput ini. Kini ia menetap di daerah Beji, Depok.
Semula warung soto yang dikelola oleh Kaiban, ayah Husen, terletak di Jalan Minangkabau, Manggarai. Warung soto terseut kemudian pindah pada tahun 1960 ke Jalan Padang, masih di wilayah Manggarai, hingga tahun 1970. "Setelah berdagang di Jalan Padang selama 15 tahun, sekitar tahun 1985 warung pindah ke Jalan Sultan Agung, juga di kawasan Manggarai, dan terakhir pindah ke warung ini tahun 1989 hingga sekarang," ujar Husen.
Soto betawi yang dihidangkan oleh Husen memang cukup menggugah selera. Menu andalannya adalah potongan lidah sapi, paru, serta babat yang dicampurkan ke dalam kuah soto yang gurih karena santannya cukup kental, kemudian dicampur dengan racikan bumbu yang pas.
"Racikan bumbu yang saya buat memang kuncian dari orang tua saya. Tapi yang jelas kuah sup yang saya hidangkan cukup kental sehingga rasa soto menjadi gurih. Sementara untuk daging, lidah, serta paru sapi, agar empuk sebelum digoreng terlebih dahulu saya rebus," ujar Husen.
Habis terus
Semula Husen hanya menjual soto betawi dengan daging Sapi hanya sebanyak 5 kilogram per hari. Saat itu, sekitar tahun 1989, warungnya juga masih berukuran 3 x 3 meter. Namun lantaran jumlah pelanggannya bertambah banyak, kebutuhan dagingnya juga terus meningkat. Saat ini, setiap harinya Husen butuh satu kuintal daging sapi serta empat panci besar kuah soto. Untuk bisa menghasilkan kuah soto yang gurih, dalam sehari juga dibutuhkan sedikitnya 60 butir kelapa untuk diambil santannya.
Jumlah daging sapi serta kuah soto sebanyak itu ternyata bisa habis terjual hanya sekitar tujuh jam berdagang pada hari Sabtu dan Minggu. "Kalau Sabtu dan Minggu saya sudah buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 17.00. Tapi biasanya soto buatan saya sudah habis terjual sekitar pukul 14.00. Sementara untuk hari biasa pada Senin hingga Kamis, biasanya soto buatan saya baru habis terjual pada pukul 17.00," ujar Husen yang juga menyebutkan bahwa warungnya tutup pada hari Jumat.
Warung soto betawi itu menjadi salah satu warung yang menjadi pilihan para karyawan saat makan siang. Menurut Husen, biasanya pada hari Senin hingga Kamis, terutama jam-jam menjelang makan siang, pelanggannya sudah antre. "Awalnya pelanggan yang datang adalah karyawan yang bekerja di sekitar Manggarai, selanjutnya para karyawan dari Kuningan, dan saat ini sudah hampir dari seluruh Jakarta yang datang ke sini," katanya.
Sementara itu pada Sabtu dan Minggu kebanyakan pelanggannya adalah keluarga yang menikmati liburan. Saking terkenalnya warung makan milik Husen itu, pelanggannya pada Sabtu dan MInggu juga banyak yang berasal dari luar daerah.
"Ada pelanggan dari luar pulau Jawa yang menyempatkan makan di sini. Kebanyakan mereka singgah di bandara dan pergi ke sini hanya untuk membeli soto," ujar Husen yang mematok harga Rp 15.000 untuk satu porsi soto betawi.
Pelayanan Ramah, Nggak Jutek
Husen memiliki kunci sukses membuat warung soto betawinya ramai pembeli. Dikatakan, selain memiliki racikan bumbu yang pas serta rasa soto yang enak, ia juga menerapkan pelayanan yang cepat dan ramah kepada pembeli. "Walaupun makanannya enak tapi kalau pelayanannya enggak ramah atau jutek, dijamin pelanggan yang datang hari ini besok-besok tidak bakal balik ke sini," ujar Husen.
Lebih lanjut Husen mengatakan bahwa saat pertama kali merintis usaha berdagang soto betawi, ayahnya Kaiban, selalu meracik sendiri bumbu masakannya. Hal itu yang disebut kuncian alias resep rahasia oleh Husen. Namun kebiasaan ayahnya itu tidak diikuti oleh Husen. Ia berusaha melestarikan makanan asli Betawi tersebut bersama sembilan karyawannya. "Saat ini kami sama-sama berdagang di sini. Resep racikan warisan orangtua saya juga sudah saya ajarkan kepada para karyawan," ujar Husen.
Ia mengakui bahwa tempat berdagangnya saat ini sudah terbilang sempit, tidak sebanding dengan jumlah pelanggan yang datang ke warungnya setiap hari. Selain itu tidak tersedianya lahan parkir yang memadai membuat sejumlah pelanggan yang mengendarai mobil dan sepeda motor terpaksa harus memarkirkan kendaraannya di tepi jalan. "Kalau sudah ada modal untuk membeli lahan saya berencana membuat cabang, tapi menunggu punya lahan dulu," tandas Husen
Pemandangan di warung soto betawi milik Haji Husen yang sederhana cukup kontras dengan deretan mobil pelanggannya yang diparkir berjajar di sepanjang Jalan Padang Panjang. Melihat ramainya warung soto betawi tersebut akhirnya Warta Kota singgah di warung tersebut untuk mencicipi semangkok soto betawi buatan Husen serta sepiring nasi putih.
Satu porsi soto betawi buatan Husen antara lain berisi potongan paru, babat, daging, serta lidah sapi, yang sebelumnya sudah digoreng terlebih dahulu. Namun bagi warga yang memiliki selera khusus bisa memilih menunya sendiri, seperti hanya lidah sapi saja atau paru saja.
Ditemui di sela kesibukannya melayani pelanggan, Minggu (8/2) siang, Husen menuturkan bahwa usaha dagang soto betawi yang digelutinya saat ini adalah usaha turun-temurun dari almarhum Kaiban, ayahnya. Dikisahkan Husen bahwa ayahnya sudah berdagang soto betawi di kawasan Manggarai sejak sekitar tahun 1940-an. Husen adalah generasi keempat yang meneruskan usaha dagang soto tersebut.
"Setelah bapak saya, dua kakak saya yang melanjutkan usaha ini. Kemudian menurun ke saya sejak tahun 1964 hingga saat ini," ujar pria asli Pasar Rumput ini. Kini ia menetap di daerah Beji, Depok.
Semula warung soto yang dikelola oleh Kaiban, ayah Husen, terletak di Jalan Minangkabau, Manggarai. Warung soto terseut kemudian pindah pada tahun 1960 ke Jalan Padang, masih di wilayah Manggarai, hingga tahun 1970. "Setelah berdagang di Jalan Padang selama 15 tahun, sekitar tahun 1985 warung pindah ke Jalan Sultan Agung, juga di kawasan Manggarai, dan terakhir pindah ke warung ini tahun 1989 hingga sekarang," ujar Husen.
Soto betawi yang dihidangkan oleh Husen memang cukup menggugah selera. Menu andalannya adalah potongan lidah sapi, paru, serta babat yang dicampurkan ke dalam kuah soto yang gurih karena santannya cukup kental, kemudian dicampur dengan racikan bumbu yang pas.
"Racikan bumbu yang saya buat memang kuncian dari orang tua saya. Tapi yang jelas kuah sup yang saya hidangkan cukup kental sehingga rasa soto menjadi gurih. Sementara untuk daging, lidah, serta paru sapi, agar empuk sebelum digoreng terlebih dahulu saya rebus," ujar Husen.
Habis terus
Semula Husen hanya menjual soto betawi dengan daging Sapi hanya sebanyak 5 kilogram per hari. Saat itu, sekitar tahun 1989, warungnya juga masih berukuran 3 x 3 meter. Namun lantaran jumlah pelanggannya bertambah banyak, kebutuhan dagingnya juga terus meningkat. Saat ini, setiap harinya Husen butuh satu kuintal daging sapi serta empat panci besar kuah soto. Untuk bisa menghasilkan kuah soto yang gurih, dalam sehari juga dibutuhkan sedikitnya 60 butir kelapa untuk diambil santannya.
Jumlah daging sapi serta kuah soto sebanyak itu ternyata bisa habis terjual hanya sekitar tujuh jam berdagang pada hari Sabtu dan Minggu. "Kalau Sabtu dan Minggu saya sudah buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 17.00. Tapi biasanya soto buatan saya sudah habis terjual sekitar pukul 14.00. Sementara untuk hari biasa pada Senin hingga Kamis, biasanya soto buatan saya baru habis terjual pada pukul 17.00," ujar Husen yang juga menyebutkan bahwa warungnya tutup pada hari Jumat.
Warung soto betawi itu menjadi salah satu warung yang menjadi pilihan para karyawan saat makan siang. Menurut Husen, biasanya pada hari Senin hingga Kamis, terutama jam-jam menjelang makan siang, pelanggannya sudah antre. "Awalnya pelanggan yang datang adalah karyawan yang bekerja di sekitar Manggarai, selanjutnya para karyawan dari Kuningan, dan saat ini sudah hampir dari seluruh Jakarta yang datang ke sini," katanya.
Sementara itu pada Sabtu dan Minggu kebanyakan pelanggannya adalah keluarga yang menikmati liburan. Saking terkenalnya warung makan milik Husen itu, pelanggannya pada Sabtu dan MInggu juga banyak yang berasal dari luar daerah.
"Ada pelanggan dari luar pulau Jawa yang menyempatkan makan di sini. Kebanyakan mereka singgah di bandara dan pergi ke sini hanya untuk membeli soto," ujar Husen yang mematok harga Rp 15.000 untuk satu porsi soto betawi.
Pelayanan Ramah, Nggak Jutek
Husen memiliki kunci sukses membuat warung soto betawinya ramai pembeli. Dikatakan, selain memiliki racikan bumbu yang pas serta rasa soto yang enak, ia juga menerapkan pelayanan yang cepat dan ramah kepada pembeli. "Walaupun makanannya enak tapi kalau pelayanannya enggak ramah atau jutek, dijamin pelanggan yang datang hari ini besok-besok tidak bakal balik ke sini," ujar Husen.
Lebih lanjut Husen mengatakan bahwa saat pertama kali merintis usaha berdagang soto betawi, ayahnya Kaiban, selalu meracik sendiri bumbu masakannya. Hal itu yang disebut kuncian alias resep rahasia oleh Husen. Namun kebiasaan ayahnya itu tidak diikuti oleh Husen. Ia berusaha melestarikan makanan asli Betawi tersebut bersama sembilan karyawannya. "Saat ini kami sama-sama berdagang di sini. Resep racikan warisan orangtua saya juga sudah saya ajarkan kepada para karyawan," ujar Husen.
Ia mengakui bahwa tempat berdagangnya saat ini sudah terbilang sempit, tidak sebanding dengan jumlah pelanggan yang datang ke warungnya setiap hari. Selain itu tidak tersedianya lahan parkir yang memadai membuat sejumlah pelanggan yang mengendarai mobil dan sepeda motor terpaksa harus memarkirkan kendaraannya di tepi jalan. "Kalau sudah ada modal untuk membeli lahan saya berencana membuat cabang, tapi menunggu punya lahan dulu," tandas Husen
This entry was posted on October 4, 2009 at 12:14 pm, and is filed under
makanan
. Follow any responses to this post through RSS. You can leave a response, or trackback from your own site.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar