Populasi di Kawasan Kota Tua Turun Drastis

Siapa yang tak terpikat akan kenangan Jakarta tempo dulu? Baik saat masih bernama Batavia maupun saat sudah berubah nama menjadi Jakarta, sekitar tahun 1940-an. Jika Firman Lubis, sang dokter, menumpahkan kenangan soal penduduk Jakarta di tahun 1950, maka Bernard RG Dorléans berkisah tentang Jakarta sejak 1968. Doktor bidang geologi itu sudah menetap di Jakarta sejak tahun tersebut. Ketika itu, menurutnya, populasi Jakarta sudah mencapai empat juta penduduk.

Kota setengah desa ini, kata Dorléans, di masa itu sudah dihiasi Hotel Indonesia, toko serba ada Sarinah, dan gedung Nusantara yang belum kelar. Selain itu, ia juga berkomentar soal Jembatan Semanggi yang telantar. Sebuah persimpangan jalan moderen yang tak lazim bagi jalan dengan lalu lintas yang sedikit. Pasalnya, kala itu, Jembatan Semanggi membelah daerah yang tanpa penghuni sepanjang lima kilometer sebelum sampai ke kota satelit, Kebayoran Baru. Sementara itu, sebelum sampai ke Tanjungpriok, orang akan melewati rawa-rawa sepanjang empat kilometer. Areal persawahan juga masih hidup, demikian pula kebun-kebun milik warga Betawi di selatan Jakarta.

Dalam tulisan “Dari Kampung ke Pengembangan Pemukiman”, jebolan Universitas Sorbonne, Paris, ini juga memaparkan bahwa dalam kurun 1982 hingga 1994, ada sekitar 600 bangunan tinggi untuk perkantoran dan perumahan dibangun. Alhasil ribuan lahan dalam bentuk rawa, tanah kosong, sawah, kebun, hilang. Semua itu antara lain berganti hutan beton, jalan layang, lapangan golf, dan perumahan.

Maka kini jadilah kawasan seluas sekitar 6.800 km2 yang meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sebuah kawasan yang sangat padat, macet, dan tingkat polusi tinggi. Lahan itu diisi 17 juta penduduk (1990) di mana 8,2 juta penduduk tinggal di Jakarta. Di kawasan tersebut, jumlah penduduk meningkat satu orang per menit. Sementara itu Jakarta, setiap tahun mendapat tambahan 300.000 – 400.000 orang dari daerah lain di Indonesia.

Dalam penelitian, ia memperkirakan tahun 2010 jumlah penduduk Jakarta 11,5 juta dan 18,5 juta di Bodetabek. Pada 2015 jumlah populasi Jabodetabek mencapai 32 juta orang dan pada 2025 jumlah populasi Jabodetabek mencapai 40 juta orang dengan 13 juta orang di Jakarta dan 27 juta orang di Bodetabek.

Batas-batas wilayah administrasi Jabodetabek pun berubah. Luas DKI Jakarta meningkat dari 574 km2 (1971) ke 657 km2 di tahun 1980, dan 661 km2 di tahun 1990. Dari lima wilayah di DKI Jakarta, luas Jakarta Utara meningkat 50 persen sedangkan Jakarta Barat turun meski tak terlalu signifikan, Jakarta Pusat turun 20 persen, Jakarta Timur dan Selatan naik 22 persen dan 15 persen.

Dari hasil penelitian Dorléans terhadap pertumbuhan populasi, terlihat bahwa Jakarta sebenarnya kalah dari Bodetabek. Penurunan tajam terjadi di Jakarta Pusat selama kurun waktu 20 tahun, yaitu 200.000 orang. Ini juga terjadi di Jakarta Utara dan Barat yang wilayahnya masuk dalam kawasan Kota Tua Jakarta.

Hasil penelitian “Urban and Regional Development Institute” – Lembaga Komunikasi Pengembangan Perkotaan dan Daerah – memperlihatkan jumlah penduduk di kawasan Kota Tua (jumlah penduduk di Jakarta Barat dan Utara yang masuk dalam kawasan Kota Tua) pada tahun 2001 adalah 804.412 orang, setahun kemudian turun menjadi 721.724 orang, dan pada tahun 2006 turun drastis menjadi hanya 196.987 orang. Kawasan ini ditinggalkan penduduknya.

Penyebabnya ada banyak. Satu hal yang pasti, sejarah kemunduran Batavia berulang. Batavia ditinggalkan penduduknya, yang kemudian pindah ke kota baru di kawasan Weltevreden (Gambir, Monas – kini kawasan itu masuk dalam wilayah Jakarta Pusat), karena kondisi kota yang jorok, biang penyakit. Batavia, kini jadi Kota Tua, juga ditinggalkan penduduknya antara lain karena tak nyaman, tak aman, kumuh, kehidupan hanya berlaku bagi segelintir orang, sarana dan prasarana yang tak layak, dan kemacetan bertambah parah.

READ MORE - Populasi di Kawasan Kota Tua Turun Drastis

Jakarta Kota Kreatif Segera Dicanangkan

Akhir pekan ini, Sabtu (13/3/2010), Gubernur DKI Jakarta bersama Kadin Jakarta dan British Council akan mencanangkan Jakarta Kota Kreatif di Kota Tua. Pencanangan itu akan ditandai dengan pertunjukan spektakuler "Video Mapping" yang baru pertama kali digelar di Indonesia. Penampilan seni proyeksi tiga dimensi menggunakan peralatan canggih itu juga dimaksudkan untuk memberi makna baru pada ruang, layar, dan juga panggung.

Intinya, menyadarkan khalayak bahwa menjadi kreatif itu penting dan menampilkan hasil karya itu tak harus di panggung konvensional yang selama ini kita kenal.

Industri kreatif sedang digalakkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia dengan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Upaya ini direncanakan untuk mendapatkan kontribusi perekonomian yang signikan. Ekonomi kreatif mencakup berbagai industri kreatif. Industri kreatif adalah industri dengan kekuatan pada kreativitas, keahlian, dan talenta yang punya potensi mengembangkan kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja yang mengeksploitasi daya cipta.

Terminologi cultural industry atau industri budaya mengacu pada industri yang mengombinasikan kreasi, produksi, dan komersialisasi dari konten kreatif yang intangible (tak benda). Kontennya, menurut United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisations (UNESCO), dilindungi oleh copyright. Yang termasuk dalam industri budaya, antara lain multimedia, percetakan, audiovisual, dan sinematografi, beserta kerajinan dan desain.

Sementara itu, terminologi industri kreatif di dalamnya termasuk industri kreatif ditambah semua produksi artistik dan budaya. Industri kreatif juga memasukkan arsitektur dan periklanan sebagai aktivitas kreatif.

Menurut Project Manager Programme Team British Council Yudhi Soerjoatmodjo, program ruang kreatif membuka wawasan warga Jakarta tentang ruang kreatif dan memperluas pemahaman terhadap apa yang disebut panggung, kanvas, atau layer. "Intinya, media untuk berkreasi ada di sana (Kota Tua). Gedung-gedung tua di sana bisa jadi memikat jika saja pekerja kreatif bisa melihat panggung dan layar secara lebih luas."

Selain bangunan tua, lanjutnya, Taman Fatahillah serta seluruh kawasan hingga ke Kalibesar bahkan Museum Bahari, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Menara Syahbandar, bahkan Kampung Marunda bisa jadi ruang kreatif. Menampilkan sebuah pementasan tak selalu harus di dalam gedung karena panggung tersedia di mana-mana, demikian pula dengan kanvas dan layar.

Sejak 7 Maret hingga 13 Maret, puncaknya, British Council sudah menggelar rangkaian acara yang dibuka dengan acara Jelajah Lima Museum di Kota Tua bekerja sama dengan Komunitas Jelajah Budaya. Kemudian pada 13 Maret, sejak pagi Kota Tua sudah diisi dengan workshop tentang ruang kreatif, mendatangkan pakar dari Inggris yang sudah berpengalaman menghidupkan kota tua mereka yang sempat terbengkalai.

Contoh sukses

Liverpool, Inggris, setelah Perang Dunia II dihadapkan pada tugas membenahi perumahan warga yang hancur kena bom. Lebih luas, membenahi kota yang sudah sejak tahun 1920-an morat-marit. Tahun 1950-an dan 1960-an kota ini gencar membangun kembali pusat kota mereka dan perumahan warga dalam bentuk flat. Sebuah perubahan dari rumah di darat dengan teras menjadi rumah di gedung bertingkat.

Kota kelahiran band rock legendaris The Beatles ini kemudian juga mengubah batas wilayahnya pada 1974 sehingga kemudian masuk dalam kawasan administratif Merseyside. Industri di Liverpool mengalami perkembangan dahsyat di antara tahun 1950-an dan 1960-an, namun kemudian berubah di penghujung 1970 hingga 1980-an akibat resesi ekonomi. Alhasil, kota ini jadi kota pengangguran dengan tingkat masalah sosial yang tinggi. Buntutnya adalah kerusuhan di tahun 1981.

Waktu berlalu dan otoritas setempat juga tak diam melihat kehancuran kota tersebut. Menjelang berakhirnya abad 20, harapan mulai tumbuh. Industri gula, tepung, dan semen menjadi industri yang mendongkrak Liverpool.

Kota ini menyadari posisinya yang kuat di Northwest sebagai pelabuhan utama untuk perdagangan ke Amerika Utara. Di tahun 1980-an, Albert Dock, sebuah kompleks dermaga dan gudang dari tahun 1840-an, dipugar yang kemudian berubah fungsi menjadi kawasan hiburan. Kawasan ini dialihfungsikan menjadi bar, toko, dan restoran.

Albert Dock didesain oleh Jesse Hartley dan Philip Hardwick dan menjadi bangunan gudang pertama di dunia dengan sistem yang membuatnya tak mudah terbakar. Bangunan ini juga bangunan pertama di Inggris yang tak menggunakan unsur kayu, bahan yang digunakan adalah besi, batu bata, dan batu.

Sejak itu, Liverpool terus berupaya mempromosikan wisata kota tersebut melalui pusaka budaya sebagai daya tarik. Sejak periode 1980-an, kandang Liverpool Football Club (FC) ini membuka berbagai museum dan galeri. Sebut saja Merseyside Maritime Museum yang dibuka 1980, The Tate Gallery of Modern Art dibuka pada 1988. Lima tahun kemudian The Museum of Liverpool Life dibuka. Setahun kemudian menyusul pembukaan A Custom and Excise Museum. Tahun 1996 pusat konservasi pun dibuka.

Di abad 21, Liverpool membuka The National Wild Flower Centre, yaitu pada tahun 2001 dan tujuh tahun kemudian kota ini terpilih sebagai European Capital of Culture.

Contoh lain adalah Glasgow, sebuah kota industri yang berkembang di abad 19. Kota ini berjaya karena produksi besi dan pembangunan kapal yang mendominasi tepi Sungai Clyde (River Clyde). Memasuki tahun 1930-an, mulailah kontraksi ekonomi. Pada 1980-an Glasgow menjadi kota pengangguran, tak sehat, dan kota dengan citra negatif.

Kemudian kota ini segera tanggap dengan mendesentralisasi dan menciptakan perusahaan lokal di kawasan yang paling terpinggirkan dan pemerintah mendanai upaya tersebut. Usaha itu berbuah, pada 1986 ada 38.000 pengangguran, begitu masuk tahun 2003 angka tadi sudah menjadi 17.000. Glasgow juga sukses menggelar kegiatan yang menarik perhatian dan kemudian memasukkan sejumlah uang untuk kota itu sendiri

READ MORE - Jakarta Kota Kreatif Segera Dicanangkan