Polusi Memicu Perilaku Aneh pada Binatang
15.06
Diposting oleh Melany Christy
Ikan hiperaktif, katak-katak tolol, tikus yang tak kenal takut, dan camar yang tiba-tiba jatuh saat terbang, terdengar seperti hewan-hewan sirkus yang aneh. Namun ini bukan pertunjukan. Banyak hewan di dunia memiliki perilaku ganjil akibat polusi lingkungan.
Bahan-bahan kimia yang menjadi biang keladi keanehan ini dikenal sebagai disruptor (pengganggu) endokrin. Disruptor ini bervariasi mulai dari logam-logam berat seperti timbal hingga polychlorinated biphenyls (PCB) dan zat-zat aditif seperti bisphenol A.
Selama beberapa dekade, ahli-ahli biologi sebenarnya telah mengetahui bahwa bahan-bahan kimia ini bisa mempengaruhi perilaku hewan. Dan akhir-akhir ini semakin jelas bahwa polusi bisa menyebabkan efek pembelokan gender dengan mempengaruhi fisik hewan, terutama organ seksual mereka.
Namun kini dua penelitian telah menemukan bahwa bahan-bahan kimia beracun ternyata memiliki efek yang lebih besar terhadap perilaku hewan dibanding perkiraan semula. Konsentrasi rendah bahan-bahan polutan itu mengubah perilaku sosial dan perilaku kawin beberapa spesies. Hal ini berpotensi menimbulkan ancaman lebih besar terhadap kelangsungan jenis itu dibanding, misalnya, menurunnya jumlah sperma akibat konsentrasi bahan kimia tinggi.
Perilaku ganjil
Ada dua tim riset yang secara independen mengumpulkan bukti-bukti mengenai efek polutan terhadap bangau dan camar, siput, burung puyuh, tikus dan monyet, ikan-ikan, elang, serta kodok. Perilaku yang diamati antara lain perilaku kawin dan membesarkan anak, membuat sarang, belajar, menghindari pemangsa, mencari makan, dan lainnya.
Dalam satu penelitian, dimana burung-burung jalak jantan terpengaruh insektisida, terlihat adanya penurunan kemampuan berkicau, terbang dan mencari makan hingga 50 persen. Sedangkan sejenis salamander yang terkena pestisida endosulfan berkadar rendah menjadi sulit membaui pheromon yang dikeluarkan pasangannya, sehingga tidak terjadi perkawinan.
Ditemukan juga bahwa burung-burung camar jantan yang menetas dari telur tercemar DDT mengalami perilaku aneh dimana mereka berusaha mengawini sesama pejantan. Sedangkan timbal akan mempengaruhi keseimbangan terbang camar-camar itu, sementara atrazine membuat ikan koki menjadi hiperaktif dan TCDD menjadikan monyet-monyet makin kasar dalam bermain.
Walau sudah banyak bukti diperoleh, namun efek ini ternyata tidak begitu diperhatikan oleh para toksikolog yang pakar di bidang racun, kata Ethan Clotfelter dari Amherst College di Massachusetts, pimpinan salah satu tim, seperti ditulis dalam journal Animal Behaviour, Agustus 2004.
Bukan hanya gagal mengetahui besarnya masalah yang disebabkan disruptor endokrin, para toksikolog mungkin juga lupa bahwa perubahan perilaku hewan bisa menjadi pertanda betapa bebrapa bahan kimia sebenarnya berbahaya. “Kita bisa saja melihat perubahan perilaku dan menganggapnya biasa saja, lalu tiba-tiba kita sadar populasi jenis ini telah terancam karenanya,” kata Clotfelter.
Dosis yang merusak
Hal serupa diungkapkan Dustin Penn dan Sarah Zala dari Institut Konrad Lorenz bagian Comparative Ethology di Akademi Ilmu Pengetahuan Austria di Vienna. Mereka mempublikasikan penelitian kedua mengenai efek disruptor endokrin di journal yang sama. “Hal yang patut disadari adalah bahwa masalah ini telah meluas,” kata Penn.
Kedua kelompok peneliti menghimbau agar para ahli biologi sadar disruptor endokrin merupakan sumber perilaku aneh pada binatang. Disebutkan pula bahwa konsentrasi polutan yang berbeda bisa menimbulkan akibat berlainan.
Tikus jantan yang terekspos pestisida dalam dosis rendah misalnya, akan lebih sering menandai wilayahnya dengan bau-bauan, namun bila dosis pestisida ditingkatkan, tikus menjadi kehilangan perilaku itu sama sekali.
“Bahan polutan yang dianggap aman ketika diuji coba dalam dosis sedang, bisa jadi memiliki efek merusak justru pada dosis yang lebih rendah,” kata Penn dan Zala dalam tulisannya. “Dan kebanyakan, resiko juga muncul dalam dosis tinggi.”
Oleh sebab itu, mereka menyarankan agar efek polutan pada perilaku hewan seharusnya diberi prioritas tinggi. “Telah makin disadari perilaku hewan adalah indikasi penting untuk menentukan apakah suatu bahan kimia aman, baik dalam dosis rendah maupun tinggi, suatu hal yang sebelumnya kita abaikan.”
READ MORE - Polusi Memicu Perilaku Aneh pada Binatang
Bahan-bahan kimia yang menjadi biang keladi keanehan ini dikenal sebagai disruptor (pengganggu) endokrin. Disruptor ini bervariasi mulai dari logam-logam berat seperti timbal hingga polychlorinated biphenyls (PCB) dan zat-zat aditif seperti bisphenol A.
Selama beberapa dekade, ahli-ahli biologi sebenarnya telah mengetahui bahwa bahan-bahan kimia ini bisa mempengaruhi perilaku hewan. Dan akhir-akhir ini semakin jelas bahwa polusi bisa menyebabkan efek pembelokan gender dengan mempengaruhi fisik hewan, terutama organ seksual mereka.
Namun kini dua penelitian telah menemukan bahwa bahan-bahan kimia beracun ternyata memiliki efek yang lebih besar terhadap perilaku hewan dibanding perkiraan semula. Konsentrasi rendah bahan-bahan polutan itu mengubah perilaku sosial dan perilaku kawin beberapa spesies. Hal ini berpotensi menimbulkan ancaman lebih besar terhadap kelangsungan jenis itu dibanding, misalnya, menurunnya jumlah sperma akibat konsentrasi bahan kimia tinggi.
Perilaku ganjil
Ada dua tim riset yang secara independen mengumpulkan bukti-bukti mengenai efek polutan terhadap bangau dan camar, siput, burung puyuh, tikus dan monyet, ikan-ikan, elang, serta kodok. Perilaku yang diamati antara lain perilaku kawin dan membesarkan anak, membuat sarang, belajar, menghindari pemangsa, mencari makan, dan lainnya.
Dalam satu penelitian, dimana burung-burung jalak jantan terpengaruh insektisida, terlihat adanya penurunan kemampuan berkicau, terbang dan mencari makan hingga 50 persen. Sedangkan sejenis salamander yang terkena pestisida endosulfan berkadar rendah menjadi sulit membaui pheromon yang dikeluarkan pasangannya, sehingga tidak terjadi perkawinan.
Ditemukan juga bahwa burung-burung camar jantan yang menetas dari telur tercemar DDT mengalami perilaku aneh dimana mereka berusaha mengawini sesama pejantan. Sedangkan timbal akan mempengaruhi keseimbangan terbang camar-camar itu, sementara atrazine membuat ikan koki menjadi hiperaktif dan TCDD menjadikan monyet-monyet makin kasar dalam bermain.
Walau sudah banyak bukti diperoleh, namun efek ini ternyata tidak begitu diperhatikan oleh para toksikolog yang pakar di bidang racun, kata Ethan Clotfelter dari Amherst College di Massachusetts, pimpinan salah satu tim, seperti ditulis dalam journal Animal Behaviour, Agustus 2004.
Bukan hanya gagal mengetahui besarnya masalah yang disebabkan disruptor endokrin, para toksikolog mungkin juga lupa bahwa perubahan perilaku hewan bisa menjadi pertanda betapa bebrapa bahan kimia sebenarnya berbahaya. “Kita bisa saja melihat perubahan perilaku dan menganggapnya biasa saja, lalu tiba-tiba kita sadar populasi jenis ini telah terancam karenanya,” kata Clotfelter.
Dosis yang merusak
Hal serupa diungkapkan Dustin Penn dan Sarah Zala dari Institut Konrad Lorenz bagian Comparative Ethology di Akademi Ilmu Pengetahuan Austria di Vienna. Mereka mempublikasikan penelitian kedua mengenai efek disruptor endokrin di journal yang sama. “Hal yang patut disadari adalah bahwa masalah ini telah meluas,” kata Penn.
Kedua kelompok peneliti menghimbau agar para ahli biologi sadar disruptor endokrin merupakan sumber perilaku aneh pada binatang. Disebutkan pula bahwa konsentrasi polutan yang berbeda bisa menimbulkan akibat berlainan.
Tikus jantan yang terekspos pestisida dalam dosis rendah misalnya, akan lebih sering menandai wilayahnya dengan bau-bauan, namun bila dosis pestisida ditingkatkan, tikus menjadi kehilangan perilaku itu sama sekali.
“Bahan polutan yang dianggap aman ketika diuji coba dalam dosis sedang, bisa jadi memiliki efek merusak justru pada dosis yang lebih rendah,” kata Penn dan Zala dalam tulisannya. “Dan kebanyakan, resiko juga muncul dalam dosis tinggi.”
Oleh sebab itu, mereka menyarankan agar efek polutan pada perilaku hewan seharusnya diberi prioritas tinggi. “Telah makin disadari perilaku hewan adalah indikasi penting untuk menentukan apakah suatu bahan kimia aman, baik dalam dosis rendah maupun tinggi, suatu hal yang sebelumnya kita abaikan.”
Langganan:
Postingan (Atom)