Rujak ala Encim di Pancoran (1)

Menelusuri kawasan Pancoran, Jakarta Barat, tak cukup satu hari. Kawasan ini menyimpan segudang kisah yang menyempurnakan keberadaan Jakarta, khususnya di dunia kulinari. Sebagai kawasan Pecinan, bersama Glodok (di seberangnya), area ini cukup mengenaskan. Hidup hanya di saat siang. Begitu gelap merayap, kawasan ini pun ikut redup dan kemudian sepi.

Tak seperti Pecinan di negeri lain yang selalu hidup, meriah, dan jadi salah satu tujuan wisata, Pecinan di Jakarta punya jadwal bangun dan tidur. Itu terjadi khususnya setelah kerusuhan 1998.

Kembali ke masalah kulinari, ada ungkapan, ”Ke Pancoran tak lengkap jika tak mampir ke Rujak Encim.” Buat Anda yang masih buta perihal rujak ala Pancoran, jangan membayangkan rujak ini seperti rujak buah pada umumnya. Ini adalah Rujak Shanghai Encim yang sudah nangkring di kawasan ini sejak tahun 1950.

Sekali lagi, jangan juga membayangkan ini adalah sejenis penganan asal negeri Tembok Besar. Nama Shanghai yang jadi embel-embel rujak ala Encim ini diberikan pelanggan karena lokasi dagang yang ada di depan Bioskop Shanghai (dan berganti jadi Bioskop Asia) kala itu. Kini gedung itu tak berbekas. Dari mulut-ke mulut, maka jadilah nama Rujak Shanghai Encim ini kesohor bahkan hingga ke luar Jakarta, dan Indonesia.

Semula orang berpikir makanan ini tidak halal. Namun, setelah tahu bahan yang digunakan adalah seafood, lantas banyak pula warga non-Tionghoa yang kepincut rujak unik ini. ”Orang biasanya makan di sini, tapi banyak juga yang bawa pulang,” ujar Ahung, putri Encim si peracik rujak unik ini.

Rujak Shanghai adalah makanan yang isinya campuran kangkung, juhi (cumi besar), ubur-ubur, lobak, dan timun. Kangkung, juhi, dan ubur-ubur direbus lebih dahulu. Tak terlalu lama agar rasanya masih segar. Kangkung, juhi, dan ubur-ubur dipotong-potong dan diletakkan ke dalam piring. Sebelumnya, acar timun dan lobak sudah memenuhi bagian dasar piring sebelum akhirnya tertutup dengan potongan kangkung, juhi, dan ubur-ubur.

Usai itu semua, lantas piring tadi dikucuri kecap asin, ditambah dengan bawang putih yang sudah dihaluskan dan dicampur air, saos tomat, dan sambal tomat. Setelah itu, giliran saos merah kental dilumurkan di atas semua bahan matang tadi hingga akhirnya taburan bumbu kacang tanah menutup semuanya. Semua campuran tadi diolah sendiri oleh Encim yang mewariskannya ke Ahung.

Sebelum melahap, aduk dulu semua bahan di piring agar semua bumbu merata. Tambahan sambal akan lebih nikmat. Soal rasa, semua bercampur jadi satu. Ada asam (dari tomat), manis (tomat manis), asin (juga dari ubur-ubur), pedas, dan aroma bawang merah yang menutup rasa amis. ”Bisa juga ada yang minta juhi dibanyakin, atau ubur-ubur dibanyakin,” kata Ahung. Tentu saja, harganya jadi berbeda. Jika biasa saja Rp 20.000/porsi, maka pesanan istimewa bisa saja Rp 30.000/porsi. Tergantung pesanan.

Sampai di mulut, ubur-ubur tak ubahnya tulang muda yang keras-keras lunak, sedangkan juhi menjadi seperti kikil. Makanan ini bisa terhidang hangat ataupun dingin. Untuk minum, bisa juga dicoba es tebu yang banyak dijual di kawasan ini. Setelah makan rujak gurih, menenggak sari tebu, gula asli bercampur es batu. Klop.

Mencari warung ini tak sulit. Dari arah Jalan Pancoran, jalan saja terus sampai Anda temukan gedung Chandra, gedung berwarna biru. Nah, warung ini ada di seberang. Atau lewati saja gedung Gloria hingga hampir menuju ke Jalan Pintu Kecil, warung ini satu deret dengan gedung Gloria. Tempatnya nyempil, tapi jelas tertulis Rujak Shanghai Encim.

Jika sebelum kerusuhan, warung ini baru buka mulai pukul 16.00 hingga sekitar pukul 21.00 kini mereka buka sejak pukul 08.00 pagi hari hingga sekitar 12 jam kemudian atau sekitar pukul 20.00. (Bersambung....)

READ MORE - Rujak ala Encim di Pancoran (1)

Rujak Ala Encim di Pancoran (2)

Ahung, putri terkecil dari Encim, melanjutkan usaha Ibunya sejak sekitar 20 tahun lalu. Warung rujak ini memang awalnya tanpa nama sampai akhirnya punya nama Encim dan berakhir menjadi Rujak Shanghai Encim. ”Mama udah enggak ada. Saya emang dari dulu udah sering bantuin mama. Jadi udah tau racikannya,” kata Ibu dua putra ini.

Jaman boleh berubah tapi rujak racikan mamanya tak boleh berubah. ”Semuanya sama dari saya masih kecil. Semua kita bikin sendiri saosnya. Kalau juhi sama ubur-ubur dari sini aja,” lanjut nenek satu cucu ini.

Meski nama makanan ini sudah sampai ke luar Jakarta bahkan Indonesia, perempuan yang sejak lahir tinggal di Jembatan Dua ini tak ingin melebarkan sayap ataupun mengubah gaya warung yang seperti warteg. Tentu saja tak perlu dilakukan. Biarkan orang yang penasaran, berupaya mencari rujak ini ke biangnya. Bukankah upaya mencari letak tempat makan legendaris jadi bagian dari seni kuliner itu sendiri? Kemudian melahap makanan itu di lokasi asli tentu jadi nilai tambah tersendiri.

”Pelanggan saya yang sekarang udah pindah, jauh-jauh juga bela-belain ke sini. Kangen, katanya. Yang udah di luar negeri juga kalo lagi pulang, pasti ke sini,” imbuhnya, ”Ada yang pikir kita udah enggak jualan karena dia carinya di ujung sebelah sana (ke arah Jalan Pintu Kecil) di pinggir jalan. Pas jalanan udah dibenerin. Padahal kita masih ada, cuma pindah ke sini aja.”

Bicara soal jam buka yang kini harus seharian, Ahung berkisah sambil bernostalgia, kawasan ini dulu sekali sempat sangat ramai. ”Bioskop-bioskop masih ada, di seberang (sekarang gedung Chandra-Red) dulu masih ada bioskop juga. Namanya Park Gembel. Tau deh kenapa begitu namanya. Masih ada midnight sampai pagi jadi rame trus orang dagang makanan juga rame. Kalau sekarang kita buka dari jam 16.00 cuma sebentar aja jualannya. Kalau dulu kan biar bukanya jam 16.00 tapi rame terus sampe malem,” tambahnya, seperti berharap, ”Tau, bisa enggak kembali seperti dulu.”

Tentu saja bisa, asal ada kemauan, yang tak berhenti di bibir saja, dari Pemprov DKI Jakarta untuk mengembalikannya menjadi kawasan Pecinan yang sejati, yang hidup, terus bergulir, dan bersemarak sepanjang hari.
READ MORE - Rujak Ala Encim di Pancoran (2)

Otak-otak Gang Kenanga, Ini, Baru Asli!

Otak-otak Gang KenangaDI Gang Kenanga, Senen, tahun 1963, Sulaeman mencoba berdagang penganan ringan yang sampai saat ini tenar hingga ke pelosok Jakarta. Nama makanan yang sudah dikenal hampir setengah abad itu, otak-otak. Tentu saja kualitas dan bahan utama yang digunakan otak-otak milik Sulaeman dan yang dijual di pinggir jalan jauh berbeda. Perbedaan itu yang membuat harga per bungkus makanan ini juga berbeda.


Kembali ke Gang Kenanga, gang itu kini sudah tak berbekas. Di atasnya kini berdiri bangunan bernama Atrium Senen. Makanan yang lahir dari gang ini pun terpaksa berpencar. Otak-otak adalah penganan yang terbuat dari daging ikan, biasanya ikan tenggiri, yang dicampur dengan aneka rempah-rempah. Adonan itu kemudian dibungkus daun pisang untuk kemudian dibakar. Sambal kacang adalah teman sejawat yang tak terpisahkan.

Di awal tahun 1960-an, ketika Ny Sulaeman mempraktikkan kebolehan meracik bumbu dan memilih jenis ikan tenggiri serta memilah bagian ikan yang digunakan untuk adonan otak-otak, mesin pengolah adonan ikan belum tersedia. Alhasil, kedua tangan jadi alat pengaduk. Sekitar 10 tahun setelah membuka warung, ternyata penggemar otak-otak tak terbendung. Tangan tak lagi mampu memenuhi permintaan pelanggan, perlu mesin agar proses pembuatan otak-otak bisa lebih cepat dengan kapasitas yang juga lebih besar.

"Waktu itu harga sebungkus otak-otak Rp 40. Sekarang Rp 3.500 per bungkus. Tapi rasakan sendiri bedanya," demikian diungkapkan Adjid yang sudah bekerja di warung Otak-otak Ny Sulaeman sejak tahun 1974. Kini, setelah pemiliknya meninggal dunia, Adjid dipercaya mengelola usaha ini.

Otak-otak Gang Kenanga tidak hanya legendaris tapi juga unik. Jika otak-otak lain menghasilkan warna kecokelatan setelah dibakar, maka otak-otak ini tetap putih. Menurut Adjid itu karena ikan tenggiri yang digunakan dipilih yang gepeng. "Ikan tenggiri ada dua macam, gepeng dan bulat lonjong. Yang gepeng itu yang bagus dan memang mahal. Dari dulu kita pakai ikan tenggiri gepeng," ujarnya.

Pantas saja harga sebungkusnya Rp 3.500. Tapi memang begitu menggigit otak-otak ini baru terasa bedanya. Dagingnya tebal, tetap segar meski sudah dikelupas dari bungkusnya. Ikan tenggirinya sangat kental terasa dan tidak amis. Belum lagi daun pisang pembungkusnya. Ini juga unik. Otak-otak ini hanya menggunakan daun pisang batu. Khasiatnya, agar otak-otak yang dibakar tak lengket ke daun. "Sebab daun pisang batu mengandung minyak jadi enggak bikin lengket setelah dibakar," Adjid menjelaskan.

Meski tak mengikuti perjalanan usaha otak-otak sejak awal, namun bapak enam putra/putri ini masuk ketika "booming" otak-otak dimulai. Setelah membeli mesin, maka usaha ini pun merasa perlu membuka cabang. Pada 1974 otak-otak ini mulai buka cabang di Gedung Gloria, Pancoran, Jakarta Barat; Glodok Plasa; Kelapa Gading; Mangga Dua; bahkan juga Pecenongan.

"Di Pecenongan kita jualan malam, sampe jam 2 pagi. Itu sekitar tahun 1980-an. Tapi enggak bertahan lama. Di Glodok Plasa tutup juga akhirnya karena dua kali kebakar, tahun 1982 dan saat kerusuhan 1998. Di Mangga Dua cuma jalan beberapa bulan karena waktu itu masih sepi, Kelapa Gading juga tutup. Sekarang tinggal ini, yang dari Gedung Gloria trus kita masuk ke sini (belakang Gloria) setelah kerusuhan," begitu Adjid berkisah.

Jangan heran jika banyak pelanggannya mengira otak-otak ini sudah tutup selamanya. Apalagi karena keluarga Sulaeman pindah rumah ke Kayu Putih. "Banyak pelanggan pikir, otak-otak ini udah enggak jualan lagi. Kita sekarang memang hanya buka di sini. Di Kayu Putih hanya untuk mengolah. Adonan dari Kayu Putih, saya bawa ke sini untuk dijual," kata Adjid.

Alamat: Gedung Gloria, Pancoran, Jakarta Barat


READ MORE - Otak-otak Gang Kenanga, Ini, Baru Asli!

Serunya Berburu Camilan Awet Muda

MUNGKIN Anda tahu penganan kecil khas Jawa Tengah, intip. Makanan ini terbuat dari nasi yang dikeringkan kemudian digoreng. Setelah itu lumuran gula jawa cair menghiasi makanan tadi. Rasanya kemripik, legit bercampur gurih.

Di Jakarta, khususnya di kawasan Pecinan, sejak sekitar 35 tahun lalu juga ada penganan mirip intip jawa itu. Hanya saja, camilan khas Betawi keturunan Tionghoa ini disebut keripik kelapa muda. Konon, bila makan camilan ini, Anda bisa awet muda. Makanan ini termasuk langka sehingga jika Anda berminat, Anda harus mengejar camilan "asnawi" (asli China Betawi) ini ke daerah Kota.

Meski sebagian besar bahannya sama, intip dan keripik kelapa muda ini berbeda cara penyajian dan penjualannya. Intip lebih populer dan banyak dijual di kedai atau kios penjaja penganan. Keripik kelapa muda berbeda, untuk mendapatkannya, Anda harus memburunya. Di Jakarta, mungkin hanya seorang pedagang yang masih menjual makanan ini. Pun, karena ia berkeliling membawa pikulan, untuk mendapatkannya Anda harus menantinya di lokasi tertentu atau mengejarnya ke lokasi lain.

Camilan yang terbuat dari beras dicampur dengan gula jawa dan kelapa muda ini nasibnya seperti beberapa makanan warisan lain yang nyaris punah. Apalagi, sejak sekitar 35 tahun lalu, orang hanya mengenal satu penjual keripik kelapa muda, yaitu Bang Benggot.

Sebagai makanan "asnawi", begitu istilah Benggot, keripik kelapa muda ini dikelilingkan di komunitas China Betawi banyak berkumpul. Misalnya, di kawasan Manggabesar, Gang Kali Mati, dan Petak Sembilan. Padahal, Benggot berasal dari Bekasi.

"Di Bekasi yang beli hampir semuanya orang keturunan China. Di sini juga, yang paling tahu makanan saya, ya, orang keturunan," kata Benggot.

Ketika tanpa sengaja Warta Kota bertemu Bang Benggot di Gang Kali Mati, Petak Sembilan, ia sedang dikerumuni warga setempat, juga eks warga kawasan Pecinan yang kebetulan sedang berada di kawasan itu. Pembeli tidak hanya memakan keripik itu di tempat, tetapi juga banyak yang membawa pulang.

"Dari saya masih muda, dari harganya cuma Rp 500, saya udah biasa makan keripik ini. Enggak sebulan sekali bisa ketemu ini," ujar seorang ibu yang usianya menjelang setengah abad.

"Dari dulu yang saya tau cuma dia yang jualan beginian," timpal seorang bapak usia 60-an eks warga Manggabesar yang kini tinggal di Sunter.

Seorang ibu setengah baya bersama dua anaknya terlihat sumringah bisa menemukan makanan ini lagi. "Saya udah pindah jauh dari sini. Jarang banget bisa ketemua dia," begitu ujarnya. Mereka yang kepincut rasa keripik kelapa muda ini memang seperti ketiban rezeki kalau melihat Benggot dan pikulannya.

Keripik kelapa muda ini terbuat dari beras yang masih dalam bentuk gabah. Gabah ini kemudian ditumbuk. Selanjutnya dicuci, untuk kemudian disangrai di kuali tanah. Karena Bang Benggot berdagang di Jakarta maka sang istri di Bekasi-lah yang menyiapkan bahan keripik itu. "Tiap minggu bikinnya. Jadi enggak tiap hari," ucap bapak dua putri ini.

Tiap minggu sang istri bisa mempersiapkan sekitar 40 kg gabah yang sudah jadi keripik. Tiap pekan itu pula Benggot kembali ke Bekasi untuk mengambil dagangan itu dan dijual di Jakarta. Satu hari berjualan keliling di kawasan Manggabesar (di depan Bubur Aguan) sampai Petak Sembilan, Benggot bisa menghabiskan lima kilogram keripik beras.

Dengan sejenis centong, Benggot mencampur dan mengulek keripik beras, irisan gula jawa, dan parutan kelapa muda. Setelah itu keripik campur tadi dimasukkan ke daun pisang yang dibentuk seperti corong dan dilengkapi dengan sendok mungil untuk menyuap.

Keripik kelapa muda ini rasanya kriek-kriek. Beras garing renyah berpadu kelapa muda dan gula jawa menjadikannya berasa gurih, manis, dan legit. Kalau makanan ini hendak dibawa pulang, Benggot akan memisah keripik beras dengan parutan kelapa dan gula jawa.

Harga camilan yang terlihat sedikit itu Rp 3.000 per porsi. Jangan anggap kemahalan sebab prosesnya masih sangat tradisional, jarak "pabrik" jauh, serta bahan baku makanan ini langka. Penjualnya pun hanya satu di seantero Jabodetabek, keliling pula.

Pelataran rumah makan Bubur Aguan di Manggabesar menjadi perhentian pertama Benggot tiap pukul 08.00. Dari sana Benggot akan keliling hingga Gang Kali Mati, Petak Sembilan, Pancoran, Kota. Penasaran? Yuk berburu.
READ MORE - Serunya Berburu Camilan Awet Muda

Putu Medan, Puluhan Tahun Menemani Warga Jakarta

putu, putu medanDARI Medan, berkembang ke Jakarta bahkan Malaysia. Begitulah perjalanan cemilan bernama putu bambu dan putu mayang. Seperti namanya, putu bambu adalah putu seperti yang kita kenal, terbuat dari tepung beras dan irisan gula jawa dimasak dalam bambu yang yang sudah dikemas sedemikian rupa. Setelah itu, diberi topping parutan kelapa.

Bedanya, ketika putu bambu dimasak tak mengeluarkan bunyi seperti penjual putu yang biasa keliling. Selain itu, ukuran putu bambu lebih besar dibandingkan putu biasa. Bambu yang digunakan otomatis lebih besar. Warna putu bambu aslinya adalah putih tidak seperti putu ”jakarta” yang berwarna hijau, meski putu bambu juga bisa diberi warna hijau sesuai selera warga Jakarta. Perbedaan lain, selain taburan kelapa, putu bambu juga bertabur gula pasir.

Demikian pula putu mayang, tak seperti di Jakarta yang berwarna-warni, putu mayang medan tak mau berdandan centil. Dia tetap pada waran aslinya, putih, ditaburi gula pasir. ”Tapi terserah pembeli, mau ditaburi gula jawa cair juga bisa,” ujar Warnim, istri Syaiful Bahri, pedagang putu bambu dan putu mayang di Jalan Toko Tiga Sebrang, Jakarta Barat.

Pedagang putu bambu dan putu mayang, seperti penjual cemilan manis-manis lainnya, berdagang menggunakan gerobak dan mangkal di satu tempat. Jika di awal usaha hanya ada putu mayang dan putu bambu maka seiring perjalanan waktu, kue-kue teman minum teh atau kopi ini pun bertambah. Sebut saja lupis, cenil, klepon, kue talam hingga ongol-ongol, dadar gulung, ketan kuning, wajik, dan masih banyak lagi.

”Itu pesanan orang. Orang pengen ada ini, itu, seperti juga orang ada yang maunya putu warna hijau, ya, kami bikin. Tapi aslinya putu mayang dan putu bambu itu putih tulen, asli warna tepung beras,” kata Idrus Tanjung yang didampingi istrinya, Murnizar yang membuka dagangan di dekat Lokasari, Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat.

Jika Syaiful Bahri mulai membuka usaha di ujung Jalan Toko Tiga Sebrang, tepatnya di dekat pertigaan jalan tersebut, Jalan Perniagaan, dan Jalan Kemenangan sejak 1985 maka Idrus Tanjung memulai di seputaran Lokasari pada 1992. Sejak itu pula warga di seputaran kawasan tersebut setiap sore hingga malam bisa menikmati cemilan manis tersebut. Harga satuan cemilan itu dipatok Rp 1.500 kecuali cenil dan ongol-ongol yang dijual per porsi, seukuran gelas sedang, sekitar Rp 3.000.

”Kalau sebelum kerusuhan, kami buka setiap hari dari jam empat sore sampai jam sebelas malam. Sekarang dari setengah tiga sore sampai jam sembilan malam. Dulu kan makin malam makin ramai. Apalagi masih ada bioskop Chandra (kini jadi pertokoan-Red) di Pancoran itu. Orang pulang kerja juga masih banyak, jalanan sempit tapi yang banyak orang jalan kaki atau naik becak,” begitu Warnim berkisah.

Sore menjelang malam berapa waktu lalu ketika Warta Kota ingin mencoba putu bambu dan putu mayang di gerobak Warnim, rata-rata pelanggannya memang orang pulang kerja yang selalu melewati gerobak putu ini atau keluarga yang sekadar ingin cemilan manis saja. ”Lumayan sambil nonton film di rumah,” jawab seorang pembeli.

Cerita yang hampir sama juga disampaikan Murnizar dan Idrus, yang membuka dagangan Senin-Sabtu mulai 18.00 hingga tengah malam atau bahkan pukul 01.00 dini hari. ”Ini memang makanan khas malam,” tandas Idrus. Turunnya pelanggan yang membeli dagangan mereka belakangan ini, menurut mereka, tak lain adalah karena makin redupnya bisnis hiburan di jantung hiburan Jakarta ini. ”Dulu kan apa juga ada, tempat hiburan masih banyak yang buka, jadi sampai malam pun orang pasti masih perlu cemilan manis seperti ini,” kata Idrus yang diamini Murnizar.

Buat mereka yang ingin melek hingga pagi, menginginkan makanan penutup, atau sedang tak tertarik makan besar, cemilan manis ini memang bisa jadi teman yang sangat menyenangkan apalagi jika dilahap hangat-hangat. Khususnya untuk putu bambu dan putu mayang, yang memang jadi jagoannya.

Putu bambu terasa begitu lembut dengan rasa campuran manis dan gurih karena gula jawa di dalamnya, parutan kelapa, dan butiran gula pasir. Demikian pula putu mayang yang terlihat kaku tapi begitu sampai di mulut, terasa lembut. Rasa alami tanpa pewarna bercampur gula pasir bikin makan putu mayang (dan putu bambu) menjadikan sebuah pengalaman nyemil yang lain.

READ MORE - Putu Medan, Puluhan Tahun Menemani Warga Jakarta

Jajan Pasar Serba Jumbo


PASAR Cikini Ampiun menyimpan kenangan sebagai pasar yang menyediakan berbagai keperluan masyarakat, termasuk makanan. Kue basah adalah camilan yang biasa dijumpai di sebuah pasar, demikian juga di Cikini. Toko kue basah yang hingga kini masih tegak berdiri dan menjadi salah satu pemikat Pasar Cikini adalah Toko Kue Danisa.

Jangan bayangkan kue basah seperti yang biasa Anda temui di kebanyakan tempat. Kue basah yang dijual di toko yang sudah melegenda ini punya ukuran lebih besar dengan rasa yang kaya pula. Tentu, soal harga berbeda juga. Tak masalah jika harga dan rasa sebanding.

Di toko yang buka Senin-Sabtu pukul 06.00-16.00 ini penikmat camilan bakal kecanduan. Kue-kue basah yang dijual di sini punya cita rasa yang tak perlu disangsikan, dan itu bertahan sejak 42 tahun lalu. Bayangkan kue mangkuk ukuran besar berwarna cokelat, menggunakan gula aren, kemudian diletakkan pada daun pisang yang dibentuk selayaknya wadah, ditambah parutan kelapa muda.

Wow!!! Melihat 'bodi' kue mangkuk itu saja, lidah tak tahan untuk segera mencicipi. Teksturnya lembut dengan paduan rasa yang membuat saraf perasa melonjak-lonjak. "Ini masih pakai resep kuno. Kalau dibelah, di tengahnya kelihatan ada sarang (seperti ada lubang-lubang—Red)," kata Lenny Lydia, pemilik toko kue itu.

Itu baru kue mangkuk, belum lagi combro yang ukurannya juga jumbo. Kulit combro begitu tipis dan lembut dengan isi oncom yang mbeludak. Gemblong, makanan yang terbuat dari campuran ketan dan kelapa dan kemudian dilumuri gula jawa juga bikin mata merem-melek. Kue sus, risol mayones, pastel krispi, kroket, celorot, dan cucur, adalah camilan lain yang tak pantas dilewatkan. Cucur berwarna cokelat menggoda yang ada di toko ini cukup kering.

Jadi meskipun dimakan dalam keadaan dingin, tidak meninggalkan lumuran minyak di tangan dan mulut. Teksturnya juga lembut, dengan rasa manis yang pas. "Biasanya orang pesan 50 atau 75 buah, buat rapat. Ada juga yang beli buat dimakan biasa, buat keluarga," ujar Lenny. Berdasarkan pantauan Warta Kota, sekitar pukul 14.00, beberapa jenis kue basah sudah ludes. Bahkan dalam waktu 30 menit, persediaan kue terus menipis.

Tentu saja, sesuai ukuran dan rasa, maka kue basah —yang biasa disebut jajan pasar— yang ada di toko ini pun harganya spesial. Sebut saja kue sus yang sebijinya dipatok Rp 2.000, risoles dengan isi daging sapi asap dan mayones dibanderol Rp 7.500, dan dua kue mangkok seharga Rp 8.000. "Tapi harga-harga itu semua akan naik setelah Lebaran. Soalnya kita udah enggak kuat harga gasnya," tandas Lenny.

Kue Kering
Selain kue basah, toko kue ini juga beken dengan kue kering, seperti kastengel, nastar, lidah kucing, cheese stick. Juga kue kering dari masa lalu seperti kembang goyang, akar kelapa, biji ketapang (terbuat dari tepung terigu yang diaduk dengan garam dan gula), coffee noir (biskuit dengan gula rasa kopi), picnic ice (biskuit dengan gula berwarna-warni di atasnya), dan marigem (seperti coffee noir hanya saja warna gula dibikin berwarna-warni).

Ada pula nasi bogana Ibu Lies-Tegal serta sirup masa lalu seperti Royal dan Tjampolay. Tak ketinggalan berbagai lauk kering semacam jambal pedas dan teri kentang. "Biasanya yang mau ke luar negeri beli ke sini," ungkap Lenny. Ngomong-ngomong soal cheese stick, meski untuk satu kantong berukuran sedang kita harus membayar Rp 50.000, sepadan dengan rasanya.

Dan soal biji ketapang, kata Lenny, "Ini kesukaan Bang Foke (Fauzi Bowo, Gubernur DKI—Red). Beliau minta saya adain biji ketapang dan kembang goyang."
READ MORE - Jajan Pasar Serba Jumbo

Soto Betawi Sarat Bumbu Mpok Encum

WARUNG soto Betawi bertebaran di seluruh penjuru Jakarta. Namun yang komplet menyajikan rupa-rupa masakan Betawi tidak banyak. Salah satu yang komplet adalah Warung Mpok Encum di Palmerah. Di sana pengunjung disuguhi aneka masakan betawi, dari masakan rumahan, soto, asinan, hingga es campur.

Untuk urusan persotoan, misalnya, di warung yang sudah ada sejak tahun 1970 itu ada soto betawi dengan beragam pilihan isi. Bisa pilih isi daging, babat, atau campur plus kentang (babat, daging, kikil, paru, iso). Soto betawinya sarat rempah-rempah sehingga mengeluarkan aroma yang sedap. Kuah santannya tidak kental tapi berasa gurih. Potongan tomat dan kucuran jeruk limau membuat aromanya makin kuat dan terasa segar. Taburan emping dan bawang goreng semakin melengkapi sajian soto tersebut.

"Kalau orang ke sini paling sering ya cari soto, terutama soto daging. Sedangkan lauk pauk lainnya cuma sebagai pelengkap saja. Kita memang maunya mengenalkan masakan betawi," kata Mpok Encum.

Mpok Encum meracik sendiri soto. Semua bahan, kecuali tomat, sudah disediakan di mangkuk lalu tinggal disiram dengan kuah yang berwarna kuning cerah dengan semburat merah dari cabai. Untuk soto campur harganya Rp 17.000 per porsi, sedangkan soto daging Rp 20.000 per porsi.

Ada lagi yang namanya soto mi, menggunakan kuah yang lebih ringan dan bening kemerahan. Isinya ada bihun dan mi, irisan kol, potongan risol dan irisan daging. Lagi-lagi ditaburi emping melimpah.

Mau yang lebih ringan-segar dan pas buat pembuka? Cobain Asinan betawi yang mantap. Komposisi minimalis dengan serutan wortel dan bengkuang (yang ditaruh dalam rendaman kuah merah dalam baskom besar). Lalu ada sayur asin, tahu putih, timun, nanas, dan tauge, yang diguyur kuah merah menyala dengan dasar cuka dan cabai. Juga dikucuri gula merah cair dan taburan kacang tanah goreng.

Rasa pedas dan kecut segar menjadi paling dominan di racikan asinan ini. Sirup gula merah yang ditambahkan menyumbang rasa manis, walau tidak bisa menyaingi rasa pedas kecutnya. Kacang tanahnya yang banyak bikin makan asinan tambah seru. "Ya masakan betawi memang harus medok (pekat --Red) dan berani bumbu. Semua bumbu masuk deh," ujar Mpok Encum. Asinan itu seporsinya dibanderol Rp 6.000.

Semur jengkol favorit

Adapun untuk lauk pauk pelengkap antara lain tersedia sayur asem, sambal goreng teri kacang, oseng-oseng oncom leunca, tempe orek, sate empal, perkedel, oseng pare, sayur nangka, semur jengkol, peyek udang, pesmol kembung, sate ampela, ati dan usus. Potongan daging empal yang ditusuk dengan bambu, kurang lebih berukuran 4x12 cm, ditabur dengan parutan lengkuas dan bawang goreng. Satu potong sate empal dibanderol Rp 18.000.

Semur jengkolnya juga cukup menggoda selera. Terasa empuk dan kenyal saat digigit. Bumbu semurnya meresap dengan sempurna ke dalam kepingan jengkol tersebut. "Semur jengkol ini jadi favorit. Kalau masaknya benar maka tidak berasa baunya. Dari sekian banyak masakan, pengolahan jengkol yang memakan waktu lama," imbuh Nia Sui, adik bungsu Mpok Encum.

Lauk pauk itu dijual dengan harga Rp 3.000 per porsi, untuk sate ampela, usus, ati ayam Rp 5.000 per tusuk. Sebagian besar lauknya juga untuk melengkapi nasi uduk yang dibuka pada jam 17.00-20.00 di halte bus seberang BCA Palmerah. Untuk pelepas dahaga, Mpok Encum menjual es campur. Hanya dengan Rp 6.000 per porsi, Anda sudah bisa merasakan segarnya es campur tersebut.

Tidak Boleh Dibungkus

Jika Anda ingin membawa pulang soto mi atau soto betawi Mpok Encum, sebaiknya menyediakan tempat sendiri. Di Warung Mpok Encum, kedua soto ini tidak boleh dibungkus dengan plastik. Jadi usahakan membawa rantang.

Ini bukan karena ada pantangan atau tidak. Menurut Mpok Encum, soto yang dibungkus dengan plastik akan mengurangi aromanya dan kurang sedap lagi. "Soto panas kalau dibungkus plastik sudah tidak enak lagi," ungkap nenek lima cucu itu.

Mungkin Anda penasaran, sebenarnya di sebelah mana letak Warung Mpok Encum. Paling mudah, ambil patokan kantor Bank BCA Palmerah. Di seberangnya ada Jalan Palmerah Barat IV No 59 (nama jalan tertutup pepohonan). Kira-kita 50 meter di sebelah kiri jalan ada rumah yang sekilas tampak tidak seperti warung makan. Di sanalah Warung Mpok Encum.

Perempuan bernama asli Sumiyati (43) itu menuturkan, warungnya merupakan warisan dari ayahnya. "Saya penerus bapak," ujar ibu tiga anak tersebut. Dalam memasak makanannya, Mpok Encum dibantu kerabatnya. Khusus soto yang bertanggung jawab dirinya sendiri.

Semua makanan terasa segar, karena setiap subuh Mpok Encum selalu membeli bahan-bahan yang masih segar. Setiap hari, untuk soto saja setidaknya membutuhkan 25 kg daging dan 25 kg jerohan.

Tetapi untuk saat ini, Mpok Encum mengaku kesulitan modal untuk warungya. Hal ini dikarenakan bahan-bahannya naik harga. "Sekali belanja Rp 3 juta, penghasilan kotornya Rp 4,5 juta. Sekarang ini tidak ada lebihnya," tuturnya.

Pelanggannya, menurut Mpok Encum, rata-rata mulai dari zaman ayahnya masih berdagang, Bahkan mantan Walikota Jakarta Barat, Sarimun Hadisaputra menjadi pelanggan setianya hingga sekarang. Meski pelanggannya tidak pernah surut, namun Warung Mpok Encum tidaklah seramai sebelum krisis. Dia pun tidak ingin membuka cabang di tempat lain, dengan alasan sudah kerepotan membuka satu warung.

Warung buka pukul 10.00-15.00 dan buka di depan halte bus pukul 17.00-20.00 untuk berjualan nasi uduk. Warung libur pada hari Kamis.
READ MORE - Soto Betawi Sarat Bumbu Mpok Encum

Soto Betawi Ekstra Sumsum

Gang Gloria, sebuah lorong di belakang pertokoan Gloria, Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, menyimpan beraneka jajanan dan makanan yang seolah tak habis- habisnya untuk dikuak. Kawasan yang oleh Walikota Jakarta Barat Djoko Ramadhan diupayakan menjadi pecinan yang setara dengan pecinan negara tetangga itu memang memendam tradisi kuliner sejak puluhan tahun bahkan seabad silam.

Sebagai bagian dari budaya masyarakat Tionghoa yang gemar mencicipi makanan, tak aneh jika warisan kuliner di pecinan begitu kaya. Makanan yang mengadopsi penganan betawi juga bertebaran di kawasan itu.

Ambil contoh Soto Betawi Afung. Meski terdengar sangat Tionghoa, tapi soto ini layaknya soto betawi yang biasa ditemui di seantero Jakarta. Yang membedakan, selain rasa juga keberadaannya di Gang Gloria. Ho Tjiang Fung alias Ho Yanti Herawati memulai berdagang soto betawi tahun 1982.

Dua tahun kemudian ia menemukan rasa dan bahan yang pas untuk soto betawi ala Afung. Hingga hari ini racikan bumbu serta bahannya tak berubah. "Kita mungkin beda dari bahannya. Mutu daging sapi, babat, semuanya mutu super. Saya juga pakai sumsum ekstra supaya kuah jadi wangi," ujar Yanti beberapa waktu lalu.

Mengenakan chiongsam merah dipadu celana warna gelap dan sepatu kets, Yanti yang juga biasa disapa Afung begitu cekatan menyambut tamu, menanyakan pesanan, kemudian menyiapkan menu yang dipesan. Apalagi jika yang datang pelanggan setia. "Saya enggak mau main-main sama rasa, sama kualitas daging. Saya mau daging sapi segar. Jadi uratnya juga kenyal," katanya.

Saat Warta Kota bertandang ke warung itu, persis di sebelah warung kopi tiam dan pedagang cakwe, Afung sedang memeriksa bahan-bahan seperti daging dan kuah. Setelah memesan, tak lama menu terhidang. Semangkuk soto betawi dengan kuah yang terlihat tak terlalu kental. Di dalamnya, potongan daging sapi, babat, dan urat, bergabung. Emping goreng tak ketinggalan, begitu pula jeruk limau.

Dari mangkuk, asap masih mengepul menyebarkan aroma yang tak mungkin ditolak. Apalagi di saat perut kosong. Suapan pertama, kuah meluncur mulus dari mulut melewati saraf perasa hingga melewati tenggorokan. Rasa gurih dari kuah hasil rebusan tulang dan daging sapi, dengan rasa santan yang tak terlalu tebal, bercampur cita rasa jeruk limau. Memang membuat siang yang terik tak terasa lagi. Lalu disantap isi soto bersama dengan kuahnya. Kentang, tomat, potongan daging, babat, semua langsung terbabat habis di dalam mulut.

Tiap hari Afung masih terjun langsung untuk melihat hasil akhir racikannya. "Saya masih harus cicipin, liat kekentalannya. Nanti kalau enggak, pelanggan bisa protes, kok rasanya beda," ungkapnya.

Ia tak bisa diam biar pun hanya sejenak jika ada pelanggan. Alasannya masuk akal, ia tak ingin pelayanan ke pelanggan tak maksimal. Padahal setiap harinya ibu dua puteri dan satu putera ini sudah keluar rumah pukul 04.00 dini hari dari rumahnya di Greenvile menuju warung di Gang Gloria, Pancoran. Pasalnya pukul 05.30 warungnya sudah buka, hingga pukul 17.00.

"Sebelum di sini, saya dagang di Pancoran dari tahun 1996. Itu di deket musala (di mulut Jalan Pancoran IV --Red). Di sana saya bisa jualan sampai jam 10 malem. Kalo di sini, jam 6 juga udah sepi," keluhnya. Untuk harga, semangkuk soto betawi Afung dibanderol Rp 19.000. Kalau soto plus nasi jadi Rp 23.000.

Sebelum menetap di Gang Gloria dan Pancoran, Afung sudah mulai dagang soto betawi di Glodok (kini jadi Glodok City). Lalu pindah ke gedung Chandra pada sekitar tahun 1982, kemudian pindah ke Asemka sebentar di tahun 1996. "Pelanggan pada lari, pada enggak tahu. Rasanya juga jadi pengin lari," lanjutnya, akhirnya diputuskan pindah ke Pancoran tahun 1996-2005, sampai akhirnya menempati warung yang sekarang sejak tahun 2005.

Pedagang Buah

Yanti atau Afung mengaku kepepet ketika akhirnya terjun ke bisnis makanan. Jujur dikatakan Yanti, memasak bukanlah hal yang ia senangi. Tapi dengan kesabaran dan ketelatenan akhirnya semua itu membuahkan hasil. "Sebenarnya saya lebih seneng dagang buah," ujarnya.

Berdagang buah di Glodok sudah ia lakoni sejak tahun 1975. Pada tahun 1982 ia banting setir berdagang makanan. "Saya harus banting setir karena untuk dagang buah saingan makin berat, modal harus gede. Akhirnya setelah ngobrol- ngobrol sama suami, jadi deh saya jual makanan. Saya kepaksa masak," begitu pengakuan ibu dari Dessy, Yustina, dan Hendri ini.

Perlu dua tahun hingga akhirnya Afung menemukan 'jalan hidupnya' pada soto betawi dengan rasa yang ala Afung. Istri Hiu Sung Sen atau biasa dipanggil Ko Afung ini akhirnya bisa melupakan bisnis buah. Kini ia konsentrasi pada soto betawi saja. "Pelanggan saya udah turun temurun. Soto saya sering dibawa ke luar kota, bahkan luar negeri. Udah banyak yang cocok sama rasa soto betawi saya. Jadi saya ngurus ini aja," tutur Afung.

Yustina, putri kedua, adalah calon penerus bisnis ini. Meski Yustina sudah mulai ikut mengelola dan menyiapkan menu tapi resep masih di tangan Afung. Resep baru akan diturunkan pada saatnya nanti jika Yustina sudah siap. "Makanya kalau sekarang saya ditanya apakah mau buka cabang, saya jawab, enggak. Kecuali anak-anak yang mau pegang. Jadi sementara ya di sini aja. Pelanggan juga dari mana-mana tahunya warung saya di sini," ucap Afung mantap.

READ MORE - Soto Betawi Ekstra Sumsum

Soto Betawi Sejak Tahun 1940-an

Di sela toko-toko penjual barang antik dan alat-alat olahraga di Jalan Padang Panjang, Manggarai, Jakarta Selatan, terselip sebuah warung soto yang dipadati pengunjung setiap harinya. Di bagian depan warung dibentangkan kain putih yang juga berfungsi sebagai papan nama bertuliskan 'Soto Betawi Haji Husen'.

Pemandangan di warung soto betawi milik Haji Husen yang sederhana cukup kontras dengan deretan mobil pelanggannya yang diparkir berjajar di sepanjang Jalan Padang Panjang. Melihat ramainya warung soto betawi tersebut akhirnya Warta Kota singgah di warung tersebut untuk mencicipi semangkok soto betawi buatan Husen serta sepiring nasi putih.

Satu porsi soto betawi buatan Husen antara lain berisi potongan paru, babat, daging, serta lidah sapi, yang sebelumnya sudah digoreng terlebih dahulu. Namun bagi warga yang memiliki selera khusus bisa memilih menunya sendiri, seperti hanya lidah sapi saja atau paru saja.

Ditemui di sela kesibukannya melayani pelanggan, Minggu (8/2) siang, Husen menuturkan bahwa usaha dagang soto betawi yang digelutinya saat ini adalah usaha turun-temurun dari almarhum Kaiban, ayahnya. Dikisahkan Husen bahwa ayahnya sudah berdagang soto betawi di kawasan Manggarai sejak sekitar tahun 1940-an. Husen adalah generasi keempat yang meneruskan usaha dagang soto tersebut.

"Setelah bapak saya, dua kakak saya yang melanjutkan usaha ini. Kemudian menurun ke saya sejak tahun 1964 hingga saat ini," ujar pria asli Pasar Rumput ini. Kini ia menetap di daerah Beji, Depok.

Semula warung soto yang dikelola oleh Kaiban, ayah Husen, terletak di Jalan Minangkabau, Manggarai. Warung soto terseut kemudian pindah pada tahun 1960 ke Jalan Padang, masih di wilayah Manggarai, hingga tahun 1970. "Setelah berdagang di Jalan Padang selama 15 tahun, sekitar tahun 1985 warung pindah ke Jalan Sultan Agung, juga di kawasan Manggarai, dan terakhir pindah ke warung ini tahun 1989 hingga sekarang," ujar Husen.

Soto betawi yang dihidangkan oleh Husen memang cukup menggugah selera. Menu andalannya adalah potongan lidah sapi, paru, serta babat yang dicampurkan ke dalam kuah soto yang gurih karena santannya cukup kental, kemudian dicampur dengan racikan bumbu yang pas.

"Racikan bumbu yang saya buat memang kuncian dari orang tua saya. Tapi yang jelas kuah sup yang saya hidangkan cukup kental sehingga rasa soto menjadi gurih. Sementara untuk daging, lidah, serta paru sapi, agar empuk sebelum digoreng terlebih dahulu saya rebus," ujar Husen.

Habis terus

Semula Husen hanya menjual soto betawi dengan daging Sapi hanya sebanyak 5 kilogram per hari. Saat itu, sekitar tahun 1989, warungnya juga masih berukuran 3 x 3 meter. Namun lantaran jumlah pelanggannya bertambah banyak, kebutuhan dagingnya juga terus meningkat. Saat ini, setiap harinya Husen butuh satu kuintal daging sapi serta empat panci besar kuah soto. Untuk bisa menghasilkan kuah soto yang gurih, dalam sehari juga dibutuhkan sedikitnya 60 butir kelapa untuk diambil santannya.

Jumlah daging sapi serta kuah soto sebanyak itu ternyata bisa habis terjual hanya sekitar tujuh jam berdagang pada hari Sabtu dan Minggu. "Kalau Sabtu dan Minggu saya sudah buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 17.00. Tapi biasanya soto buatan saya sudah habis terjual sekitar pukul 14.00. Sementara untuk hari biasa pada Senin hingga Kamis, biasanya soto buatan saya baru habis terjual pada pukul 17.00," ujar Husen yang juga menyebutkan bahwa warungnya tutup pada hari Jumat.

Warung soto betawi itu menjadi salah satu warung yang menjadi pilihan para karyawan saat makan siang. Menurut Husen, biasanya pada hari Senin hingga Kamis, terutama jam-jam menjelang makan siang, pelanggannya sudah antre. "Awalnya pelanggan yang datang adalah karyawan yang bekerja di sekitar Manggarai, selanjutnya para karyawan dari Kuningan, dan saat ini sudah hampir dari seluruh Jakarta yang datang ke sini," katanya.

Sementara itu pada Sabtu dan Minggu kebanyakan pelanggannya adalah keluarga yang menikmati liburan. Saking terkenalnya warung makan milik Husen itu, pelanggannya pada Sabtu dan MInggu juga banyak yang berasal dari luar daerah.

"Ada pelanggan dari luar pulau Jawa yang menyempatkan makan di sini. Kebanyakan mereka singgah di bandara dan pergi ke sini hanya untuk membeli soto," ujar Husen yang mematok harga Rp 15.000 untuk satu porsi soto betawi.

Pelayanan Ramah, Nggak Jutek

Husen memiliki kunci sukses membuat warung soto betawinya ramai pembeli. Dikatakan, selain memiliki racikan bumbu yang pas serta rasa soto yang enak, ia juga menerapkan pelayanan yang cepat dan ramah kepada pembeli. "Walaupun makanannya enak tapi kalau pelayanannya enggak ramah atau jutek, dijamin pelanggan yang datang hari ini besok-besok tidak bakal balik ke sini," ujar Husen.

Lebih lanjut Husen mengatakan bahwa saat pertama kali merintis usaha berdagang soto betawi, ayahnya Kaiban, selalu meracik sendiri bumbu masakannya. Hal itu yang disebut kuncian alias resep rahasia oleh Husen. Namun kebiasaan ayahnya itu tidak diikuti oleh Husen. Ia berusaha melestarikan makanan asli Betawi tersebut bersama sembilan karyawannya. "Saat ini kami sama-sama berdagang di sini. Resep racikan warisan orangtua saya juga sudah saya ajarkan kepada para karyawan," ujar Husen.

Ia mengakui bahwa tempat berdagangnya saat ini sudah terbilang sempit, tidak sebanding dengan jumlah pelanggan yang datang ke warungnya setiap hari. Selain itu tidak tersedianya lahan parkir yang memadai membuat sejumlah pelanggan yang mengendarai mobil dan sepeda motor terpaksa harus memarkirkan kendaraannya di tepi jalan. "Kalau sudah ada modal untuk membeli lahan saya berencana membuat cabang, tapi menunggu punya lahan dulu," tandas Husen
READ MORE - Soto Betawi Sejak Tahun 1940-an

Soto Betawi Rasa Tegal

Melintas di Jalan KS Tubun, Petamburan, Jakarta Pusat, di atas pukul 21.00 dengan perut keroncongan, Warta Kota memutuskan berhenti di warung Soto Betawi Haji Umar Idris. Warung ini terletak tak jauh dari Hotel Santika. Dari arah Tanah Abang, warung ini ada di sisi kiri atau berseberangan dengan Hotel Santika (sekitar 100 m dari hotel itu).


Rintik hujan yang turun sejak siang menciptakan hawa dingin yang pas ketika tenggorokan diguyur semangkuk soto betawi dengan asap mengepul. Kebetulan ada beberapa pelanggan yang juga mengisi perut di kedai ini. Ketika Warta Kota masuk dan memilih kursi, pelayan memberi tahu bahwa pengunjung bisa langsung memilih pesanan di meja yang disediakan.

Ini barangkali uniknya. Di tempat lain pelanggan tinggal pesan isi soto betawi, misalnya campur atau daging saja, dan tinggal menunggu pesanan tiba di meja. Beda dengan warung ini. Pengunjung harus langsung memilih sendiri isi soto. Misalnya soto betawi isi daging (sapi) saja, maka pilihlah potongan daging sapi yang ada. Atau jika ingin campur jeroan, daging, dan babat, ya pilih sendiri. Seberapa banyak, terserah yang akan menyantap.

Hitungan porsi di warung ini ditentukan sendiri oleh pelanggan, yaitu berapa potong daging atau jeroan yang ingin dimakan. Sepotong kecil daging, jeroan, atau babat, dipatok seharga Rp 2.000.

Setelah meletakkan daging atau jeroan terpilih pada mangkuk, pelayan akan mengiris daging atau jeroan tadi menjadi potongan kecil-kecil. Taburan bumbu beterbangan di atas mangkuk untuk kemudian mangkuk itu diguyur kuah plus perasan jeruk limau, emping, dan daun seledri.

Jangan heran, memang ini sejatinya adalah soto ala Umar atau di masa lampau lebih beken dengan nama Soto Umar. Entah bagaimana, seiring perjalanan waktu, soto ini menyandang nama soto betawi. Ini bukanlah soto betawi seperti yang biasa kita temui. Kuahnya encer, berwarna pucat, di dalamnya tak terdapat irisan tomat, kentang, ataupun bawang daun. Enggak eneg.

Tak hanya itu, sambal yang jadi teman soto juga berbeda. Jika pada soto betawi biasanya sambal dibikin encer dengan warna merah pucat dan rasa pedas yang langsung nendang saraf perasa, maka di warung ini sambal lebih kental, warna lebih gelap dengan rasa yang terbilang manis. Bisa dibilang, rasa pedasnya terlalu 'sopan'.

Bagi penggemar warna gelap dan manis, tambahkan kecap ke dalam soto sebelum menyantap. Pada suapan pertama, langsung terasa beda soto ini dengan soto betawi lainnya. Terasa gurih meski encer. Terkadang terasa seperti paduan sop dan soto dengan kuah yang kekentalannya juga tak ‘menakutkan’. Yang pasti, menu ini sungguh pas di cuaca apa pun. Seorang rekan bahkan menyeruput kuah soto ini hingga tandas. ”Enggak eneg, encer lagi,” katanya.

Menurut Santo, Juriman, dan Wahyu, yang melayani pelanggan di malam hari, warung ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 04.00 dini hari. ”Tiap hari paling rame jam makan siang, sekitar pukul 11.00 sampai pukul 13.00. Tapi sampai malem bahkan pagi, ada aja yang makan di sini,” kata Wahyu yang diamini kedua rekannya, semua dengan logat Tegal yang kental.

Lantas kenapa kuah sotonya begitu gurih dan berbeda dari soto betawi yang lain? ”Ya, memang beda. Kita kan pake susu. Ini resepnya turunan dari Haji Umar Idris almarhum. Kita juga enggak pake tomat, kentang, dan daun bawang. Kita cuma pake daun seledri dan emping,” ujar Wahyu.

Sayang putra almarhum Haji Umar Idris yang melanjutkan bisnis ini, Budi Hanurawanto Umar, sedang pulang ke kampungnya di Tegal, Jawa Tengah, saat Warta Kota mampir ke kedainya.

Sejak awal enggak pakai sistem paket

Dihubungi dari Jakarta, Budi Hanurawanto Umar yang tengah berada di Tegal menjelaskan, ayahnya, Haji Umar Idris (alm), memulai bisnis ini tahun 1969 di Sabang, Jakarta Pusat. ”Dulu masih pake tenda. Awalnya Bapak cuma jual ketan, goreng-gorengan. Tapi melihat peminatnya kok banyak, trus Bapak mulai jual soto. Tapi ini dulu memang bukan soto betawi. Ini disebut Soto Umar karena memang beda dengan soto betawi. Beda rasanya karena ini memang resep sendiri,” papar ayah dua putra ini.

Sekitar tahun 1975, posisi warung tenda bergeser sedikit tapi masih di Sabang. Baru pada 1999 warung ini pindah ke kedai di Jalan KS Tubun. ”Sekarang memang enggak pake tenda lagi tapi itu juga masih kontrak,” kata Budi.

Entah bagaimana, kemudian nama Soto Umar berubah menjadi Soto Betawi Haji Umar Idris. ”Mungkin pengaruh tempat dan zaman, enggak tau juga. Tapi soto ini memang beda rasanya dengan soto betawi. Kuah soto kita memang encer karena campuran santan dan susu,” tutur Budi.

Sejak awal sistem pemesanannya juga beda, pelanggan memilih sendiri apa yang akan dimakan. ”Istilahnya saya enggak pake sistem paket seperti yang lain. Kita hitung per potong. Tapi kalau mau seperti itu, paket campur atau daging, kita yang pilihin juga bisa,” kata Budi lagi. (*)

READ MORE - Soto Betawi Rasa Tegal

Sensasi Sate Lembut Betawi

Di jejaring gang yang agak ruwet di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kekayaan kuliner Betawi seakan tak ada habisnya. Ada nasi uduk, soto mie, bubur ase (asinan semur), asinan, gado-gado, soto betawi, sop kaki serta kepala kambing, dan masih banyak lagi. Meski tampil dalam bentuk warung sederhana, bahkan di kaki lima, hampir semuanya punya citarasa top dengan penggemar yang bejibun.

Zainal Fanani, pemilik Kedai Nasi Uduk Kebon Kacang di Kebon Kacang VIII, menyarakan kami untuk mencoba sate lembut di Kebon Kacang V. "Itu juga makanan khas Betawi, pengelolaannya sudah beralih tiga generasi," kata Zainal saat kami ke warungnya beberapa waktu lalu.

Sate lembut -dari daging sapi dan menggunakan bumbu kacang- merupakan makanan khas Betawi yang sudah tergolong langka. Jarang orang menjadikan sate lembut sebagai menu di warung makan. Proses pembuatannya yang sulit dan rumit boleh jadi merupakan kendala. Kalau pun ada orang Betawi yang masih membuatnya, umumnya hanya pada momen-momen tertentu, seperti saat Lebaran.

Istimewa
Penasaran ingin coba, beberapa hari setelah bertemu Zainal, kami meluncur ke Kebon Kacang V. Pada kunjungan pertama, kami pulang tanpa hasil. Warung tutup saat kami tiba sekitar pukul 15.00, padahal warung itu biasanya tutup pukul 17.00.

Pada kesempatan kedua, kami datang lebih pagi, yaitu pukul 11.00. Kali ini, kami tamu yang pertama. Jadwal operasi reguler warung tersebut dari pukul 10.00 - 17.00. Tetapi kalau persedian habis sebelum pukul 17.00, warung langsung ditutup.

Warung tersebut terletak di halaman rumah dengan hanya tiga meja untuk tamu (satu meja untuk empat orang). Keberadannya tidak mencolok. Namanya bukan Warung Sate Lembut tetapi Rumah Makan Betawi. Namun kalau Anda nyasar saat ke sini, nama warung sate lembut populer bagi banyak warga sekitar. Dengan menggunakan jasa tukang ojek atau tukang bajaj yang mangkal di Tanah Abang atau Jalan Wahid Hasyim, pencarian akan lebih mudah lagi.

Sate lembut hanya salah satu jenis menu yang tersedia di warung itu. Mungkin karena faktor sejarah atau keunikan serta citarasanya yang khas, menu itu lalu menjadi identik dengan warung tersebut. Selain sate lembut, di tempat itu ada sate asem/manis, sate kambing, sop kambing, gulai kambing, ketupat laksa, soto betawi, mie rebus/goreng, empal goreng, nasi goreng kambing, serta pastel.

Atikah, si pemilik warung, mengatakan, sate lembut pasangannya adalah ketupat laksa. Saya pesan menu tambahan gulai kambing serta sate asem/manis. Saya ingin tahu, selain sate lembut, menu lain seperti apa rasanya.

Ternyata, semua pesanan saya istimewa. Tampilan sate lembut mirip sate lilit Bali. Rasanya lembut, manis, gurih, dan kaya rempah. Kesat kelapa juga terasa kuat. Bumbu kacang yang sajikan terpisah juga lembut dan gurih.

Sate asem/manis hadir dengan warna kuning kecoklatan yang sangat menggoda. Ini juga daging sapi. Rasanya asem-manis dan gurih.

Kalau sate asem/manis dagingnya hanya diiris-iris, diberi gula merah, diungkep dengan sejumlah bumbu, kemudian dibakar, sate lembut prosesnya lebih rumit. "Bikin sate lembut itu ribet dan rumit," kata Atikah.

Semula daging sapi digiling sampai benar-benar hancur dan lembut, lalu dicampur kelapa dan aneka rempah. Setelah itu ditumbuk agar daging dan bumbu menyatu. Kemudian, daging diremas-remas biar pulen. Kalau masih terasa ada yang mengumpal, daging harus tumbuk lagi, setelah itu baru dibentuk dengan menempelkan daging pada tusukan bambu yang pipih, kemudian dibakar. "Pokoknya bikinnya capek," kata Atikah. Daging sapi yang digunakan harus baru, segar, dan tidak boleh kena es.

Ketupat laksa datang dengan isian potongan ketupat, bihun, daun bawang, bawang goreng, emping, daun kemangi, telur ayam, dan perkedel kentang. Kuah santannya kental, jadi tampak sangat berlemak, dan ini membuat saya cepat kenyang. Rasanya sedap.

Pesanan saya yang datang pertama sesungguhnya gulai kambing. Gulai kambing tempat ini sangat dipoetjiken. Top! Isinya daging iga lembut dan ngelotok dari tulang, emping, bawang goreng. Aroma jeruk nipis dan aroma rempah, antara lain kayu manis, sangat terasa.

Tidak Tega
Atikah merupakan generasi ketiga yang meneruskan usaha warung sate lembut itu. Di tangan Atikah pula terjadi diversifikasi menu. Sate dan gulai kambing, mie rebus/goreg, soto Betawi serta nasi goreng, katanya, merupakan menu baru kreasinya sendiri. Pada generasi kakek serta neneknya, menunya hanya sate lembut, sate asem/manis serta ketupat laksa.

Adalah Rakimin dan Poh Minah, kakek serta nenek Atikah, yang memulai usaha warung sate itu pada tahun 1948 di sekitar Masjid Al Makmur, Tanah Abang. Dari Al Makmur, Rakimin lalu pindah ke Kebun Kacang IV, kemudian Kebon Kacang V Nomor 29. Dari Rakimin dan Pok Minah, usaha warung itu diteruskan ke Rohma dan Harun, puteri dan menantu Rakimin. Rohma dan Harun adalah orang tua Atikah.

Sejak tiga bulan lalu, Atikah memindahkan warung itu dari Kebun Kacang V/29 ke Kebung Kacang V/44. "Rumah Nomor 29 itu dulu harta warisan bersama keluarga," katanya.

Sejak tahun 1966, saat masih usia belasan tahun, Atikah terlibat dalam proses pembuatan sate lembut. "Dulu saya di dapur. Jadi, orang tidak lihat saya di warung," katanya.

Setelah orang tuanya meninggal, ia meneruskan usaha itu. Dari usaha warung itu ia bisa menyekolah 10 orang adiknya sampai penguruan tinggi dan kini menguliahkan dua anaknya. Dua anaknya, tampaknya, tidak begitu berminat untuk melanjutkan usaha itu. "Gak tahu nanti siapa yang nerusin, liat nanti ajalah," kata Atikah.

Beberapa kali ada orang yang mengajaknya untuk melebarkan sayap usaha ke mal atau pusat-pusat tempat makan di Ibukota. Namun konsep kerja sama yang ditawarkan kelihatannya tidak begitu menjanjikan keuntungan. "Kami juga kuatir, ada orang yang hanya ingin tahu resep," katanya. Ada pula yang mengajak kerja sama tetapi harga jual makanannya menjadi sangat tinggi, bahkan menurut dia, tidak masuk akal.

"Ada yang ajak buka di Kemang (Jakarta Selatan). Setelah dihitung, seporsi sate nanti mau dijual Rp 80.000 atau lebih. Katanya sewa tempatnya memang mahal. Di sana katanya orang nggak mikir uang kalau makan, yang penting enak. Tapi saya tidak tega, tidak sampe hati, harganya kelewat tinggi," kata Atikah.

Ia pun masih bertahan di halaman rumahnya di Kebun Kacang. Di situ seporsi sate lembut hanya Rp 20.000, ketupat laksa Rp 12.000, gulai kambing Rp 13.000. "Biar di sini ajalah. Saya merasa cukupan," katanya.

Alamat: Rumah Makan Betawi (Sate Lembut), Jalan Kebon Kacang V/44, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Telepon: (021) 316 05 48
READ MORE - Sensasi Sate Lembut Betawi

Aroma Ketumbar Sandwich Vietnam

Sandwich VietnamMeski roti bukan makanan pokok orang Indonesia, dewasa ini sebagian orang sudah mulai terbiasa melahap roti, termasuk sebagai pengganti nasi. Di antara berbagai variasi sajian yang berbahan roti, sandwich termasuk yang banyak penggemarnya. Anda bisa menjajalnya dengan mampir ke Cali Deli.


Kafe ini khusus menyajikan sandwich ala Vietnam dengan minuman kopinya yang sangat khas. Roti yang dipakai jenis roti baguette, yakni roti dengan panjang 15 cm dan lebar 10 cm. Biasanya roti baguette atau roti Perancis ini keras dan liat, tapi roti ala Cali Deli ini benar-benar empuk dan renyah. Meski dimakan pada saat sudah dingin, keempukannya tidak berubah.

Lantas, apa beda sandwich Vietnam ini dibandingkan dengan sandwich lainnya? Jika sandwich biasa, seperti sandwich kreasi pertama Earl Sandwich, memakai roti tawar (white atau brown bread) maka sandwich Vietnam ini memakai roti Perancis. Bukan tanpa alasan. Ini karena Vietnam pernah dijajah Perancis. Maka roti Perancis pun dijajakan di pikulan pinggir jalan, dan bisa dinikmati dengan daging panggang gaya Vietnam.

Isian sandwich Cali Deli memakai racikan bumbu Vietnam yang ringan, nyaris tanpa lemak, seperti air jeruk lemon, bawang putih, serai, dan daun ketumbar. Jenis sandwich yang ditawarkan antara lain Lemon Grass Chicken, Beef Satay, BBQ Chicken, Turkey, Tuna Egg. Semuanya ada 12 jenis sandwich, memakai dasar bahan daun ketumbar dan serai yang menjadi ciri khas Vietnam. Selain sandwich ada juga cream soup, mushroom soup, dan boston clam chowder, yang ditempatkan ke dalam roti baquette berbentuk mangkuk.

"Ciri masakan Vietnam dari serai dan daun ketumbar membuat aroma dan rasanya menjadi khas. Adapun yang menjadi favorit di sini adalah Lemon Grass Chicken," ujar Zeus Angga Elyono, Operation Manager Cali Deli, yang ditemui belum lama ini.

Tak seperti sandwich biasa yang selalu berbalut mayones, sandwich Vietnam ini lebih segar karena memakai banyak sayuran segar. Kiranya orang yang sedang diet pun tidak khawatir menikmati sandwich ini. Sandwich ini dihidangkan dalam kondisi hangat dan sebelum disajikan dipotong menjadi tiga bagian. Maklumlah, bila tidak dipotong-potong terlalu besar untuk langsung disantap. Dengan ukuran sebesar itu tentu cukup mengenyangkan dan bisa menjadi pengganti makan siang atau makan malam. Apalagi bila ditambah krim supnya. Pastikan saat Anda datang ke Cali Deli, perut dalam keadaan kosong. Kalau tidak, Anda tidak akan bisa menghabiskan seluruh makanan.

Jangan lupa juga mencicipi minuman wajibnya, yaitu kopi Vietnam yang sangat pekat tapi tidak terlalu pahit rasanya. Apalagi dengan campuran susu. Mau pilih yang hangat bisa pesan secangkir kopi Midnight Express. Kopi yang dipakai merupakan gilingan sendiri tanpa campuran, hingga aroma kopinya terasa kuat walaupun sudah dicampur susu.
Atau kalau mau yang dingin ada Viet Original Ice Blended, yang tampilannya mirip capuccino. Warnanya cokelat pucat dan diberi topping whipped cream yang menjulang melewati bibir gelas. Rasanya tidak terlalu pahit dan baunya harum saat dinikmati.

Bagi yang tidak suka kopi, tersedia juga berbagai minuman segar lainnya seperti butterfly yang isinya ada selasih, leci, rumput laut, bong to hay (yang kaya serat), dan masih banyak minuman segar lainnya.

Asia-Barat
Sandwich di Cali Deli ditawarkan mulai dari harga Rp 21.000 hingga Rp 43.000. Sedangkan minumannya berkisar Rp 23.000 hingga Rp 30.000. Selain makanannya, suasana kafenya sangat nyaman, terutama yang ada di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.

Berada di Cali Deli, suasana sejuk dan asri akan terasa, selain akibat udara dingin yang dihasilkan dari mesin penghasil uap dingin tersebut, juga berasal dari tanaman hijau dan bambu kuning yang mendominasi area café. Kenyamanan makin terasa tatkala duduk di kursi rotan dengan bantalan empuk warna putih.

Kesan Asia sangat menonjol dengan interior rotan yang unik. Namun pada bagian dalam, interior gaya Barat modern terkesan kuat dengan keberadaan sofa-sofa kulit berwarna hitam. Kafe berkapasitas 150 orang ini memang memadukan unsur Asia dan Barat. "Kami memadukan unsur Vietnam dan Amerika. Baik dari interior maupun menu makanan dan minuman yang ditawarkan," ujar Zeus.

Tiga Bulan Uji Coba
Cali Deli adalah kependekan dari California delicius. Namanya berbau kebarat-baratan karena memang idenya diambil dari kota San Diego, Amerika Serikat. Si empunya, Ivana Sumampauw (53) atau akrab disapa Cingcing, mengaku terinspirasi sandwich ini kala dirinya dan suami pergi ke sana.

"Di sana ada restoran yang juga khusus menyajikan sandwich dengan roti Perancis, tapi sangat tidak enak, keras dan dingin. Akhirnya sepulang dari sana saya putuskan untuk membuatnya dengan paduan masakan Vietnam karena kebetulan suami orang Vietnam," tutur Cingcing. Selama tiga bulan dia melakukan uji coba untuk bisa membuat roti yang empuk dan renyah. Akhirnya Cingcing bisa menemukan formula yang tepat.

Pembuatan roti dilakukan setiap hari sehingga terjaga kesegarannya. Pengunjung yang kepengin tahu bagaimana mereka membuat sandwich bisa saja langsung melihat ke dapur yang terbuka. Kebersihan sangat diperhatikan untuk menjaga kualitas.

Bagi nenek tiga cucu ini, dunia masak bukanlah hal baru. Cingcing sudah malang melintang di jagat kuliner selama 20 tahun. Awalnya dia membuka restoran Bakmi Permata bersama sang kakak. Lalu memisahkan diri pada tahun 2006 untuk membuka Cali Deli ini.

Hingga sekarang Cali Deli sudah membuka empat outlet, yakni di FX Center Sudirman, BEJ tower I-Sudirman, The Promanade Building-Warung Buncit, serta di Jalan Surabaya-Menteng
READ MORE - Aroma Ketumbar Sandwich Vietnam

Kue Pengantin Betawi: Pantangan Dilanggar, Kue Gagal

Pelestarian kuliner nusantara memerlukan kepedulian generasi muda. Hal itu disadari oleh pasangan suami-istri Nawiyah (35) dan Ahmad Rido (40). Mereka meneruskan usaha sang ibu (almarhumah) Hj Idop dalam membuat jajanan hantaran pengantin Betawi, seperti kue geplak, kue wajik, kue lapis pepe, uli, tape ketan, dan dodol betawi.

Beberapa jenis kue memang sering kita lihat di pasar, seperti kue pepe (kue lapis dari tepung sagu), tape, dan ketan uli. Namun untuk geplak dan dodol sudah agak jarang yang membuatnya. Mungkin karena tingkat kesulitannya tinggi dan banyak tata cara dalam membuat panganan tersebut.

"Membuat dodol dan geplak banyak pantangannya. Percaya tidak percaya, kalau dilanggar bisa tidak jadi kuenya," kata Ahmad Rido, atau yang akrab disapa Edo, ketika ditemui di rumah sekaligus warungnya di Tegal Rotan, Bintaro.

Biasanya panganan itu khusus dipesan untuk hantaran pengantin Betawi. Ada juga yang pesan untuk hajatan (selamatan). Jadi, pembuatannya berdasarkan pesanan.

Hanya dodol yang paling sering dibuat, meski tidak ada pesanan. Paling tidak dua hari sekali Edo memproduksinya dan dijual per kilogram. Kemasannya sengaja dibuat tidak terlalu besar. Pada bulan Puasa, 15 hari menjelang Lebaran pembuatan dodol mulai meningkat. Adapun pesanan sudah harus dilakukan sebulan sebelumnya.

Biasanya, untuk pesanan hantaran pengantin, kemasannya memakai tenong (wadah bulat terbuat dari anyaman bambu) berukuran 15 x 15 cm atau 20 x 20 cm. Selagi panas langsung dicetak di wadah yang telah dialasi plastik bening. Harganya antara Rp 75.000 dan Rp 150.000.

Dodol Betawi buatan Nawiyah terasa legit, tetapi tidak terlalu manis. Kadar rasa manis bisa dipesan sesuai selera. Begitu juga dengan geplak dan lainnya. Dodol terbuat dari beras ketan yang digiling lalu ditambahkan gula merah dan santan kelapa yang diambil patinya. Pembuatannya memakan waktu hingga tujuh jam.

Dipukul
Geplak dibuat dari beras yang agak pera lalu digiling menjadi tepung dan disangrai, dicampur dengan kelapa parut yang juga sudah disangrai sebelumnya. Kemudian adonan itu dicampur dengan gula pasir yang sudah dicairkan hingga agak mengental dan selagi panas diaduk-aduk hingga menjadi adonan yang padat.

"Agak repot memang, apalagi dalam kondisi panas (meski awalnya pakai centong) harus diaduk dengan tangan. Baru kemudian dicetak di tenong atau wadah lalu diratakan dengan tangan, dengan setengah dipukul, karenanya disebut dengan geplak," tutur Nawiyah.

Supaya tidak lengket di tangan, di atas permukaan geplak ditaburi tepung giling yang disangrai, lalu didiamkan selama 2 jam sampai mengeras. Penampilannya jadi cukup menarik. Kue ini, meski kelihatan kokoh, tapi saat dimakan sangat empuk dan gampang hancurnya. Rasanya manis gurih. Tersedia dalam ukuran tenong 15 x 15 cm dan 20 x 20 cm harganya Rp 50.000-Rp 100.000.

Ketahanan kue geplak bila di suhu ruangan bisa sampai 3 hari, sedangkan di dalam kulkas bisa sampai seminggu dan akan semakin renyah. Adapun dodol bisa sampai tiga minggu di suhu ruang.

Pembuatan wajik pun tidak jauh beda dengan dodol dan geplak. Bahan dasarnya beras ketan yang direndam selama 6 jam supaya empuk, lalu dicampur dengan kelapa yang sudah disangrai, gula merah, dan santan. Semua bahan diaduk di atas api hingga dua jam sampai tanak. Harga per loyang Rp 50.000-Rp 100.000.

Selain itu, mereka juga menerima pesanan kue pepe. Dibuat sesuai selera pemesan. Ada yang minta berlapis dengan warna merah putih atau hijau putih. Ada juga yang pesan cokelat semua, hanya lapisannya diberi kelapa muda sebagai variasi. Kue ini dikukus dan butuh kesabaran dalam membuatnya. Tersedia dalam ukuran 15 x 15 cm dengan harga Rp 35.000 dan ukuran 20 x 20 cm Rp 50.000.

Warung kue Nawiyah tidak terlalu besar. Selain menerima pesanan kue, juga menjual gado-gado dan laksa. Lokasinya berada di seberang Pasar Bintaro Jaya.

Pantangan
Usaha pembuatan kue hantaran khas Betawi ini dirintis Idop pada tahun 1987. Mulanya hanya coba-coba. Saat ada yang mau hajatan lalu minta dibuatkan, Idop menyanggupinya. Lama kelamaan, itu menjadi usaha yang serius.

Dari ketiga anak Idop, hanya Nawiyah yang mengembangkan bakat membuat kue tersebut. Sebagai penerus, Nawiyah mengembangkan usaha ini dibantu sang suami. "Pesan ibu cuma satu, yaitu harus menjaga kualitas dan memberikan layanan yang terbaik untuk pelanggan. Kami harus selalu ramah juga," ujar ibu empat anak ini.

Pantangan dan tata cara selama pembuatan kue juga harus diikuti. Meski agak sulit diterima akal, imbuh Nawiyah, hal itu bisa menggagalkan pembuatan kue jika dilanggar.

Seperti pada saat membuat dodol, biasanya ada "syaratnya" yakni disiapkan cabai merah dan bawang yang ditusuk dengan lidi, serta uang logam Rp 500 yang direndam di dalam air. Selama bahan dodol masih berbentuk adonan, si pengaduk tidak boleh punya pikiran negatif atau membicarakan yang jelek-jelek, tidak boleh banyak berbicara, tidak boleh kesal. Mendengar berita buruk seperti ada orang yang meninggal juga tidak diperbolehkan. "Makanya saya suka kejam sama anak kecil. Kasarnya mereka enggak boleh dekat-dekat kalau lagi membuat adonan," kata Rido.

Kebanyakan pembuat dodol memang laki-laki. Soalnya, butuh tenaga lumayan besar saat pengadukan. Dodol dimasak dalam kuali besar di atas bara arang. Diaduk dengan kayu yang berbentuk seperti dayung. Kalau hanya setengah kuali bisa dikerjakan dua orang, tetapi kalau penuh, paling tidak harus ada tiga orang yang mengerjakannya.

Rido menuturkan, dodol itu disebut juga dengan kue bacot (dalam bahasa Betawi artinya pembicaraan). Jika seorang besan datang dengan dodol yang bagus dan banyak jumlahnya, berarti termasuk orang kaya. Kalau dilihat tampilan dodolnya kurang baik maka akan jadi bahan pembicaraan pula. Ada-ada saja!

Warung Hj Idop/Nawiyah
Jalan Tegal Rotan 7 A, Bintaro
Telepon: 97965131
READ MORE - Kue Pengantin Betawi: Pantangan Dilanggar, Kue Gagal

Nikmatnya Nasi Goreng Arang Bumen Jaya

DI negeri ini, nasi goreng mungkin bisa dijuluki ’makanan generik’. Nasi goreng ada di mana-mana, dari rumah makan mentereng dengan pendingin udara (AC) hingga penjaja dengan gerobak pikulan di pinggir jalan.

Soal cita rasa tentu tergantung selera masing-masing orang. Kalau memang disukai orang, tentu penjual nasi goreng itu akan bertahan lama.

Seperti Rumah Makan Bumen Jaya yang dikenal sebagai salah satu rumah makan yang bertahan melestarikan makanan turun-temurun itu sejak dahulu. Di rumah makan tersebut, nasi goreng disajikan dalam beberapa variasi, antara lain nasi goreng ayam dan nasi goreng kambing. Ada pula mi rebus, sate ayam, sate kambing, sop kambing, gule, tongseng, dan lainnya. Namun yang menjadi ciri khas adalah nasi goreng ayam dan mi rebus.

”Sudah 45 tahun rumah makan ini berdiri, dan dari dulu resep yang dibuat Bapak tidak pernah berubah. Begitu juga dengan cara memasaknya, masih dengan memakai arang,” ujar Robiyanti (63), pemilik Rumah Makan Bumen Jaya. ’Bapak’ yang dia maksud adalah almarhum suaminya Anwar Sanusi.

Ketika Warta Kota mengamati, pengolahan masakan itu memang menggunakan anglo alias tungku tanah liat dengan bahan bakar arang kayu. Dengan demikian cita rasa masakan yang dihasilkan sangat khas.

Nasi goreng ayamnya diberi potongan daging ayam cukup banyak, disertai taburan emping yang melimpah. Hanya saja saat disajikan kebetulan agak dingin, karena ketika kami sampai di sana, terlihat di atas kompor sudah ada satu wajan besar berisi nasi goreng yang sudah siap, tinggal disajikan saja dengan tambahan emping.

Rasa nasi gorengnya lumayan. Kalau suka rasa pedas, pengunjung tinggal pesan khusus kepada sang koki. Nasi goreng itu pun akan diberi irisan cabai rawit. Wah, bisa dibayangkan pedasnya irisan cabai yang tergigit.

Mi rebusnya juga patut dicoba. Kami memilih mi nyemek. Diolah seperti membuat mi rebus tetapi hanya dengan sedikit kuah atau dalam bahasa Betawi disebut nyemek. Warnanya kecokelatan dan manis karena diberi campuran kecap.

”Awalnya bapak memakai mi kuning basah, tetapi semenjak ada isu boraks, kami jadi tidak berani pakai mi itu lagi. Paling sekarang pakai mi telur kering,” jelas Robiyanti.

Uritan

Sedikit membuka rahasia, menurut perempuan yang akrab dipanggil Yanti tersebut, bumbu dasar untuk nasi goreng berupa tomat, bawang putih, kemiri yang dihaluskan lalu ditumis sehingga menjadi bumbu jadi yang tinggal diolah bersama mi atau nasi.

Hanya saja kini ada yang berkurang. Kalau dulu ada campuran uritan (telur yang belum jadi di dalam perut ayam—Red) di dalam bumbunya. ”Sekarang sudah susah cari uritan di pasar, tapi rasanya tidak berubah kok,” tegas Yanti.

Baik nasi goreng maupun mi selalu disajikan dengan taburan emping. Bila Anda ingin lauk tambahan untuk nasi goreng, seperti kepala ayam, brutu (ekor), atau sayap, tinggal memesannya. Setiap lauk harganya Rp 3.000 per porsi. Nasi goreng ayam dan mi nyemek plus telur mata sapi harganya Rp 15.000 per porsi.

Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, pengunjung bisa memesan otak-otak atau tahu pong sebagai camilan. Seporsi otak-otak isi 10 bungkus Rp 20.000, sedangkan tahu pong isi 10 biji Rp 10.000. Untuk minuman, yang jadi favorit pengunjung adalah es jeruk kelapa yang harganya Rp 10.000 per gelas.

Soal cita rasa tak perlu diperdebatkan. Setiap orang punya cita rasanya sendiri-sendiri. Yang pasti, Bumen Jaya sudah bertahan 45 tahun. Itu saja sudah menunjukkan bahwa menu dan cita rasanya yang khas punya penggemar tersendiri. Kalau tidak, tentu sudah gulung tikar
READ MORE - Nikmatnya Nasi Goreng Arang Bumen Jaya

Melepas Rindu di Warung Nasi Kapau

Sepotong Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, setiap kali Ramadan berubah bak pasar malam. Sudah puluhan tahun pinggiran jalan yang tak jauh dari perempatan menuju Kampung Melayu, Senen, Kwitang, dan Cempaka Putih itu memberi warna tersendiri di situ. Meski sebetulnya sejak siang kawasan itu ramai, tapi menjelang petang keriuhan bertambah. Sinar lampu berjajar di sepotong jalan itu, seperti memanggil-manggil orang yang kebetulan lewat. Mereka yang rindu kampung halaman atau sekadar teringat cita rasa salah satu makanan khas Padang pun rela menghentikan langkah.

Keberadaan sederet warung nasi kapau di pinggir jalan yang hanya sepelemparan batu dari bioskop tua Grand itu bisa jadi biasa saja bagi orang yang setiap hari lalu lalang di sana. Tapi tidak demikian bagi mereka yang punya ikatan batin dengan menu-menu yang tersedia di situ. Di luar Ramadan, deretan warung itu siap menerima pengunjung 24 jam setiap hari. Selama Ramadan, warung-warung itu rata-rata baru buka pukul 14.00 hingga sahur menjelang.

Suasana malam rasanya lebih pas untuk warung-warung di tempat tersebut. Pasalnya, selain kesibukan di siang hari yang makin mereda, sinar lampu yang muncrat dari kedai-kedai itu pun menyedot perhatian orang. Orang jadi lebih ngeh dengan keberadaan mereka ketika sore mulai beranjak pergi.

Adalah Hj Nasir, istri Nasir, yang sudah mulai berdagang di sana sejak tahun 1970-an. Warungnya yang bernama Nasi Kapau Sabana Bana ada di antara deretan warung yang ada. Sudah jadi kebiasaan pula, selama Ramadan, tempat itu menambah riuh jalan ketika tiba waktu berbuka dan sahur.

Berbagai penganan buka puasa juga tersedia. Lebih spesial lagi karena kudapan yang ada di tempat itu semua khas Ranah Minang. Sebut saja bubur kampiun, lemang tapai, atau es tebak (es campur khas Minang). Bubur kampiun adalah campuran kolak pisang, bubur sumsum, candil, ketan putih, dan sarikaya telur, yang kemudian diguyur gula merah cair.

Sarikaya telur yang dimaksud adalah adonan telur bebek, ayam, gula aren, santan, dan pandan. Beraroma campuran manis dan wangi, tentu saja menggoda untuk dicicipi. Lemang tapai tak lain adalah ketan yang diberi santan kemudian dibakar selama dua jam. Uniknya ketan ini dimasukkan ke dalam bambu. Dimakan bersama tape ketan hitam. Sementara es tebak adalah es campur dengan isi utama tebak, semacam cendol yang terbuat dari beras. Tebak berwarna putih dan lebih panjang dan tebal serta tidak lembek.

Menurut Hj Nasir, ada cerita di balik nama bubur 'kampiun'. "Dulu penjual bubur ini di pacuan kuda, Bukitinggi. Iklannya kira-kira bunyinya: kalau makan bubur ini jadi juara, kampiun, gitu," katanya. Jadilah nama kampiun melekat hingga sekarang.

Banyak menu
Selain tiga makanan khas tadi, di warung itu digelar lebih dari 20 menu khas Minang. Bebek cabai hijau, telur ikan, dendeng basah cabai hijau, gulai kepala kakap, rendang sambal hijau, adalah sedikit dari menu khas yang siap menggenapi kerinduan Anda pada kampung halaman. Soal rasa, semua pantas dicoba. Tapi andalan di warung ini, ya, yang disebut di awal tadi, yakni bebek cabai hijau, dendeng basah cabai hijau, sup tulang iga, dan telur ikan.

"Di sini juga ada ikan bilis, ikan air tawar. Belum tentu di restoran-restoran besar ada," ujar M Ali, putra Hj Nasir. Ikan bilis itu kecil-kecil kemudian digoreng kering atau diberi sambal. Semua itu bisa dibeli tanpa menguras kocek. Dengan Rp 8.000-Rp 20.000 bisa kenyang dan puas. Harga yang dibayar terutama tergantung lauk yang dimakan.

Di sana juga dijual rendang merah, rendang yang tidak dimasak terlalu lama. Rendang model ini agak jarang ditemukan karena kebanyakan rendang dimasak hingga berwarna gelap.

Meski warung-warung di kawasan itu 'hanya' warung tenda, pembeli tak perlu takut tak kebagian tempat, sebab tempatnya cukup luas. Kursi panjang dipasang berjajar menemani meja panjang. Calon pembeli juga bebas memilih warung mana yang akan didatangi di sepotong jalan itu, sebab tiap warung punya menu khasnya sendiri.

Tapi, menurut Hj Nasir, soal nama Nasi Kapau Sabana Bana, punya arti tersendiri. Maksudnya? "Ini yang sebenar-benarnya. Sabana bana itu sebenar-benarnya. Kita memang yang pertama jual nasi kapau di sini," tandasnya. Pembeli yang ingin membawa pulang lauk juga banyak. Biasanya untuk sahur. Tapi untuk makan besar setelah buka puasa juga tak sedikit.
READ MORE - Melepas Rindu di Warung Nasi Kapau

Ini Dia, Tauto dan Nasi Megono Pekalongan

Ini Dia, Tauto dan Nasi Megono PekalonganPEKALONGAN acapkali dihubungkan dengan batik. Padahal masih banyak produk-produk istimewa kota di pesisir pantai utara Jawa ini. Masyarakat Ibu Kota mungkin belum begitu familiar dengan tauto dan nasi megono.

Padahal kedua makanan itu adalah produk kuliner istimewa dari kota berpenduduk 264.932 jiwa tersebut. Tauto adalah soto yang ditambahi tauco. Megono lain lagi, makanan ini diolah dari nangka muda yang dicincang halus dan dicampur kecombrang.

Kedua menu inilah yang menjadi andalan Tauto Pekalongan "Nino". Warung ini terletak di Jalan Tebet Timur Dalam Raya No 3, di depan pasar PSPT, atau lebih tepatnya di samping Bank Panin.

Menurut Lukman Bilfaqih, pengelola sekaligus pemilik warung ini, ide untuk membuka warung dilandasi rasa rindu akan makanan kota asalnya dan sekaligus keinginan mengumpulkan orang-orang Pekalongan yang ada di Jakarta.

"Tidak munafik memang dalam bisnis saya mencari untung, tapi yang jelas saya kepengin orang-orang Pekalongan bisa kumpul, bisa bersilaturahmi," ujarnya

Warung ini ia dirikan sejak 2003 setelah pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan tambang marmer.

"Dari SMA saya memang suka masak, lantas setelah pensiun dari perusahaan tambang marmer saya membuka gerai batik, tiga tahun tidak menampakkan hasil dan juga didera krisis, saya memutuskan membuka warung ini," ujar bapak tiga anak ini.

Pada hari biasa ia membuka warung ini mulai pukul 08.00 pagi hingga 20.00 malam. Tapi di bulan Puasa ia buka pukul 16.00 sampai pukul 21.00.

Menu yang jadi andalan di warung ini tak lain adalah Tauto dan Megono Komplit.

Megono Komplit adalah menu yang merupakan kombinasi dari nasi megono,tauco, lodeh, orek tempe, balado telor, ikan asin, dan mentimun. Selain menu tersebut masih banyak menu lainnya seperti sayur lodeh bongkrek (terbuat dari ampas tahu), sayur asem komplit, sotong atau cumi, dan lain-lain.

Tauto atau tauco soto adalah soto asli orang Pekalongan, begitu penjelasan Lukman. Adapun yang membedakan soto ini dengan daerah lain adalah adanya tambahan tauco, bumbu yang dihasilkan dari fermentasi biji kedelai. Tauco ini yang memberi sensasi tersendiri dibanding soto lainnya yang kebanyakan didominasi santan.

Soal harga Anda tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Sebab harga-harga di warung ini tergolong murah. Satu porsi Megono Komplit dipatok Rp 12.000, begitu juga dengan Tauto Pekalongan.

Menu-menu yang lain pun harganya tidak jauh beda. Satu lagi keistimewaan warung ini. Semua masakan yang diolah tidak menggunakan vetsin atau bumbu penyedap.

Beberapa pengunjung yang ditemui mengaku sangat terkesan dengan rasa megono yang memiliki kekhasan tersendiri. Salah satunya adalah La Tofi (46) yang cukup sering menyambangi warung ini. “Sering dalam seminggu saya bisa ke sini dua sampai tiga kali, bagi orang luar Pekalongan seperti saya ini Megono dan Tauto memiliki bumbu yang tajam, ada semacam unsur eksotisme di dalamnya,” kata pria asal Bima, NTB, ini.

Buka Puasa

Saat bulan Puasa tiba, warung ini tidak akan beroperasi seperti biasanya. Pak Lukman memilih membuka warung mulai pukul 16.00 hingga pukul 21.00. Ia juga menyediakan sekitar 30-35 macam jajanan tambahan khusus untuk bulan Puasa, di antaranya adalah sambosa, pastel, kolak pisang, bubur sum-sum, surabi, dan wiji salak yang juga salah satu jajanaan asli Pekalongan.

Bagi mereka yang akan berbuka puasa di warung ini akan mendapatkan kurma gratis sebagai menu takjil.
READ MORE - Ini Dia, Tauto dan Nasi Megono Pekalongan

Tak Akan Lari, Lek Tau Kukejar

Lek TauDi antara sekian banyak jenis makanan yang berjejer di kawasan Pancoran, Jakarta Barat, ada satu yang lumayan menarik perhatian. Kenapa? Karena pedagangnya masih sangat tradisional, berkeliling dengan pikulan. Tapi, kalau dia datang, langsung dikerubungi pelanggannya.

Makanan yang dijual juga unik, namanya lek tau. Rasanya, tidak ada tempat permanen yang menjual makanan ini. Bahkan, pedagang keliling pun bisa dibilang tinggal tersisa Atim bin Saimin ini. Lek tau adalah bahasa Hokkian yang artinya kacang hijau. Meski Atim dan pelanggan lain bersikukuh nama itu berasal dari bahasa Betawi karena makanan ini diyakini sebagai makanan asli Betawi dari sejak sebelum kemerdekaan.

Tapi apa pun asal bahasanya, makanan yang digendong Atim saban hari sejak 1975 itu memang kacang hijau. Bedanya, ini kacang hijau yang lebih mirip wedang ronde. Pasalnya, tidak seperti (bubur) kacang hijau yang biasa Anda konsumsi, kacang hijau ini lebih encer dengan rasa jahe yang lebih kuat. Jadi lebih hangat begitu mampir di kerongkongan. Kacang hijau ini berteman dengan santan yang lebih kental, ditambah pacar cina dan onde-onde dari sagu.

Orang biasa membeli lek tau untuk dibawa pulang, atau makan di tempat. Karena ini makanan pikulan, Atim tidak punya tempat khusus untuk bersantap. Maka bersiaplah "menumpang" di pinggir warung atau di taman mungil di depan Hotel Pancoran atau di warung-warung makan yang ada di belakang gedung Gloria. Atau, ya dimakan di rumah. Risikonya, kenikmatannya bakal berkurang karena lek tau lebih nikmat dimakan saat masih panas.

Semangkuk lek tau, harganya antara Rp 2.000 dan Rp 2.500. "Pembeli boleh pilih. Ada yang minta dibanyakin onde-onde-nya atau pacar cinanya. Atau ada yang minta kacang hijaunya dibanyakin," kata Atim yang asal Tangerang ini. Rasanya? Anda tentu pernah makan bubur kacang hijau dan pernah merasakan wedang ronde. Nah, lek tau adalah paduan keduanya. Rasa manis dan jahe yang bikin hangat, pas. Rasa manisnya juga dominan manis dari gula jawa. Gurih dengan santan yang tak terlalu encer. Rasa yang unik, itu saja.

"Cuma orang-orang lama aja yang tahu makanan ini. Ini makanan asli Betawi," ujar Atim. Kisah soal "hanya" orang-orang lama yang tahu soal lek tau tampaknya klop. Ketika Warta Kota akhirnya berhasil "menangkap" Atim dan lek tau-nya, setelah dua pekan menanti, pelanggan yang biasa mengonsumsi lek tau sejak bocah dan kebetulan sedang berada di seputaran Pancoran sampai-sampai rela mengejar Atim.

"Pak, lek tau ya. Udah lama banget saya enggak makan lek tau. Bungkus dua, ya," kata Shinta, karyawati bank swasta, yang ketika tinggal di seputaran Tanah Abang tahun 1980-an biasa bertemu lek tau. Dia sah-sah saja tidak ingat siapa penjualnya. Tapi Atim yakin, pelanggannya tak lain pelanggannya sejak 1975.

Jika Anda memang sedang ingin berburu lek tau, bersiaplah dengan yang namanya penantian. Atim biasa ada di seputaran Pancoran, Jakarta Barat. Biasanya Atim muncul sekitar pukul 16.00-17.00 di depan gedung Fortuna. Dia akan melanjutkan perjalanan dan berhenti di depan Apotek Semesta (ke arah Jalan Pintu Kecil, di deretan seberang gedung Gloria) sekitar pukul 17.30. Pukul 18.00 biasanya dagangannya sudah ludes.

"Kalau pagi, dari jam 08.30 sampai sekitar jam 3 sore, saya ada di Pasar Pagi Lama, Petak Baru. Di jalan kayak gini juga (trotoar)," tandas Atim, "Kalau Sabtu sama Minggu saya lebih cepet sampai Gloria. Jam 1 juga udah sampe, kan yang kerja di Pasar Pagi sama Petak Baru banyak yang libur."

Makanan ini memang sederhana, baik dari tampilan, maupun bahan. Untuk bahan, cukup dengan kacang hijau, gula jawa, gula pasir, jahe, serta sagu untuk onde-onde dan pacar cina. Tentu tak lupa santan. Tapi di balik kesederhanaan itulah makanan ini menyimpan kenangan yang mendalam buat para penggemarnya yang sudah mengenal lek tau, barangkali, sejak nenek-kakek mereka.
READ MORE - Tak Akan Lari, Lek Tau Kukejar

Goyang Lidah ala Es Goyang dan Serabi Betawi


Es Goyang SIAPA tak ingat es goyang? Siapa tak kangen kepada es unik ini? Ya, es goyang -atau ada pula yang menyebutnya sebagai es lilin- memang bikin kangen. Disebut es lilin karena bentuknya panjang menyerupai lilin, meski sebetulnya es ini berbentuk batangan. Disebut es goyang karena proses pembuatannya memang harus digoyang-goyang.

Sayang, es zaman lampau ini sekarang tak mudah ditemukan. Jenis es ini kalah oleh serbuan es krim modern yang tak hanya memenuhi pasar swalayan, tapi juga meramaikan jalan di perumahan hingga pasar malam di lapangan besar semacam Monas.

Jika di masa lalu pedagang es goyang hanya menyediakan satu atau dua rasa. Kini pedagang menawarkan beberapa rasa plus lelehan cokelat. Ada juga pedagang yang menambah topping berupa remukan kacang tanah goreng.

Kini pembeli bisa memilih rasa cokelat, stroberi, durian, nangka, kacang hitam, kacang hijau, atau lainnya. Tentu bahan utama tetaplah santan yang kemudian dicampur dengan berbagai macam rasa tadi. Ukuran es ini pun berubah. Jika dulu bentuk es ini kotak memanjang, kini bentuknya agak sedikit mirip es krim modern. Bedanya tentu saja bahan, rasa, proses pembuatan, proses penjualan, dan pemasarannya.

Pemasaran es goyang rata-rata masih menggunakan cara kuno, yakni dari mulut ke mulut, karena penjual es ini jarang yang mangkal. Kalaupun mangkal, bisa ditebak, cari saja di sekolah-sekolah. Contohnya, pedagang es goyang yang mangkal di Sekolah Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Pedagang lain juga kebanyakan mangkal di sekolah-sekolah, pada jam sekolah. Selepas itu mereka akan berkeliling.

Sebatang es goyang bisa ditukar dengan uang Rp 1.500. Tak puas sebatang, wajar. Di lidah, rasa itu bikin penasaran. Apalagi jika sebelum membeli, konsumen melihat proses pembuatannya. Makin penasaran.

Adalah M Junaedi yang biasa berdagang es goyang di daerah Jembatan Besi, Jakarta Barat. Perjalanan panjang dilaluinya sejak tahun 1974, saat ia memulai usaha ini. Setiap hari, pukul 07.00-12.00, gerobaknya parkir di depan Sekolah Setia Kawan, Jembatan Besi. ”Abis itu keliling,” ujar Junaedi.

Serabi betawi
Penganan zaman lampau lainnya adalah serabi. Kebalikan dari es yang dingin, penganan ringan ini lebih enak disajikan panas-panas. Serabi bisa disebut camilan, tapi bisa juga disebut sebagai makanan untuk sarapan.

Makanan ini terbuat dari tepung beras campur santan, dibakar pada tempat yang terbuat dari tanah liat, berbentuk menyerupai penggorengan namun dalam ukuran yang jauh lebih kecil, dan lebih afdol jika menggunakan arang. Setelah matang, dimakan dengan kuah gula jawa bercampur santan.

Kini ada begitu banyak jenis serabi. Tetapi serabi yang kita singgung di sini adalah serabi tradisional yang kini sungguh sulit ditemukan di Jakarta. Kata orang, serabi jenis ini merupakan serabi ala Cirebon. Biasanya, makanan ini dijual pagi hari dan tanpa diberi topping apa pun.

Warta Kota beberapa kali menunggu pedagang serabi tradisional ini di kawasan Tanah Abang. Tepatnya di Jalan Kebon Jati. Hasilnya nihil. Akhirnya Warta Kota memutuskan menengok ke Kramatjati. Persis di depan pagar RS Sukanto, pernah ada pedagang yang dimaksud. Pedagang serabi yang masih menggunakan arang. Sayangnya, kini pedagang itu memilih pulang kampung. Sebagai pengganti, ada Tomi, pedagang serabi di kawasan itu juga. Hanya saja posisinya ada sebelum RS. Meski menggunakan wajan mungil dari tanah liat untuk membakar serabi, ia menggunakan kompor, bukan arang.

Jenis serabi yang dijual pun beragam. Mengikuti selera. Ada yang diberi pisang, cokelat, bahkan oncom. Harga satu pasang serabi Rp 3.000. ”Tapi ini serabi ala betawi, gulanya encer, enggak seperti serabi jawa yang gulanya agak kental,” tegas Tomi yang berdagang serabi tiap hari. Tekstur kue serabi ini cukup padat. Campuran santannya memang tak terlalu kental, tapi kuah gula santannya pas.



READ MORE - Goyang Lidah ala Es Goyang dan Serabi Betawi

Sensasi Martabak 7 Senti di Restoran Puas

SANGAT gampang menemukan penjual martabak. Di seluruh penjuru Jakarta banyak ditemui penjual 'makanan rakyat' itu. Tapi martabak yang tebalnya mencapai 7 sentimeter? Tentu tidak mudah ditemukan. Martabak telur sensasional super tebal itu sarat dengan isian yang terdiri dari daging dan telur bebek. Hmm, sangat mengggugah selera.

Martabak itu disebut martabak lapis, dengan memakai lima butir telur bebek. Setiap adonan kulit memakai dua telur bebek lalu diberi daging cincang. Setelah matang kembali dibungkus dengan adonan martabak lagi dengan jumlah telur yang sama. Begitu juga saat pembungkusan kulit terakhir.

"Cuma di sini saja yang punya martabak seperti ini. Satu porsi bisa untuk 8 orang. Kalau dimakan sendiri saya jamin tidak habis," kata Sadik Assegaf, pemilik Restoran Puas yang menjual martabak tersebut, akhir pekan lalu.

Tetapi sebenarnya yang paling spesial di rumah makan itu adalah nasi kebuli buatan Hj Maryam Assegaf (78) yang sudah terkenal sejak tahun 1964. Awal buka di Jakarta di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat.
Kala itu di kawasan Jalan Veteran dan sekitarnya belum banyak yang membuka restoran, baru Restoran Puas, Es Ragusa, dan RM Sari Bundo. Restoran Puas di situ hanya sampai tahun 1990, lalu pindah ke kawasan Kebonjeruk, Jakarta Barat.

Menurut Sadik, bisa dikatakan ibunya, Maryam Assegaf, menjadi pelopor dalam usahanya untuk memperkenalkan dan mengomersialkan nasi kebuli ke masyarakat. Pada zaman itu nasi kebuli hanya dimakan kalangan keluarga keturunan Arab yang mengadakan acara keluarga, pernikahan, dan acara keagamaan seperti Maulid Nabi.

Resep yang dibuat ibunya, imbuh Sadik, sudah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia sehingga rasanya tidak terlalu pekat. Karena kalau sesuai dengan resep aslinya, nasi kebuli ini sangat berminyak dan mengandung banyak lemak.

Nasi berwarna kecokelatan itu wangi karena ada beberapa bumbu di dalamnya antara lain ada kapulaga, cengkih, kayu manis, serai. Sebagai pelengkap diberi taburan kismis, kenari, bawang goreng dan daging kambing goreng serta acar timun, nanas dan tomat yang dikucuri dengan kuah cabai. Seporsi harganya Rp 25.000. Bagi yang tidak suka daging kambing bisa diganti dengan daging ayam.

Uniknya lagi, daging kambing yang disajikan sama sekali tidak bau. Dagingnya pun sangat empuk. Apa rahasianya? Menurut Sadik, kambing yang dipilih haruslah yang muda dan terawat dengan baik, serta perlu direbus berkali-kali.

Bolion
Untuk minuman tersedia teh arab (mirip teh tarik), es kopyor susu dan bolion. Yang terakhir ini cukup unik, terdiri dari campuran kaldu kambing, kuning telur ayam kampung, rempah-rempah, lalu dikucuri jeruk nipis. Minuman ini dipercaya dapat menjaga stamina kaum pria. Rasanya sih mirip kaldu sop. Minuman bolion diciptakan oleh Almarhum Abdilah (ayah Sadik) yang merintis restoran tersebut. Hingga sekarang minuman itu tetap mempunyai penggemar, utamanya kaum pria. Menurut Sadik, terkadang ada pelanggannya yang datang hanya untuk minum bolion.

Bagi yang tidak mau makan yang terlalu berat, ada pilihan lain seperti roti cane, roti jala, sambosa dengan rasa daging atau keju, pastel, serta martabak kare. Martabak ini cukup unik, terbuat dari kulit martabak yang diberi telur tapi tidak dikocok, hanya diceplokkan di atasnya (seperti telur mata sapi), tanpa sayuran maupun daging. Dimakan dengan kare ayam atau kambing. Harganya Rp 20.000 per porsi.

Bagi yang belum tahu sambosa, perlu dipahami bahwa makanan itu adalah camilan dari India, mirip dengan pastel, diisi dengan daging atau keju dengan rasa bumbu yang agak spicy. Harganya Rp 3.000 (mentah)-Rp 3.250 (goreng).

Berawal dari Solo
Sadik (45) menjelaskan, cikal bakal Restoran Puas dirintis Abdilah di Solo pada tahun 1960. Saat itu Sadik belum lahir. Bahkan ayah dan ibunya pun belum bertemu. Makanan yang dijual hanya makanan solo. Tapi kala itu minuman bolion sudah diciptakan. Barulah ketika Abdilah hijrah ke Jakarta dan menikah dengan Maryam Assegaf yang keturunan Arab, masakan yang dijajakan berubah menjadi masakan Arab.

Dituturkan Sadik, Ketika sang ayah meninggal akhirnya ibunya yang melanjutkan dan membesarkan restoran itu. Semua resep berasal dari Maryam. Dan yang mengagumkan, beberapa staf yang dulu pernah ikut Abdilah tetap bekerja hingga sekarang. Sampai anak-anak mereka pun ikut bekerja di restoran itu.

Sobari (50) yang bertindak sebagai kasir di restoran itu sudah 35 tahun bekerja. Sebelumnya dia hanya menjadi sopir saat Abdilah masih hidup. Apa yang membuat betah? "Kerja di sini sistemnya kekeluargaan dan pengertian," ujarnya.

Dari empat anak Maryam, hanya Sadik (anak pertama) yang meneruskan usaha rumah makan. Urusan bumbu memang tidak terlalu dikuasainya, masih dibantu sang istri yang juga ikut andil. Bahan yang dipakai ternyata 30 persen masih diimpor dari Arab Saudi.

Peminat martabak cukup banyak. Dalam sehari, cabang Jalan Condet Raya saja bisa menghabiskan 250 butir telur bebek atau sekitar 60-70 porsi martabak. Namun diakui hal ini jauh berbeda dengan tahun 1990. Ketika itu sehari mereka bisa membuat hingga 150 porsi.

Restoran Puas
* Jalan Condet Raya No 78 (dekat Masjid As-Sholihin), Jakarta Timur
* Jalan Jati Waringin No 4 (depan Waringin Permai), Jakarta Timur
* Jalan Lapangan Bola No 5 (belakang RCTI), Kebon Jeruk
READ MORE - Sensasi Martabak 7 Senti di Restoran Puas