Biofuel Kelapa Sawit Tak Banyak Memberi Manfaat untuk Rakyat

Pengembangan energi alternatif biofuel yang ramah lingkungan dari bahan nabati minyak kelapa sawit dinilai tidak memberikan banyak manfaat kepada rakyat kecil. Pasalnya, hasil produk bahan bakar nabati tersebut lebih memenuhi kepentingan pengusaha, pemilik modal, dan negara-negara maju.

Hal itu terungkap dalam diskusi publik bertema ”Membedah Program Biofuel sebagai Jalan Baru Energi Alternatif” yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sumatera Selatan, Rabu (23/12/2009), di Palembang.

Hadir sebagai narasumber, di antaranya, pengajar pertanian-bioteknologi dan ioteknologi yang juga Tim Penyusun Lumbung Pangan Provinsi Sumsel, Faizal Daud; Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, dan Ketua Gerakan Perjuangan Hak Tanah Adat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Edi Saputra.

Ahmad Safrudin menyatakan, dalam pengusahaan lahan untuk kepentingan biofuel di wilayah Provinsi Sumatera Selatan selayaknya lebih mempertimbangkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pemilik modal atau pengusaha. Pasalnya, dalam pengembangan energi bahan bakar nabati yang ramah lingkungan, tak terlepas dari kepentingan kapitalis global dari negara maju.

”Negara-negara maju harus pula menurunkan karbon rumah-rumah kaca dan oke saja kalau biofuel mau dikembangkan asalkan dengan pilihan yang tepat dan tidak salah sasaran,” kata Safrudin.

Dia mengatakan, jika saja pemerintah ataupun pengusaha pemilik modal dan kapitalis-kapitalis mau mengembangkan biofuel dari bahan nabati, minyak kelapa sawit, sepatutnya pula mempertimbangkan asas manfaat dan fungsi lahan. Pasalnya, amat sangat disayangkan jika menggunakan areal tanah rakyat ataupun lahan gambut.

”Untuk pengembangan biofuel, silakan saja menggunakan lahan kosong ataupun lahan kritis dan tidak menggusur tanah rakyat dan tidak merusak lahan gambut,” katanya.

Safrudin mempertanyakan, kenapa Pemerintah Provinsi Sumsel tidak mengembangkan energi gas bumi yang melimpah di wilayah ini, malah justru mengembangkan biofuel dari minyak kelapa sawit.

Edi Saputra mengatakan, pihaknya akan menerima pembangunan proyek biofuel jika memang untuk kepentingan rakyat. Selama ini yang terjadi malahan banyak pengusaha yang merampas tanah rakyat. ”Kalau dahulu sebelum ada perusahaan perkebunan swasta, kami hidup damai. Sekarang, satu, sering berkonflik,” ujarnya.
READ MORE - Biofuel Kelapa Sawit Tak Banyak Memberi Manfaat untuk Rakyat

Kepentingan Kapitalis Beri Andil Kerusakan Hutan


Kepentingan kapitalis memiliki andil terbesar dalam kerusakan hutan di wilayah Sumatera Selatan, selain keterlibatan masyarakat dalam kasus-kasus illegal logging yang disokong oleh cukong-cukong pemilik modal. Akibatnya, dari setiap 3,5 hektar areal hutan, hanya sekitar 1 hektar yang kondisinya masih terjaga dengan baik.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengubah paradigma dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang selama ini cenderung mengatasnamakan kepentingan ekonomi semata.

”Perbaikan hutan melalui gerakan reboisasi hutan dan lahan, ataupun gerakan menanam satu orang satu pohon, tidak efektif dan tidak sebanding dengan daya rusak hutan yang dihasilkan oleh kapitalis pemilik modal yang mengantongi izin pengelolaan HTI (hutan tanaman industri),” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan Anwar Sadat, Rabu (23/12/2009), di Palembang.

Menurut Anwar, degradasi hutan begitu cepat terjadi di wilayah Sumatera Selatan dan realitas tersebut terlihat dari luasan areal hutan yang mencapai 3,5 hektar, sekarang ini tinggal seluas 1 hektar yang masih terbaik. Itu pun berada di kawasan Taman Nasional Sembilang Banyuasin dan Taman Nasional Kerinci Seblat Musi Rawas.

”Di luar itu, semua sudah mengalami kepunahan. Siapa aktor dan pelaku perusak hutan. Ada sumbangan rakyat dalam illegal logging yang disokong oleh kapitalis pemilik modal. Akan tetapi, sumbangsih mereka atas kerusakan hutan sedikit,” kata Anwar.

Dia menambahkan, sumbangsih terbesar dalam kerusakan hutan di wilayah Sumatera Selatan terjadi karena perusahaan-perusahaan HTI.

”Pihak perusahaan sudah ada yang mengajukan izin ke Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan,” katanya.

Anwar mengungkapkan, lokasi areal pengusahaan hutan tanaman industri tersebut berada di dalam kawasan hutan produksi sehingga berdampak pada kondisi hutan yang kian buruk. ”Kondisi hutan produksi yang semula baik karena di dalamnya ada hutan gambut, sekarang ini sangat buruk,” katanya.

Kendati pihak pengusaha hutan tanaman industri memiliki kewajiban dan tanggung jawab perbaikan, kata Anwar, praktik riil yang dilakukan oleh perusahaan ataupun pemerintah tidak sepadan dengan kerusakan hutan yang ditimbulkannya.

Kerusakan hutan di wilayah Sumatera Selatan, menurut Anwar, terjadi di Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi rawas, Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Pagar Alam, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.
READ MORE - Kepentingan Kapitalis Beri Andil Kerusakan Hutan

Hutan di Jambi Terancam Sawit


Perluasan lahan kebun-kebun sawit yang tidak terkontrol menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan di Provinsi Jambi. Pangkal permasalahannya adalah karena Pemerintah Daerah Jambi tidak memiliki kebijakan tata kelola kawasan hutan yang tepat.

"Satu sisi sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati pengganti minyak fosil. Namun, dalam kenyataannya, perluasan lahan sawit yang besar-besaran malah merusak lingkungan."

Menurut Rukayah Rofiq dari Yayasan Setara, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sawit, tidak sedikit hutan yang menjadi korban perluasan lahan sawit, baik oleh masyarakat maupun swasta. Padahal, beralihnya hutan menjadi kebun sawit akan berdampak pada kerusakan lingkungan, yang secara tak langsung akan berdampak terhadap perubahan iklim global.

”Satu sisi sawit bisa dijadikan bahan bakar nabati pengganti minyak fosil. Namun, dalam kenyataannya, perluasan lahan sawit yang besar-besaran malah merusak lingkungan. Baik akibat hutan yang dirambah jadi kebun sawit, maupun karena dampak penggunaan pupuk dan pestisidanya,” kata Rukhayah seusai Workshop Kesiapan Lokal Menghadapi Perubahan Iklim, Rabu (23/12/2009), di Hotel Ratu, Jambi.

Bukan hanya hutan yang dirambah, lahan gambut dan lahan sawah pun menjadi sasaran warga untuk ditanami sawit. Di Jambi, luas kebun sawit kini hampir mencapai 500.000 hektar, atau meningkat 21 persen dari luas kebun sawit pada tahun 2005, berkisar 403.467 hektar. Luasan lahan itu belum termasuk kebun-kebun rakyat skala kecil yang belum terdata. Sementara itu, secara nasional, dalam lima tahun terakhir, luas lahan sawit nasional meningkat dari 6 juta hektar menjadi 7,4 juta hektar pada tahun 2009.

Kepala Bagian Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Dinas Kehutanan Jambi Sri Kusumawati mengakui, kegiatan produktif manusia, salah satunya merambah hutan menjadi kebun sawit, merupakan faktor penyebab lahan hutan menjadi kritis. Seperti di Kabupaten Bangko, ada sebuah desa di dalam taman hutan rakyat yang menanam sawit di area hutan tersebut.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jambi, dari luas kawasan hutan Jambi 2,179 juta hektar, seluas 1,121 juta hektar kondisinya kritis. Luas lahan yang kritis di dalam kawasan hutan mencapai 971.000 hektar dan yang di sekitar hutan mencapai 151.000 hektar. ”Angka pastinya berapa kawasan hutan yang rusak akibat dirambah untuk dijadikan kebun sawit, kami belum punya,” tutur Sri.

Menurut Manajer Regional Sumatera Community Alliance for Pulp Paper Advocacy (CAPPA) Umi Syamsiatun, pada kesempatan yang sama, konversi hutan menjadi kebun sawit terjadi karena pemerintah daerah, baik Provinsi Jambi maupun kabupaten-kabupatennya, tidak membuat peraturan dan kebijakan tata kelola kawasan hutan yang benar. Selain itu, pemda pun kurang mengakomodasi hak warganya. (THT)

READ MORE - Hutan di Jambi Terancam Sawit