Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Jujur yang Penasaran

Kau tahu?
Aku terus menunggu di bangku bandara itu, berharap ending film picisan menjelma pada kisahku, kisah kita. Berharap kau tak jadi terbang meninggalkan aku termangu di sini. Sendiri dan beku..
Ahh, kalau aku bilang begini di hadapanmu, pasti kau bilang aku terlalu mendramatisir perasaan. Kebanyakan nonton sinetron yang berlabel angka di belakang judulnya.
Kau memang sinis dan kejam dalam urusan perasaan. Terutama perasaanku padamu.
Kau mempersetankan tiap kata pujangga yang kubilang indah.
Kau tertawakan tiap kisah cinta yang kubilang sedih. Kau adalah manusia paling tak romantis, sementara aku ratu melankolis.

baca kelanjutan cerita:

Entah apa mau-Nya pertemukan kita begitu rupa dalam rasa saling suka. Mungkin benar kata orang, tiap manusia mencari pelengkap dirinya pada manusia lain. Dalam hal ini aku dan kamu adalah 2 kutub magnet yang berlawanan. Tak heran tarik menarik begitu kuat.

Tapi sungguh, sebagai orang yang menomorsatukan hati, aku jalani hubungan ini dengan makan hati. Kau adalah kebalikan semua pangeran-pangeran dalam buku dongengan koleksiku. Kenapa bertahan? Begitu teman-temanku bertanya kebingungan jika aku mengadu-terisak tapi tetap menolak untuk putus.
Akh, haruskah kujelaskan, kalau kau adalah makhluk paling jujur yang pernah kutemui seumur hidup. Tidak seperti bapak-ibuku yang bilang aku anak pintar padahal matematikaku di raport nyata-nyata berangka merah. Tidak seperti guru ngajiku yang bilang bohong tak apa untuk kebaikan. Tidak, tidak ada satu orang pun yang kuketahui tak pernah bohong selain kau.
Buatmu, jika kejujuran adalah masam, maka masamlah itu, kalau pahit maka pahitlah, tak kurang juga tak lebih. Jadi bayangkan ketika kau mengatakan suka padaku, itu adalah kejujuran manis yang jarang keluar dari mulutmu yang sinis. Jangan salahkan aku kalau hati-hati itu dengan lahap kumakan. Buatku harga kejujuran tak bisa disandingkan dengan perasaan yang tertekan.

Aku pernah.. ngg, maaf kukoreksi, aku SERING berada pada situasi manis yang imitasi. Wajah manis yang lebih sering membuatku menangis ini seperti kutukan. Di bangku SMA surat cinta dalam buku membuatku kaku. Rasa melankolisku terbang, lalu jatuh begitu saja pada pembuat surat indah. Rangkaian kata-kata indahnya membuatku jengah-terperangah saat nyata-nyata yang diharapnya cuma keperawananku.

Ah, wajah dan tubuhku yang kata orang-orang rupawan agaknya memang rawan dengan ketakjujuran laki-laki. Masa kuliah, aku tak terlalu menanggapi ketika puisi-puisi mengisi inbox-ku. Tapi lelaki yang satu ini tak hanya berkata-kata indah. Lelakunya juga indah serta rajin ibadah. Alhasil, untuk keduakalinya aku pun jatuh. Masa pacaran tak ada tanda-tanda dia mengincar keperawananku, menjamah pun tidak. Bukan muhrim katanya. Betapa aku tak melayang dengan kata indah yang sesuai dengan perilaku macam begini?
Tapi rupanya lelaki yang sempurna memang tak ada. Dia memang tak menciumku dengan bibir, tapi dengan kepalan tangan yang tak sungkan mampir, tak hanya buat matang biru, kadang juga pecah bibir. Hanya karena aku terlalu lama di mall, berbicara dengan teman kampusku yang lelaki, atau bahkan sekedar berhaha hihi di telpon.
Jika kalian ributkan KDRT yang terjadi pada masa perkawinan, maka aku sudah mengalaminya bahkan dalam masa pacaran. Dengan sedikit ironis, aku harus mensyukuri keadaan itu dan memuja filosofi orang jawa, filosofi untung. Ya, untung belum terlanjur menikah. Betapa tidak, horor saat berpasangan ternyata berbanding lurus dengan saat sudah tak jadi pasangan. Imel, sms, telpon, bahkan paket yang bernada mengancam kerap mampir setelah dia kuputuskan.
Hhh.. bahkan dia lebih mengerikan saat kutinggalkan. Posesif yang terlalu membuatnya seperti kisah-kisah psikopat dalam film. Butuh campur tangan polisi untuk membuatnya sadar bahwa aku tak mau lagi diatur, tak mau lagi kepala dibentur-bentur.

Lalu yang ke-3. Ahh, berapa banyak persedian kesabaran kalian untuk membaca curhatanku ini? Kusingkat sajalah, karena ceritaku nanti bisa kalian lihat kurang-lebihnya dalam sinetron pada jam prime time. Aku seperti kena kutuk atas hobi beratku dengan cerita-cerita melankolis. Tak hanya dalam fiksi, aku juga harus mengalaminya dalam nyata. Bukan, aku bukan wanita bodoh yang tak bisa membaca gelagat. Tapi merekalah, para lelaki itulah yang terlalu pintar berakrobat kata dan rasa. Sederhananya mereka pintar sekali mengatakan padahal tak merasakan, menyembunyikan busuk niatan musang dalam bulu-bulu ayam.
Nah setelah mengalami 6 kebohongan dalam 6 hubungan berturut-turut, jangan salahkan aku kalau takut pada indah kata-kata, manis madu mulut. Sudah kubilang kan tadi, aku bukan wanita bodoh.
Jadi maaf saja, puisi indah, rayuan gombal, menyanyi sambil bergitar; tak lagi buatku bergetar melainkan ketakutan gemetar. Ternyata selain guru yang berharga, pengalaman juga memelihara ketakutan. Ketakutan yang makin membesar seiring kegagalan hubungan-hubunganku.

Ketakutan yang pecah begitu saja seperti balon hijau, yang membuat hatiku sangat kacau, saat aku bertemu kau. Kamu dengan senyum kakumu, dengan otak yang besar sebelah di bagian kiri, dengan tatapan dingin yang menatapku tanpa ingin.
”Puspa..”
”Genta..”
Ah jabat tanganmu pun erat tanpa ada senyum hangat.
Kalau saja tak mengingat kita ada di divisi yang sama di kantor, mana mungkin aku mau bersusah payah berbasa-basi mengajak berkenalan. Padahal kau yang anak baru. Kau tahu? Kau memang sungguh keterlaluan dalam soal tata krama pergaulan.
Jadi kepintaranmu yang memecahkan segala soal di divisi kita dengan dingin penuh logika dan tanpa perasaan (kau menyebutnya efektif-aku menyebutnya sadis), membuatmu melampauiku, dari rekan berubah jadi atasan.
Ketampananmu yang khas laki-laki. Kemapananmu dan segala ke-an mu yang lain membuat wanita di kantor kami maupun kantor klien, antri mengajak kencan tapi gentamu tak juga berbunyi, bergerak pun tidak. Jika tak atas nama pekerjaan takkan ada pertemuan, jadi jangan harap ada rapat yang berubah jadi rapet. So, di situasi kami semua sudah menganggap kau frigid bahkan gay, kau mengajakku bertemu bahkan bertamu ke rumahku dan..
”Puspa, aku suka kau, ada pertanyaan?..”
Entah darimana kau dapat ide ’menembak’ cewek dengan cara sedingin itu? Yang kuyakin hanyalah kejujuran ucapanmu dan itu lebih dari cukup untuk membuatku mengangguk..
”Ngg.. oke, jadi apa pertanyaanmu?..”
ADUH! Iya dia kan tak bertanya maukah aku jadi pacarmu.. jadi anggukanku menuntut jawaban berupa pertanyaan. Yah jadilah jawaban-pertanyaan yang terlintas paling jujur di kepalaku saat itu.
”Kenapa?..”
Sungguh mati. Baru kali itu kulihat kau menunjukkan ekpresi selain dingin, ekspresi yang menandakan bahwa kau manusia biasa yang punya rasa. Merah dadu pada tulang rahangmu membuatku gemas.
”Jujur, aku tak tahu.. aku hanya ingin kita lebih dari sekedar partner kerja..”
”Maksud Bapak, bawahan dan atasan..” koreksiku.
Kau melambaikan tangan tak sabar.
”Ahh, persetanlah dengan hirarki jabatan, kau mau atau tidak itu yang jauh lebih penting dan plis panggil saja namaku..”
Ahhh, tahukah kau. Aku seperti memergoki seorang anak lelaki yang mimpi basah untuk pertama kalinya. Sifat defensifmu malah membuatku makin yakin akan kejujuran kata-katamu, kejujuran yang lugas kalau tak mau dibilang lugu.

Jadi tolong katakan. Kenapa aku kini ada di sini? Terdampar di bangku-bangku bisu bandara?
”Kenapa bisa hamil?”
”Wahai Genta, apakah otak pintarmu tak termasuk soal seks?..”
”Bukan begitu, maksudku kau tahu kan aku dikirim perusahaan ke Inggris..”
”Apa hubungannya dengan kehamilanku? Kau toh cuma dikirim 1 bulan, bahkan waktu kaupulang pun perutku belum akan membesar..”
”Itu masalahnya, Pak Pandu memintaku belajar banyak dari pusat dan itu tak cukup satu bulan.”
Ahhh mau berapa bulan pun, kutangkap kata-katamu adalah bualan. Kebohongan pertamamu yang berani-beraninya kauucapkan di depan calon anak kita..

Jadi tolong jangan kau tanya-tanya kenapa aku terus saja ada di sini bersama anak kita, meski jasad kami sudah kaukubur di tanah gembur dekat dapur. Kebohongan mungkin bisa kaukubur, tapi kejujuran tetap akan menggerayangimu sayang.
Mau bukti?

Selesai
READ MORE - Jujur yang Penasaran

A GIRL IN THE RAIN

Aku pertama bertemu dirinya di suatu september kira-kira setengah tahun yang lalu. Seorang gadis yang berteduh di bawah guyuran hujan sore hari. Aku berada di sana, tergesa-gesa masuk ke sebuah kafe. Melewatinya masuk ke sebuah kafe. Aku kemudian duduk di dekat jendela mengamatinya bertanya-tanya mengapa sampai malaikat berteduh dari hujan.

baca kelanjutan cerita:

Aku sadar aku jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Dadaku bergemuruh dan aku begitu malu. Tidak mungkin aku menyapanya, memang apa yang akan kukatakan padanya. Dia hanya seorang gadis di jalan. Mana mungkin aku akan berkata “aku jatuh cinta pada pandangan pertama”. Tidak mungkin saat itu aku menyapanya, tidak dengan jantungku berdebar dan wajahku memerah.

Jadi aku memesan Cappucino, pahit rasanya. Tapi aku tak peduli, memandanginya dari balik jendela. Dan terus memandanginya hingga habis waktu dia pergi. Hujan telah habis dan dia pergi.

Aku juga pergi. Pergi mengabaikannya, aku pikir beberapa jam pasti aku akan melupakannya. Tapi ternyata aku salah. Bayang-bayang gadis itu menghantuiku. Aku mencarinya tanpa sengaja di sudut yang sama ketika aku melewati jalan itu. Aku bahkan memimpikan pertemuanku dengannya. Aku bahkan sering menghampiri cafe tanpa alasan dan duduk di sekitar waktu itu di kursi itu memandangi tempat itu memesan Cappuchino yang sama.

Kupikir aku gila. Memang aku gila.

Waktu demi waktu berlalu. Memang aku semakin lama semakin melupakannya, tapi tidak begitu saja. Sampai setengah tahun aku masih mengunjungi Kafe itu. Dulu aku memang sering ke sana, tapi semakin lama semakin jarang.

Aku putus dengan pacarku yang lama. Pacaran lagi putus lagi, Kemudian aku jadian lagi dengan seorang gadis kenalan temanku. Seorang mahasiswi, kami putus satu bulan kemudian. Kejadian itu tiga minggu yang lalu. Mereka bilang bahwa aku tidak memperhatikan mereka, tapi ada juga masalah masalah lain. Intinya, aku sebenarnya memang tidak begitu menyukai mereka.

Yang paling aku ingat adalah mereka berdua pernah menanyakan pertanyaan yang sama. Di sini, di kafe ini. Aku memandangi pojok jalan itu, kemudian mereka bertanya, mencari siapa. Aku berkata. Tak ada apa-apa. Dan percakapan berjalan lagi. Bumi kembali berputar dan terus berputar. Kami berkencan dan kemudian putus.

Aku sering menanyakan diriku apa yang akan kukatakan jika bertemu dirinya. Aku bisa bertanya siapakah dirinya? Apakah dia manusia atau peri? Apakah dia hanya imajinasiku? Apakah dia ada? Dimanakah rumahnya? Apakah dia percaya cinta? Bagaimanakah dunia dipandang dari matanya? Bodoh, tidak mungkin aku bisa menanyakan pertanyaan itu.

Aku tertawa sendiri di kafe itu. Terkekeh kecil seperti orang gila. Kupikir benar kata orang, cinta itu memiliki struktur yang sama dengan kegilaan.

Saat itu hujan, dan seorang gadis lewat di depan kaca jendela besar. Gadis itu, berjalan perlahan. Waktu berjalan perlahan. Sangat perlahan.

Aku menemukannya, aku menemukannya, ini takdir. Aku akan.

Apa?

Kakiku tidak bisa digerakkan. Mulutku kaku. Ayo diriku. Inilah saat yang kau tunggu-tunggu. Ayo bergerak. Ayo. Tapi aku tidak bergerak. Mencengkram lututku bahkan membiarkan dia pergi. Aku memaksa diriku, aku ingin berteriak tunggu. Tapi tidak bisa, tapi tidak boleh, tapi tidak semestinya. Aku hanya diam.

Diam beku. Takut.

Aku membiarkan seorang lelaki menyambut dirinya. Hatiku remuk secara mendadak. Semacam remuk disebabkan oleh bom, terlalu cepat sehingga aku tak sempat merasakannya. Aku tidak merasa sedih, aku tidak merasakan apapun. Tidak bahkan rasa hampa. Aku menghirup kopi lagi seakan tidak ada apa-apa dan memang benar tidak terjadi apa-apa. Dunia masih berputar seperti biasa.

Bumi masih berputar seperti biasa tapi entah kenapa aku berharap dia hancur saja beserta semua orang yang menghuninya.

“Pelayan” kataku.

“iya pak” dia mendekat padaku.

“pesan satu lagi” kataku.

Dan dia membawakan satu lagi. Dan satu lagi. Dan...

dia menolak untuk memberikannya.

“tapi anda sudah minum” katanya.

“minum berapa terserah, ini kafe-kan, kau pikir aku tak sanggup bayar. Lihat ini uangku.” aku melempar seratusribuan ke wajahnya.

Manajernya datang dengan wajah kesal. Dia mengajak berkelahi,akan kau layani. Aku harap dia kuat. Aku harap dia bisa memberikan perlawanan yang bagus. Sang pelayan wanita menghalanginya. Aku tidak terima, dia sudah menghinaku.

Aku terjatuh tiba-tiba. Jantungku terasa sakit. Yang terakhir aku ingat adalah sirine ambulan yang membawaku pergi.

Aku bangun dengan menyadari atap putih dan bau steril rumahsakit. Aku teryata belum mati. Syukurlah, sangat tidak keren mati karena overdosis kafein. Pemilik kafe yang menyelamatkanku, dia mahasiswa kedokteran. Jangan tanya padaku bagaimana bisa.

Yang pasti aku masih hidup, dan yang aku tahu sekarang adalah semuanya percuma. Jika saja aku bertemu dengan dirinya seribu kali aku tak akan mampu mengatakan apapun. Aku terbaring kaku sering tidak sadar di tempat tidur. Kondisiku membaik dengan sangat lambat, mungkin karena diriku memang tidak niat sembuh. Tapi akhirnya aku membaik juga.

Pikiran lain di kepalaku adalah bahwa aku pasti akan diusir dari kafe itu. Pasti.

Untunglah, aku tak akan ke kafe itu lagi. Lagipula percuma saja aku bertemu dengan gadis itu lagi. Satu bulan lagi berlalu dan aku dapat reputasi buruk sebagai preman kafein. Teman-temanku menghiburku. Aku pernah berniat menceritakan cerita ini kepada temanku tapi mereka pasti hanya menertawaiku.

Di kafe lain yang baru buka, di dekat jendela. Aku menulis di laptopku sambil minum Espresso setelah kapok dengan kappucino. Menulis begitu panjang ketika hujan tiba-tiba turun dan seorang gadis merunduk berteduh di pinggir jalan. Gadis itu berpakaian kuning. Aku mengalihkan pandangan, mendengus. Gadis yang sangat menarik, aku langsung tahu aku menyukainya. Aku langsung tahu bahwa aku sangat ingin mendekat dengannya. Aku hanya mendengus. Lalu tiba-tiba sebuah ide menggelenyar di kepalaku. Aku tertawa.

Aku berlari keluar kafe dan menghampiri gadis itu dan berkata.

“Godzilla. Aku bertaruh, Godzilla akan langsung menghancurkan Ultraman”

Gadis itu mengkerutkan kening mengerutkan kening melihatku cengar-cengir. Dia pasti menganggapku semacam orang aneh. Dia pasti lari dengan wajah takut atau sebal tapi perkiraanku salah, dia malah berpikir serius.

“Entahlah, godzilla memang besar, tapi Ultraman mungkin bisa menghadapinya” kata gadis itu.

Aku-nya yang malah melongo.

“Ada apa? Aku memang pernah melihatnya waktu masih kecil. Kakakku, suka mengkoleksi hal-hal seperti itu dan sejenisnya. Dan dia sering berdiskusi dengan temannya tentang hal-hal yang.. Eh, kenapa kau. Kau mau mengerjaiku ya? ” dia nampak mundur bersiap dengan kuda-kuda ala karateka mungkin itu gerakan refleknya.

“Tidak. Tidak salah sih.. Tapi ada alasannya. Biar aku cerita oke”

Gadis itu menyipitkan mata. Tapi dia nampaknya mau mendengarkan.

Sementara aku mulai bercerita di pinggir trotoar di sebelah jalan aku merasa gadis yang berteduh di hujan dan kekasihnya pergi melewati kami sambil bergandengan tangan. Tapi mungkin cuma perasaanku.

“Kira-kira setengah tahun yang lalu... ”

Selesai
READ MORE - A GIRL IN THE RAIN

Harmoni Pagi

Untuk kesekian kali Calia merasakan sakit di jantungnya. Afra tak pernah menemuinya lagi di kafe ini, bahkan Afra tak pernah tampak walau sekedar meminum teh hangat atau memesan sandwich sebagai sarapan pagi.

Bodohnya, seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, Calia tetap datang lebih pagi ke kantor agar bisa sarapan di kafe ini untuk menunggu Afra. Padahal mereka tidak pernah berjanji untuk sarapan di sini lagi. Dan pagi ini Calia kembali mengeja rasa sakitnya, mencoba menikmatinya tanpa tahu kapan dia bisa berhenti menunggu Afra di kafe ini.

baca kelanjutan cerita:

“Mana sini?” Tagih Calia ketika beberapa waktu lalu tanpa sengaja mereka bertemu di suatu tempat. Di mana keduanya selalu berbincang tentang hari kemarin, tentang kegiatan-kegiatan yang sedang mereka jalani masing-masing, tentang keluh kesah, atau tentang perbincangan ringan seperti pembahasan tentang game. Bersama Afra Calia tidak pernah kehilangan topik bahasan.

“Apaan?” Afra mengerutkan kening tidak mengerti.

Jujur Calia suka sekali ekspresinya. Diam-diam ada secuil rasa lega karena kerinduan ini bisa dihapuskan kembali.

“Traktir dong, kamu kan dapet tip kemarin.” Kata Calia mengingatkan. Kemarin Afra tanpa sengaja jadi guide untuk teman bulenya yang liburan ke Jakarta selama seminggu.

“Ehmm nanti ya. Aku masih pegel-pegel nih. Gileee… semingguan istirahat nggak panjang.” Keluh Afra.

Calia tertawa. “Tapi lumayan kan jalan-jalan sama bule. Kayaknya cantik deh tuh bule sampe kamu betah.” Sindir Calia, sebenarnya diam-diam dia cemburu tanpa Afra tahu.

Dia tertawa hambar. “Cantik mah relatif, Neng. Aku malah lebih demen cewek pribumi. Justru jalan sama orang bule kayak jalan sama alien. Merasa asing gitu.” Ungkap Afra.

Calia cuma manggut-manggut. Ada perasaan lega dalam hatinya. Sesaat dia menyadari cinta ini begitu nyata untuk Afra dan Calia tidak tahu persis kapan cinta ini berawal. “Terus kapan kamu traktirin aku?”

“Kapan yaa…?” Afra menerawang, berpikir sejenak, “nantilah.” Selalu saja begitu, Afra tidak memberikan jawaban yang pasti. Mungkin sibuk. Calia berusaha mengerti karena dia adalah orang yang malas menuntut dan Calia cukup tahu diri bahwa di mata Afra dirinya hanyalah seorang adik.

“Tapi kamu janji kan mau ajak aku jalan.” Untuk kesekian kali Calia menagih janjinya akhir tahun lalu yang sampai sekarang belum terlaksana. “Aku pengen ke kota tua sama kamu.” Lirih Calia

“Ehmm nantilah…” Tiba-tiba suaranya kepotong dengan bunyi ponsel yang selalu dia simpan di saku jaketnya. “Sebentar.” Afra mohon diri beberapa langkah dari Calia.

Beberapa saat kemudian, setelah Afra mematikan ponselnya, dia menghampiri Calia lalu “Pulang yuk, udah malam. Lagian aku masih harus ke tempat teman sekarang juga.” Dia menggandeng tangan Calia namun Calia buru-buru menahannya.

“Kamu janji?” Pinta Calia dengan pandangan penuh harap dan entah kenapa detik itu juga rasanya dia ingin menangis. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa dia jadi cengeng seperti ini.

“Aku janji.” Afra mengangguk, meyakinkannya.

Calia menyeruput cappucino hangat perlahan sembari meyakinkan diri bahwa suatu saat jika Afra memiliki waktu senggang, dia akan menepati janjinya. Bukankah selama empat tahun dekat dengannya, Afra selalu menepati janjinya. Cappucino hangat itu, dia jadi teringat kalau Afra tidak suka minum kopi atau apapun minuman yang bercampur dengan kopi.

“Udah bosen sarapan di rumah ya, Cal?” Tiba-tiba bahunya ditepuk oleh Ravi. Teman sekantornya. Ravi mengambil posisi duduk berhadapan dengannya lalu dia menaruh tas kecil dan kamera di atas meja.

Calia cuma tersenyum hambar.

“Padahal tadi aku numpang sarapan di rumah kamu loh. Sekalian jemput kamu, kita kan ada tugas ngeliput bareng, Cal. Eh.. ternyata kamu udah berangkat duluan.”

Calia tidak pernah lupa dengan tugas kantor. Kemarin dia sudah melihat agendanya tapi tetap saja tak ada semangat jika dia belum menemukan Afra. Profesional tanpa semangat. Mungkin kata itu lebih tepat disandang pada dirinya.

“Sori.” Hanya kata itu yang terucap dari bibir Calia.

“Masih nunggu Afra lagi.”

Calia mengangguk pelan. “Alfra kemana, ya?”Gumam Calia.

Ravi mengangkat kedua bahunya. “Neng, ada aku kok malah nyari Afra. Kamu kan tahu dan dunia pun mengakuinya kalo aku lebih tampan dari Afra. Lebih perhatian. Lebih….”

“Cabut yuk.” Potong Calia.

* * *

Gadis itu sudah pergi dan lagi-lagi gadis itu mengawali pagi dengan wajah mendung. Rasanya sakit sekali menatap wajah mendung gadis itu. Harusnya cinta tidak seperti ini, harusnya cinta membuat bahagia orang yang dicintai. Gadis itu membutuhkan dirinya sebagai penghasil senyum tulus di pagi hari.

Gadis itu punya mimpi yang sama seperti dirinya. Mimpi ke kota tua dan menikmati keromantisan Jakarta tempo dulu. Mimpi duduk di pinggiran jalan tol berdua hanya untuk sekedar memandang mobil-mobil ysng berjalan dengan kencang sembari diam atau saling bercerita. Mimpi menyatukan secangkir teh manis hangat dengan secangkir kopi susu setiap pagi. Dan mimpi melewatkan masa tua bersama.

Sayang, kini mimpi-mimpi mereka sudah terlambat untuk disatukan. Terlalu rumit untuk mempersatukan dirinya dengan gadis itu. Menjauh dari gadis itu adalah keputusan yang terbaik. Dia buru-buru membung jauh mimpi-mimpinya.

* * *

Calia memilih lembur malam ini, padahal deadline telah usai dan pekerjaannya sekarang bisa diselesaikan besok. Barusan dia iseng ke ruangan Afra, ternyata tanpa sengaja dia membaca sebuah agenda bahwa Afra malam ini akan lembur. Itulah alasan utamanya mengapa dia belum pulang. Dia ingin ketemu Afra, sekedar menyapanya atau menyediakan mie goreng bersama dengan teh manis hangat sebagai makan malam untuk Afra.

Sudah jam delapan malam, pasti Afra sudah ada di ruangannya. Calia tersenyum senang sambil membawa baki berisi semangkuk mie goreng dan secangkir teh hangat untuk Afra. Namun langkah kakinya mendadak terhenti di depan pintu ruangan tersebut. Ada Ravi rupanya. Mereka sedang berbicara.

“Kenapa kamu terus sembunyi dan menghindar dari Calia?” Tanya Ravi pada Afra. Calia semakin penasaran dan memasang pendengarannya lekat-lekat. Ternyata mereka sedang membicarakan dirinya. Jantung Calia berderbar, “Dia nungguin kamu terus, Fra.” Kata Ravi.

Ada helaan napas berat. “Karena saya tahu dia memiliki harapan sama saya.” Afra menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Seperti menelan suatu persoalan yang berat. Dia menerawang, menatap langit-langit.

“Dia memang berharap sama kamu tapi saya yakin dia hanya butuh dimengerti bukan dijauhi seperti ini. Dia butuh kamu tetap ada sama dia walau pun kamu nggak cinta sama dia.” Ravi berusaha memberi nasehat.

Diam-diam Calia lega. Memang benar apa yang dikatakan Ravi, dia hanya butuh dimengerti.

“Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya, Vi!” Ungkapan Afra yang tegas tadi membuat Ravi dan Calia kaget. Ternyata perasaan ini tidak sepihak.

“Karena itu saya menjauh dari dia.” Lirih Afra.

“Kamu pengecut!” Hardik Ravi.

“Kalo saya pengecut saya akan mendekatinya.”

Ravi menatap tajam Afra. “Kalo kamu cinta sama dia. Kamu harus perjuangkan dia. Kamu harus bisa buat dia bahagia kalo nggak itu namanya kamu pengecut!”

“Saya nggak berhak dapetin dia, saya nggak pantes miliki dia.”

“Iyaa..iya.. tapi kenapa?”

Afra memejamkan matanya dan lagi-lagi menghisap rokok dalam-dalam. Calia semakin penasaran menanti jawaban Afra. “Saya ODHA! Saya kena HIV AIDS, Vi.”

Napas Calia mendadak terhenti. Dia merasa sesak mendengar jawaban tadi. Tangannya bergetar memegang baki tapi sekuat tenaga dia berusaha menahan baki itu agar tidak terjatuh. Tatapannya kosong dan tanpa disadari air matanya mengalir deras. Dia terisak.

Beberapa menit lamanya Calia sudah tidak bisa lagi mendengar percakapan Afra dan Ravi dan setelah tenang Calia mendengar Ravi terus-terusan memojokkan Afra sebagai laki-laki bejat, mereka perang mulut. Dia harus segera menengahi perdebatan mereka, dia pun masuk ke dalam.

“Calia?!” Mereka terkejut dengan kehadiran Calia.

* * *

Perempuan bule itu rupanya telah menularkan virus HIV AIDS dalam diri Afra. Calia sudah hapal gaya hidup macam apa yang sekarang dipilih Afra. Tetapi Calia tidak peduli, sekali cinta tetap cinta. Mencintai Afra telah membuat Calia memandang sisi baik dan buruk seorang manusia menjadi seimbang di matanya.

Di ruang kerja Afra kini mereka saling berhadapan. Berdua. Namun hanya ada keheningan semata. Mereka bergelut dengan pikiran dan emosi masing-masing.

“Aku terima kamu apa adanya, Fra.” Lirih Calia memecah keheningan.

“Terima kasih tapi tetap saja saya nggak bisa, Cal.” Tolak Afra.

“Kenapa nggak bisa. Kamu cinta kan sama aku?”

“Justru karena saya cinta sama kamu, saya nggak bisa, Cal. Mengertilah.”

“Jelaskan apa alasannya?”

Afra menghembuskan napasnya dalam-dalam lalu dikeluarkannya perlahan. “Saya ingin kamu bahagia, Cal. Okelah kamu bisa menerima saya apa adanya dan kita bisa bersatu dalam ikatan pernikahan. Tapi mereka? Orang tua kamu, keluarga besar kamu, dan semua orang yang menyayangi kamu dari sebelum saya hadir di kehidupan kamu? Apa mereka mau menerima saya apa adanya, apa mereka sanggup melihat anak perempuan satu-satunya ini harus bersanding dengan ODHA? Saya yakin tidak, Cal. Saya tahu mereka ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Bukan saya orangnya, Cal. Saya nggak bisa bikin kamu bahagia.” Pelan-pelan dan dengan pengertian Afra menjelaskannya.

“Tapi ini menyakitkan buat aku.” Calia mulai terisak.

“Sekarang mungkin sakit, saya pun juga sakit, Cal. Kita sama-sama tersakiti tapi suatu saat kamu akan mengerti. Kalau kamu memang tulus mencintai saya, pergilah. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya.”

Calia diam dan berusaha mengeja rasa sakitnya kini. Mimpi mereka adalah menyatukan secangkir kopi dengan secangkit teh manis hangat namun mereka tidak bisa bersatu. Sama seperti kopi dan teh, mereka tidak bisa disatukan dalam resep mana pun.

“Baiklah, aku pergi tapi boleh aku minta satu hal sama kamu?” Tanya Calia.

Afra mengangguk. “Apa?”

“Aku ingin kamu tobat. Hanya itu.”

* * *

Untuk kesekian kalinya Afra melihat informasi pesawat jatuh di berita pagi. Kali ini pesawat jatuh di perairan Majene Sulawesi Barat. Dia meletakkan secangkir teh manis hangat sembari mengeluhkan kondisi penerbangan sekarang. Heran, pesawat kondisinya sudah seperti metromini masih diterbangkan juga. Padahal itu menyangkut ratusan nyawa orang. Di mana hati nurani pemilik maskapai penerbangan itu? Cuma memikirkan untung saja. Hardik Afra kesal.

Tiba-tiba entah mengapa Afra ingin sekali menelepon Ravi untuk menanyakan keberadaan Calia. Aneh memang. Dia langsung mengambil ponsel yang tak jauh letaknya dari cangkir teh manis hangat tadi.

“Vi, Calia lagi ngeliput di mana?”

Setelah mengakhiri percakapan di ponsel dengan Ravi. Afra mentap layar televisi dengan lemas. Hatinya sakit sekali dan matanya nanar, baru kali ini dia menangis. Calia ada di pesawat itu.

Berpisah dengan Calia adalah keputusan yang terbaik tapi dia tidak menyangka kali ini dia benar-benar berpisah dengan Calia. Dia tidak akan pernah bisa melihat Calia lagi.

Tetapi diam-diam dia bersyukur menyandang ODHA. Tuhan akan memperpendek waktunya di dunia untuk bersatu dengan Calia di sana.

* * *

Pada pagi hari di kafe ini, Afra sudah berada di sana dengan ditemani secangkir teh manis hangat dan sandwich. Tidak dia temukan lagi Calia di sana tetapi dia merasa Calia menyertainya. Mungkin itu juga yang membuat Afra betah duduk berlama-lama di kafe ini. Hingga jam menunjukan pukul sembilan, hingga Ravi datang membawa laporan liputan kemarin lalu meminta diri sebentar kepada Ravi sebelum memulai pekerjaannya. Untuk sholat Dhuha.

Pada pagi hari di kafe ini, Afra semakin yakin bahwa mimpinya untuk menyatukan secangkir kopi dengan secangkit teh manis hangat dalam racikan yang sesuai akan segera terwujud. Tinggal menunggu waktu yang tepat saja.

Selesai
READ MORE - Harmoni Pagi

Aku Nggak Menunggu

Bodoh!! Siapa yang percaya sepuluh tahun lagi kamu bakal kembali! Orang paling bodoh di dunia pun tahu, kalau memori manusia ngga akan sesempurna itu menyimpan sebuah janji asal yang terucap oleh seorang remaja sok bisa dipercaya kayak kamu! jeritku dalam hati.

“Heh, jangan bengong gitu,dong. Aku pamit nih, kok diem aja?”
“…bodoh..,” kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“hem?” Bagus menautkan alisnya.
“Kamu pikir, aku bakal percaya? Dengan bodohnya menunggu kamu memenuhi ucapanmu barusan,” aku mengangkat wajahku dan menatapnya lurus-lurus.

baca kelanjutan cerita:

Seolah mengerti, sesungging senyum tipis tergurat di bibir Bagus. “Aku nggak minta kamu nunggu. Aku cuma bilang, jangan kaget aku dateng sepuluh tahun lagi.”

“Dan tetep jadi Bagus yang selama ini aku kenal? Mungkin saat itu kamu inget pernah ketemu aku aja enggak.” Aku berpaling dan memandang ke lantai dua gedung sekolah.

“Get real, Gus. Nggak ada orang yang bisa inget siapa dirinya dulu setelah sepuluh tahun berlalu. Kalau mau pergi, ya pergi aja. Nggak usah pake sok-sok perhatian gitu bilang bakal balik segala. Kamu nggak balik pun aku nggak masalah.” Aku tersenyum sinis. “Jangan berharap aku ada disini semisal kamu balik besok. Aku juga pasti udah bakal ada di suatu tempat, mengejar impianku. Emang cuma kamu yang punya mimpi?” tanyaku enteng.

Bagus terdiam. Ha, dia memang selalu kalah beradu argument denganku. Sejak kami pertama kenal dulu, hampir enam tahun yang lalu.
%# %# %#
Sampai sekarang aku masih menyangsikan ucapan Bagus waktu itu.
“Jangan kaget kalau besok aku dateng.”
Mudah sekali kata-kata itu terucap dari mulutnya, setelah dia membeberkan semua rencana masa depannya.
“…jadi aku sekarang ikut orang tuaku ke Darwin. Nah, nanti selulus SMA dari sana, aku bakal lebih mudah meneruskan kuliah ke Amrik. Aku bakal jadi arsitek handal, Ka. Jangan kaget kalau besok aku dateng. Em… sepuluh tahun lagi cukuplah,” ucapnya waktu itu.

Memangnya dia fikir aku bakal menunggu kedatangannya selama itu? Tentu saja nggak. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang bakal dia temui dalam kurun waktu sepuluh tahun, mana mungkin dia masih mengingat sebuah nama yang pasaran seperti namaku. Ika.

Aku ingat trik Bagus agar membuatku yakin dia akan kembali. Dia menitipkan padaku gelang hitam yang biasa melingkar di pergelangan kanannya.

“Simpen baik-baik. Suatu saat aku ambil,” katanya sambil menyodorkan gelang itu padaku.

Aku menatapnya. Mencoba membuatku merasa berdosa jika melupakanmu? Batinku. Tetap diam, aku menerima gelangnya dan bertekad tidak akan menganggap kata-katanya barusan. Begitu berpisah dengan Bagus sore itu, dengan berjinjit-jinjit aku meletakkan gelang itu di bagian atas lemari kotak kerdus makanan di tempat lik Basuki.

“Hei, Ka. Udah waktunya pulang nih. Jangan kerja mulu,” seorang teman menepuk bahuku sambil berlalu.

“Tanggung, Dis. Dikit lagi selesai, kok,” sahutku sambil kembali menekuri layar laptop di hadapanku.

Tak berapa lama kemudian, seseorang datang sambil membawa dua mug teh hangat dan menyodorkan satu ke hadapanku.

“Nih, istirahatin dulu tuh mata.”

Aku tersenyum. “Thanks, Ya,” ucapku sambil menerima mug darinya.
“Belakangan ini kamu lembur terus, Ka?” Tanya Surya sambil bersandar di meja sebelah mejaku dan menyeruput tehnya.

“Kebetulan lagi mood aja nyelesein semua cepet-cepet. Biar cepet dapet promosi keluar,” kilahku setelah menyeruput teh dan kembali memandang screen laptop.

“Masih pengen keluar, Ka? Bukannya baru tahun lalu kamu bantu ngeliput k Singapore?” Tanya Surya.

“Itu kan cuma ngebantu bentar doang, Ya. Aku pengen posisi yang lebih mantap di negeri yang lebih keren juga.” Ujarku sambil memutar kursi menghadap Surya, nggak enak juga diajak ngobrol tapi tetep mantengin kerjaan. Jam delapan lewat dua puluh menit, aku melirik jam tangan.

“Ke Amrik gitu?” Tanya Surya.

Amrik? Sekilas aku teringat seseorang. “Ya nggak mesti Amrik lah, Negara maju di dunia kan banyak. Bisa Jepang, atau Eropa..”
%~%~%
Pekan ini ada tanggal merah dua hari, jadi total bisa libur empat hari. Kangen juga ketemu bapak. Udah berapa lama ya, nggak pulang? Ah, sepertinya aku perlu refreshing juga, jadi ku putuskan hari Rabu besok aku akan pulang ke Magelang

Tiga hari kuhabiskan bersama keluarga di Magelang, selama dalam perjalanan kembali dari Magelang menuju Jogja untuk kemudian naik kereta ke Jakarta, ada sesuatu yang terus membayang dalam pikiranku.

Sepuluh tahun, ini udah sepuluh tahun sejak hari itu. Ah, konyol, mana mungkin, Ka. Dia pasti sedang entah berada dimana sekarang. Apalagi dia tidak pernah mengatakan kapan persisnya setelah sepuluh tahun itu dia akan kembali. Kembali? Memang untuk apa dia kembali? Aku tersentak menyadari pertikaian batinku sendiri. Hhh…, aku menghela nafas.

Aku berdiri menatap gedung putih besar di hadapanku. Aku putuskan mampir sebentar ke sekolahku di pinggiran kota Jogja. Belum banyak yang berubah. Namanya juga sekolah di pinggiran kota, mana mungkin terjadi perubahan besar dalam beberapa tahun. Sekolah ini, tempatku menghabiskan waktu dalam balutan seragam putih abu-abu. Jembatan di depan gerbangnya, adalah tempat dulu dia mengucapkan “perpisahan” padaku. Argh, selama sepuluh tahun ini aku cukup bertahan tidak mengingat-ingatnya, tidak mengingat begitu banyak kejahilan yang dia lakukan padaku sejak SMP, tidak mengingat kenakalan yang kami lakukan bersama - dulu dia sering mengajakku memotong jalan ketika lari jauh di pelajaran olahraga, dan tidak mengingat pertengkaran-pertengkaran kami yang kebanyakan berakhir dengan kemenangan di pihakku.

Tiba-tiba semuanya tergambar jelas, seperti baru kemarin aku mengalaminya. Berdiri di luar kelas selama jam pelajaran terakhir dalam keadaan basah kuyup karena nekat meninggalkan pelajaran setelah istirahat pertama untuk bermain basket di tengah hujan di bekas lapangan belakang sekolah. Waktu itu, kita berdua sama-sama gengsi untuk kelihatan menggigil kedinginan, walaupun keesokkan harinya kita sama-sama kena flu berat. Bagus, Bagus.., terima kasih atas semua kenangan itu. Meskipun aku yakin kamu pasti sudah melupakanku, kenangan-kenangan itu tetap menjadi bagian dari diriku. Aku berjalan meninggalkan gerbang SMA sambil terus berpikir.

Ayah saja, yang sudah terikat pernikahan dengan ibu, bisa begitu mudahnya melupakan ibu dan menikah lagi setelah dua tahun kepergiannya. Aku tidak berkeberatan dengan hal itu, hanya saja aku merasa belum siap menerima kenyataan hingga memilih untuk tidak ikut pindah bersama ayah ke Magelang, tempat istri barunya. Aku lebih memilih untuk tinggal “numpang” di rumah Lik Basuki, yang istrinya adalah sahabat ibu. Sebagai ucapan terima kasih, setiap sore aku bantu-bantu di warung makan sate-nya di dekat pasar. Bersih-bersih, mencuci piring, membakar sate, aku lakukan apapun yang aku bisa, karena lik Basuki tidak mempunyai tenaga bantu selain istrinya sendiri.

Tanpa aku sadari, tinggal beberapa langkah lagi aku sampai ke warung makan Lik Basuki. Ah, kangen juga bertemu dengan beliau berdua. Aku pun mempercepat langkahku.
Warung makan Lik Basuki ini sekarang sudah jadi lebih besar. Anak-anak Lik Basuki pun sekarang ikut membantu pekerjaan orang tuanya. Ketika sedang berbincang dengan Lik Basuki dan istrinya, tiba-tiba ada seorang pelanggan yang minta disediakan makanan nasi kerdus berjumlah 20 kotak.

“Biar aku bantu ambilin kotak-kotaknya ya, Lik,” tawarku sambil beranjak menuju lemari paling besar di warung itu. Masih sama seperti dulu, kotak-kotak yang sudah dibentuk diletakkan di atas lemari itu. Karena di bagian dalamnya adalah tempat menyimpan piring-piring, gelas dan peralatan lain untuk pesanan hajatan.

Tanganku menggapai-gapai tumpukan kerdus. “Duh, sampai sekarang kenapa masih harus jinjit ya?” gumamku pada diri sendiri.

Ah, aku teringat sesuatu. Dengan lebih jinjit aku berusaha meraba-raba sebelah tumpukan kotak kerdus itu. “Dimana benda itu, dulu sepertinya aku taro sekitar sini..”

“Dari dulu sampai sekarang tinggimu nggak tambah-tambah, ya?” sebuah tangan meraih tumpukan kerdus lewat atas kepalaku.

Aku berbalik. “Nih, butuh berapa lagi?” Tanya si pemilik tangan itu.
Pria di hadapanku ini mengenakan celana hitam dan kemeja panjang yang lengannya dilinting. Wajahnya hampir sama seperti terakhir kali aku melihatnya, yang berbeda sekarang jauh tampak lebih dewasa dengan kacamata setengah frame yang bertengger di hidungnya.

“Bagus..”

“Nggak usah terpesona gitu, deh, Ka. Kamu juga udah jauh lebih dewasa dengan setelan blus dan rok itu. Mirip bos-bos perawan tua di kantoran,” ucapnya sambil mendekat ke telingaku.

Aku tersenyum, tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaan yang meluap-luap di hatiku.

“Mana?” Tanya Bagus.

“Hem?” aku menautkan kedua alisku. Sesaat kemudian aku menyadari apa maksudnya.

“Di sini. Dulu begitu kamu pergi gelang itu aku taruh disini,” jawabku sambil kembali meraba sambil berjinjit ke atas lemari.

“Kenapa ditaruh disitu? Kenapa nggak disimpen?”

“…” aku tetap berusaha mencari di atas lemari.

“Karena kamu nggak percaya sama kata-kataku.” Bagus menarik pergelangan tangan kananku.

“Aku sudah bilang aku akan kembali. Kembali sebagai Bagus dewasa yang bisa membuktikan semua ucapanku, bukan Bagus yang dengan bodohnya meminta seseorang menunggu.” Bagus memakaikan gelang hitam yang aku cari-cari itu di pergelanganku. Belakangan baru aku tahu bahwa Bagus menemukan gelang itu
tepat sebelum keberangkatannya ketika pamit pada Lik Basuki.

“karena aku tahu, tanpa aku minta menunggu pun, kamu akan melakukannya untukku.”


Selesai
READ MORE - Aku Nggak Menunggu

TEMPATKU BERPIJAK

by:Leoni Margaretha

Airmataku masih mengalir bila menyadari harus kehilangan sebagian kehidupan dan masa depanku, akibat dari kecelakaan fatal yang kualami setahun lalu. Kecelakaan yang merenggut kaki kiriku...
Kupandangi kakiku yang hanya tinggal sebelah, kaki kanan yang sendiri, tak ada teman saat berjalan, dan menopang tubuh. Namun kaki kananku tentu saja tak sesedih aku, karena akulah yang merasakan betapa beratnya hidup tanpa sepasang kaki yang lengkap.

baca Lanjutan cerita:

Kejadian itu telah merubah total hidupku, aku yang dulu riang, bangga pada diriku, selalu optimis memandang masa depan, kini menjadi pendiam, minder dan menutup diri. Hidupku telah hancur.

Apalagi ketika kekasih yang telah menemaniku selama dua tahun, Thomas, meninggalkanku. Dengan alasan yang sangat sederhana, tak ingin merawat wanita cacat sepertiku seumur hidup.

Kuhela nafasku panjang, menahan perihnya hati kala mengenang semua, kadang sampai terlintas dibenakku untuk mengakhiri hidup yang sudah tak berguna ini, yang menjadi benalu bagi orang-orang yang aku sayang. Andai saja aku tak ingat perjuangan mamaku saat mempertahankan aku, aku pasti sudah melakukannya.

Tiba-tiba saja ponselku berbunyi...kulihat nomor yang muncul di layar. Entah siapa?
"Halo..." sapaku.
"Benar ini Vivian?" tanya seorang cowok dari seberang.
"Iya, siapa ini?"
"Aku Edo, Vi...ingat?"
"Edo? Hm...Edward Raditya?" tebakku, menyebut nama seorang sahabat yang dulu sempat mengisi hariku.
"Rupanya kamu masih mengingat aku, Vi,"
"Bagaimana aku bisa lupa?" aku bahagia, karena sahabat yang dulu pernah singgah di hatiku, tiba-tiba saja muncul, setelah hampir sepuluh tahun menghilang.
"Kamu tahu nomorku dari siapa?" tanyaku penasaran.
"Gina...beberapa hari lalu aku ketemu dia,"
"Aku juga udah lama nggak ketemu Gina, sekarang dia ada di mana? Dan kamu?"
"Aku dan Gina ada di Semarang, hm...besok Minggu, aku ke Yogya, bisa kasih tahu alamatmu, aku mau ke rumahmu," kata Edo mengejutkanku. Lalu aku kembali melirik kakiku, rasa sakit hati kembali menyelimuti hatiku.
"Minggu aku pergi, Do...maaf ya," jawabku lirih. Aku tak mau Edo kecewa karena aku bukanlah aku yang dulu, yang bisa menemaninya jalan kemanapun dia mau.
"Ya udah, nggak apa-apa, tapi lain kali kalo ada waktu kita ketemuan ya?"
"Hm.. iya," aku terpaksa memberikan janji palsu, hhh...

***

Dari situ bermula kembali, hubungan yang dulu sempat terputus. Edo sering menghubungiku, meskipun belum satupun pertemuan yang dia ingini, aku iyakan. Aku tak kan membiarkan Edo tahu, kalo aku cacat! Aku tak mau dia seperti temanku lain, yang memandangku sebelah mata, terlalu mengasihaniku atau menghindariku karena tak mau direpotkan. Karena itulah, aku terpaksa terus berbohong...maafkan aku, Do.

***

"Vi, aku nggak sabar pengin ketemu kamu nih...besok aku ke Yogya ya? Aku udah dapat alamat kamu dari Gina kok," kata Edo, lagi-lagi mengejutkanku. Aku panik, dan tak tahu harus bagaimana...
"Aku sibuk, Do, maaf," jawabku.
"Kalo malam pasti di rumah kan?" tanyanya penuh harap.
"Aku...aku udah pindah rumah!" aku kembali bohong! Aku benci kenapa harus terus melakukan ini.
"Kenapa kamu menghindari aku, Vi?" Edo mulai curiga,
"Aku bener-bener sibuk!" jawabku singkat. Kudengar Edo menarik nafasnya panjang.
"Vi, jujur saja aku sebenarnya ingin minta maaf sama kamu," katanya lirih. Edo minta maaf? Memangnya apa kesalahannya padaku?
"Dulu aku mengacuhkan perasaanmu, padahal sebenarnya aku tahu kalo kamu mencintai aku," Deg! Ternyata Edo tahu???
"Kamu pasti masih marah ya, karena itu kamu nggak mau menemui aku," sambungnya. Aku terdiam.
"Vi, asal kamu tahu aja ya, aku ingin menemui kamu, untuk memperbaiki hubungan kita... aku nggak pernah bisa melupakan kamu, aku sayang sama kamu, Vi," aku masih saja terdiam, hatiku hancur, dan perih... Airmatakupun mengalir deras membasahi pipi.
"Tapi aku sudah bukan aku yang dulu, Do," ucapku dengan bibir bergetar.
"Jadi kamu sudah menikah ya? Aduh, maaf...aku nggak tahu, kupikir kamu masih sendiri," kudengar Edo tertawa kecil namun aku tahu itu dipaksakannya.
"Tapi bukan berarti kita nggak boleh temenan lagi kan?" sambungnya. Kuhela nafasku panjang, mempersiapkan satu kebohongan lagi, sungguh tragis!
"Boleh...tapi jangan datang ke rumahku ya, suamiku pencemburu," kataku lirih.

***

Tok...tok...tok
Kudengar pintu rumahku diketuk. Aku segera meraih krekku dan berdiri. Betapa terkejutnya aku saat melihat sepasang mata yang dulu begitu akrab menatapku, dan sebersit senyum yang begitu melekat di hatiku...
"Edo?!?" kataku tak percaya. Sedangkan Edo menatapku dengan nanar, shock tak percaya memandang ketidak utuhanku. Dan itu terasa sangat menyakitkan untukku...
"Apa?!? Kaget?!? Sudah aku bilang kamu jangan pernah ke sini!!! Sudah puas kamu melihat aku seperti ini!!" bentakku. Namun Edo masih saja tak berkutik. Bahkan saat kututup pintu dengan keras, diapun masih terdiam. Aku menangis, hatiku hancur, sangat hancur... menyadari aku akan kehilangan Edo untuk yang kedua kali.
Tunggu...bukankah aku tak mau kehilangan Edo, lalu mengapa aku melakukan ini? Aku mengambil krekku lalu berjalan tertatih-tatih kembali membuka pintu. Namun Edo sudah tak ada di sana... aku menyesal...

Dan yang lebih kusesali, sejak kejadian itu, Edo tak pernah lagi menghubungi aku, Edo telah menghilang lagi...

***

Sebulan telah berlalu, mama memanggilku.
"Vi, ada teman kamu nih," katanya. Aku mengerutkan alisku. Teman? Bukankah semenjak kecelakaan itu, aku kehilangan semua temanku? Dengan penasaran akupun melangkah keluar.

Kulihat Edo duduk bersama mamaku. Dia melemparkan senyumnya padaku.
"Mama masuk dulu, Vi..." kata mama sambil menepuk bahuku.
"Ada apa kamu ke sini? Mau menertawakan aku?!?" ucapku ketus. Edo kembali tersenyum.
"Maaf ya, waktu itu aku pulang nggak pamit dulu sama kamu," katanya.
"Sudahlah, lupakan," kataku singkat.
"Aku punya sesuatu buat kamu...nih," katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan yang agak besar padaku.
"Kamu nggak perlu memberi aku apa-apa!"
"Sudahlah terima saja, aku tulus kok," Lalu aku membukanya, dan aku terkejut melihat isinya... sebuah kaki kiri palsu...aku menatap Edo tak percaya.
"Tapi ini mahal, Do..." kataku.
"Itu masih belum seberapa, Vi...ada yang lebih dari itu yang ingin aku berikan padamu," Edo menatapku lembut.
"Aku ingin memberikan kedua kakiku untuk menjadi tumpuanmu...pijakanmu, yang selalu mengiringi setiap langkahmu, dan tempatmu bersandar ketika lelah menghadapi semua cobaan hidup... Vi, aku mencintai kamu, menikahlah denganku," Edo menggenggam tanganku erat lalu mengecupnya.

Aku menangis bahagia, menyadari kecacatanku tak menghalangi Edo untuk menikahi aku, bahkan dia dengan cinta tulusnya, mampu mengembalikan rasa percaya diriku dan kehidupanku yang sempat hilang dan hancur.

Edo, terima kasih, telah memberikan harapan baru untukku.

READ MORE - TEMPATKU BERPIJAK

Gadis Penggantimu

by Leoni Margaretha

Hhh, bete! Itulah yang beberapa hari ini aku rasakan. Semenjak Nala meninggalkanku, untuk menikah dengan seorang pengusaha kaya, aku merasa hidupku jadi monoton dan membosankan.

baca Lanjutan cerita:

Bayangkan saja, biasanya setiap hari aku selalu bertandang ke rumahnya, melihat senyum manisnya, tatapan lembutnya, memeluk pinggang rampingnya, mencium bibirnya yang merekah indah, merabai tubuhnya... aahhh aku kecanduan pada Nala, kecanduan yang parah. Hingga aku tak peduli siapa Nala? Tak peduli pekerjaannya yang sebagai stripper di sebuah tempat hiburan malam terelite, yang mempertemukannya dengan si pengusaha kaya...

Kuhela nafasku panjang seraya melangkah gontai menelusuri koridor sebuah swalayan. Ahhh, andai saja Nala menemaniku, pasti sedap rasanya... Nala, kau sudah membuatku gila!
Aku menghentikan langkahku saat melihat seorang gadis manis berambut lurus panjang sepinggang, gadis itu mengingatkanku pada Nala. Mulai dari cara berpakaian, dan gerak-geriknya mirip sekali dengan Nala. Wah! Apa yang harus aku lakukan?!?

Sungguh gadis itu terlihat sangat sexy, terbalut tank-top warna merah, yang menonjolkan bagian dadanya yang indah, dan celana jeans mini warna putih, yang menunjukkan kaki panjangnya yang putih mulus. Dadaku berdesir menatapnya, aku kagum! Merasa kuperhatikan gadis itu pun menoleh, lalu tersenyum. Alamaakkk!!! Ternyata senyumnya lebih dahsyat dari Nala, giginya rapih dan putih. Jangan-jangan dia artis atau model?!? pikirku. Waaaahhh, sepertinya ini sasaran yang tepat!

Dengan penuh semangat aku pun mendekatinya.

"Hai." sapaku. Gadis itu kembali tersenyum,

"Hai," balasnya.

"Sendirian, Neng?"

"Iya,"

"Boleh abang temani?" tanyaku penuh harap. Gadis itu mengangguk, wow, ini luar biasa, sekejab saja bayangan Nala lenyap dari pikiranku.

"Boleh, Bang...," Aduuuhhh, hatiku semakin berharap yang bukan-bukan.

"Kalo boleh tahu nih, nama Eneng siapa?" tanyaku.

"Sandra, Bang, kalo Abang?"

"Niko," jawabku.

Bermula dari perkenalan itu, akupun akhirnya dekat dengan Sandra. Sampai pada suatu malam, Sandra memintaku untuk menginap di rumahnya... bisa dibayangkan bagaimana perasaanku?!? Jelas dag dig dug! Sudah sebulan sejak Nala pergi, aku tak pernah melakukannya lagi, hehehe... Malam ini akan menjadi malam yang indah untukku.

Sandra menggandeng tanganku masuk ke kamarnya, lalu berbisik lembut di telingaku,

"Tunggu ya, Bang, aku mau ke kamar mandi dulu," Jantungku makin berdesir, saat nafasnya menyentuh daun telingaku. Lalu kuanggukkan kepalaku.

Saat menunggu Sandra, aku mencari sebuah majalah yang mungkin terletak di laci meja kecil samping tempat tidur, tapi ternyata tak ada majalah di sana, yang ada hanyalah sebuah dompet pria berwarna hitam. Terus terang saja aku tergoda untuk membukanya, bukan apa-apa, aku hanya penasaran saja. Mumpung Sandra masih di kamar mandi, akupun meraih dompet itu, dan membukanya...

Aku mengambil sebuah kartu identitas, aku membacanya,

"Alexander??? Sudah menikah???" sontak aku terkejut. Jangan-jangan ini suami Sandra,

"Mati aku!" aku segera beranjak dan bersiap untuk pergi, namun Sandra keburu muncul dengan mengenakan lingerie yang super sexy dan transparan, membuat dadaku kembali berdesir.
Aaaahhhh!!! Persetan amat istri orang! pikirku lalu kupeluk Sandra dengan penuh nafsu.
Kutelusuri tiap jengkal tubuh mulusnya. Oh, nikmatnya dunia... namun entah kenapa dadaku masih terasa sesak ketika mengingat Sandra adalah istri orang??? Seburuk-buruknya aku, sebejad-bejadnya aku, aku belum pernah meniduri istri orang?!? Aku menghentikan aksiku sebelum kami melangkah lebih jauh.

"Kenapa berhenti, Bang?" tanya Sandra.

"Hm... ada yang mau aku tanyain," kataku, "Siapa Alexander?" Kulihat Sandra terkejut.

"Siapa dia, San? Suamimu ya?" Sandra menggeleng.

"Lalu kalo bukan suamimu, siapa? Dompetnya kamu simpan di laci?!? Jangan-jangan kamu simpanannya ya?" tanyaku lagi dengan penuh curiga.

"Bukan, Bang, sudahlah Bang, jangan terlalu dipikirin," jawabnya. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Bagaimana kalo semua dugaanku benar, trus setelah dari sini, aku dicegat oleh Alexander, lalu memukulku sampai boyok, atau malah membunuhku! Aku bergidik membayangkannya. Tapi.. jangan-jangan itu memang bukan dompet suami atau pria simpanan Sandra! Jangan-jangan Sandra adalah tukang copet?!? Pikirku tak percaya. God!!! Kenapa nasibku seperti ini, setelah pacaran dengan stripper, sekarang malah pacaran dengan copet! Sial!!!

"Bang...," Sandra menggenggam tanganku.

"Aku nggak nyangka kalo kamu pencopet, San," kataku. Sandra makin terkejut, lalu tertawa.

"Aku bukan pencopet, Bang...,"

"Lha klo bukan pencopet, kenapa dompet orang lain bisa kamu bawa???"

"Siapa bilang itu dompet orang lain, itu dompetku kok, Alexander itu namaku saat masih menjadi suami orang, Bang, jauh sebelum aku operasi alat kelamin..." katanya. Apa?!? Aku langsung bergegas mengenakan pakaianku kembali lalu kabuuuur!!!

"Bang, sekarang aku udah jadi wanita tulen kok!!! Jangan pergi, Bang!" teriak Sandra memanggilku. Namun aku tak peduli. Aku terus berlari, dan berlari... satu yang ingin aku lakukan ketika sampai di rumah nanti... MANDI KEMBANG TUJUH KALI!

READ MORE - Gadis Penggantimu

Ternyata Suamiku Pembunuh Berdarah Dingin?!?

Malam ini entah kenapa udara yang biasanya panas, mendadak berubah menjadi dingin, ketika aku dan suamiku, tengah menikmati nyamannya tertidur di atas kasur, yang membawa kami berdua terbang ke indahnya alam mimpi. Kurapatkan selimut mencoba melawan rasa dingin yang mendadak meresap ke dalam pori-pori tubuhku.


baca Lanjutan cerita:

Kupandang wajah suamiku diremangnya sinar lampu kamar. Begitu damai dan lembut, sama sekali tak memancarkan amarah, atau kebengisan. Selayaknya perilaku yang dilakoninya sehari-hari, sabar dan bersahaja. Aku tersenyum melihat matanya yang terpejam, lalu kusentuh lembut rambutnya., dan sekali lagi kubisikkan kata cinta, sebelum akhirnya aku kembali melayangkan sukma ke alam bawah sadarku.

BRAK! GLEDEG! DUG!

Aku dan suamiku terperanjat mendengar suara itu. Suara yang berasal dari luar kamar.
“Anak-anak bangun?” Akupun segera beranjak, untuk menemui dua buah hatiku, namun suamiku melarangnya.

“Jangan, Ma, sebaiknya biar aku aja, karena biasanya anak-anak kan nggak pernah bangun malam-malam gini!” bisiknya. Iya juga sih, anak-anak memang kalau sudah tidur, tak pernah bangun hingga menjelang pagi. Lantas siapa yang bersuara itu? Maling?
Kulihat suamiku mulai beranjak dari tempat tidur, kupegang tangannya,

“Hati-hati ya, Pa,” Suamiku mengangguk. Sambil menjinjit dia membuka pintu dengan sangat pelan, mencari dari mana suara itu berasal. Sementara aku hanya bisa melihatnya dari balik pintu, ke mana suamiku melangkah. Suamiku menuju ke belakang rumah, lalu kembali lagi sambil membawa sebuah balok kayu. Untuk apa??? Separah itu kah? Hingga suamiku harus membawa balok?

Karena penasaran diam-diam aku mengikuti suamiku dari belakang, ternyata suamiku menuju ke dapur yang cukup gelap, karena hanya mendapatkan penerangan dari lampu taman yang menembus melalui jendela. Dan benar saja, terlihat sesosok bayangan hitam, mengacak-acak isi almari dengan cueknya, tanpa tahu kami ada di belakangnya. Lantas kulihat suamiku mengayunkan balok itu dan Brakkk! Suamiku memukul kepala maling itu sekeras mungkin, hingga maling itu terjatuh dan terkapar di lantai. Lalu suamiku menyalakan lampu dapur untuk melihat si maling lebih jelas! Namun ternyata si maling masih bergerak, sekali lagi suamiku mengayunkan balok itu tepat di kepala dan Croootttt!!! Darah muncrat ke mana-mana, percikannya mengenai setiap perabot yang ada di sana. Tapi itu tak membuat suamiku berhenti memukul kepala maling itu, suamiku terus memukulnya sampai berulang-ulang kali, maling itupun tak bergerak lagi, mati! Dengan otak yang berhamburan keluar melalui lubang mata dan telinga. Pemandangan yang teramat sangat mengerikan, yang baru sekali ini kulihat di sepanjang hidupku. Dan yang lebih mengerikan lagi ternyata… suamiku adalah seorang pembunuh berdarah dingin!

Kututup mulutku dengan kedua telapak tanganku. Aku tak percaya, suamiku bisa begitu tega melakukan itu, dengan tanpa perasaan! Suamiku yang berwajah baik dan lembut itu ternyata berdarah dingin dan sadis! Tubuhku gemetar sangat ketakutan, apalagi saat kulihat dia dengan tanpa perasaan mengelap darah dan otak yang berceceran dengan menggunakan tissue!

“Aku nggak nyangka papa bisa begitu sadis!” kataku masih dengan mulut yang bergetar. Sementara suamiku terkejut menyadari kehadiranku.

“Sejak kapan mama berdiri di situ?!?” tanyanya.

“Dari tadi, Pa…,” Suamiku menatapku.

“Aku benci ada yang menyusup ke rumah kita dan mengambil apa yang kita punya, Ma! Dan aku juga nggak mau anak kita, keluarga kita jadi korbannya! Daripada itu terjadi, mending aku habisi dia duluan kan?!?” Suamiku benar, hanya saja aku shock melihatnya melakukan itu.

“Sebenarnya aku juga nggak ingin ngelakuin ini, Ma, tapi aku terpaksa memukul dia sampai mati! Andai saja bisa kutangkap pasti aku tangkap! Tapi Mama tahu sendirikan dia itu gesitnya kayak apa? Bisa-bisa lari duluan sebelum ketangkap!” Aku mengangguk, membenarkan ucapan suamiku, tapi dasarnya aku orangnya tidak tegaan, tetap saja kejadian itu terlalu sadis untukku.

“Lagi pula sebelum memukulnya aku udah minta maaf dulu kok sampai berulang-ulang kali lagi, malahan sempet memohon supaya Tuhan mengampuni aku, hanya saja tadi Mama nggak denger karena terlalu jauh,” jelas suamiku, kali ini membuatku tersenyum.

Dasar suamiku berhati lembut, mau membunuh tikus saja pakai doa dan minta maaf dulu, benar-benar aneh… Tapi setidaknya aku kini sedikit merasa lega, karena nyatanya suamiku tak sesadis yang aku kira!

READ MORE - Ternyata Suamiku Pembunuh Berdarah Dingin?!?

Nafas Jiwa

Seberkas sinar menyilaukan menusuk pupil mataku, membuatku mengerjap perlahan. Tapi tunggu! Di mana saat ini aku berada?!? Lalu kubuka mataku, namun sinar putih itu menembusnya tajam hingga membuatku kembali memejamkannya.

Saatku kembali terpejam, memoriku kuputar kembali ke beberapa waktu lalu, yang kuyakin dengan begitu aku akan tahu jawaban dari pertanyaanku, di mana aku saat ini...

Baca kelanjutan cerita:

Kulihat seorang gadis dengan senyumnya yang sangat manis bergelayut di lengan kananku, sepintas aku lupa siapa dia? Aku hanya merasa bahwa dia adalah seorang yang sangat dekat denganku. Dengan manja dia terus bergelayut seolah tak ingin lepas barang sedetikpun. Lalu gadis itu merapatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik,

"Mas, kamu tahu nggak kenapa aku jadi seperti ini?" aku menggelengkan kepalaku.

"Karena saat ini aku bahagia, kamu tahu kenapa?" sekali lagi aku menggelengkan kepalaku.

"Aku hamil, Mas," ungkap gadis itu dengan memamerkan ekspresi bahagianya.

Ya Tuhan, kini aku ingat siapa gadis itu, dia adalah Rona, istriku yang sudah aku nikahi selama tiga tahun, istriku yang sangat aku cintai dan mencintai aku?!?

***

Aku kembali membuka mataku, masih silau namun aku berusaha untuk bisa menatap sekelilingku. Pertama yang kulihat hanya buram, namun lama-lama mulai nampak jelas. Aku berada di sebuah ruangan yang serba putih, dan beraroma obat-obatan, yah aku berada di kamar rumah sakit. Tapi kenapa aku berada di sini??? Sekali lagi aku mencoba mengembalikan ingatanku di peristiwa terakhir yang membawaku ke sini.

...(flashback)

"Ma, aku berangkat dulu ke rumah sakit," pamitku pada seorang wanita tengah baya, hm... mamaku???

"Tapi ini udah malam, Ren!"

"Nggak tahu kenapa, Ma, aku kangen banget sama Rona, lagian kan udah dari dua hari yang lalu aku belum ke rumah sakit,"

"Tapi kamu kan baru aja sampai dari luarkota?!? Apa kamu nggak cape???" aku menggelengkan kepalaku, buatku tak ada rasa capek untuk bertemu dengan istriku yang teramat aku cintai.

"Aku pergi dulu, Ma," ucapku lalu kucium punggung jemari wanita yang telah melahirkanku itu.

"Iya, tapi hati-hati di jalan ya,"katanya. Aku mengangguk.

Lalu aku pergi dengan mobil warna hitamku, tak seberapa lama, aku mendengar bunyi ponselku, bip... tit... dit... aku mengangkatnya.

"Kak Rendra, ini Marsha, barusan aja kak Rona menggerakkan jarinya, cepetan ke sini ya Kak,"

Lalu akupun segera melesatkan mobilku melebihi batas kecepatan normal, aku ingin segera melihat Rona bangun, aku tak sabar ingin melihatnya sadar, setelah sekian lama koma... koma???

***

Aku segera beranjak dari tempat tidurku, menyadari bahwa Rona koma, dan itu artinya aku harus bergegas menemuinya...

Akupun melangkah keluar dari kamarku, anehnya aku masih mengenali koridor menuju ke kamar tempat Rona dirawat. Akupun segera berlari ke sana, berharap melihat Rona telah tersadar dari tidur panjangnya.

Sesampainya di depan kamar itu aku masuk, namun masih saja beribu
kecewa kurasakan, karena Rona masih saja aku temukan terbaring lemah di sana. Lalu aku melangkah mendekatinya. Kusentuh keningnya lalu bibirnya, masih saja tak bergerak. Kuhembuskan nafasku panjang seraya menggenggam erat tangannya yang kurang lebih selama dua bulan membeku.

Lalu tiba-tiba saja sepenggal ingatanku kembali lagi.

...(flashback)

"Selamat, Pak, anak anda laki-laki," kata seorang dokter sesaat setelah keluar dari ruang persalinan.

"Lalu bagaimana dengan istri saya, Dok?" tanyaku panik. Dokter itu diam, lalu menarik nafasnya panjang,

"Istri anda banyak mengeluarkan darah, dan sampai sekarang dia masih belum siuman, teruslah berdoa Pak, hanya Tuhan yang bisa membantunya, sedangkan kami team dokter hanya bisa berusaha."

Bagai petir menyambar kepala dan hatiku, hancur berkeping-keping.

***

Tanpa sadar airmatakupun meleleh untuk yang kesekian kalinya. Aku kecewa jelas kecewa karena Tuhan tak mendengarkan doa yang kupanjatkan untuk Rona. Yang aku inginkan tidaklah banyak dan sulit, aku hanya ingin Tuhan memberikan yang terbaik untuknya, entah itu sadar ataupun pergi untuk selamanya... asalkan jangan membuatnya menderita seperti ini, terjebak diantara dua dunia... aku tak rela Rona harus merasakan semua ini?!?

Secepatnya kuhapus airmataku saat kulihat pintu kamar terbuka perlahan, Marsha, adik Rona, bersama seorang pria tengah menggendong tangan seorang anak berusia sekitar lima tahunan masuk ke dalam. Lalu anak itu turun dari pelukan pria itu dan berlari mendekatiku... hm, bukan... dia mendekati Rona.

"Mama, bangun, Ma, ini Rendra..." kata anak itu sambil menyebut namaku. Namaku? Bukan?!? Nama anak itu sama dengan namaku?!? Rona membuka matanya perlahan lalu tersenyum. Demikian juga dengan pria itu,

"Maafin aku ya, aku terlambat, jadi nggak bisa nemenin kamu melahirkan, tapi aku sudah melihat anak kita kok, dia cantik seperti kamu," katanya mengejutkanku.

"Aku yang harusnya minta maaf, San, nggak nungguin kamu datang... Kamu nggak keberatan kan? Aku ngotot untuk melahirkannya tepat ditanggal, hari dan jam yang sama dengan waktu kematian Mas Rendra? Dan aku juga ngotot untuk di tempatkan di ruangan ini agar..." kata Rona lalu menangis. Pria itu mengelus rambut Rona lalu berkata, "Sudahlah... aku bisa memakluminya kok."

...(flashback)

Aku melihat traffic light berwarna merah lalu sorot lampu menyilaukan sebuah kendaraan besar muncul dari arah kanan... tampak begitu jelas di mataku, dan dengan begitu cepat mendekat!!!

***

Segera kulepaskan tanganku dari tangan Rona, tubuhkupun bergetar, shock! Dan ternyata itu membuat Rona seperti menyadari kehadiranku. Matanya lembut menembus mataku, tepat! Meski mungkin dia tak benar-benar bisa melihatku.

"Agar kamu bisa menemui aku, Mas, maafkan aku," desisnya pelan, namun sangat jelas terdengar di telingaku.

***

Namun setidaknya aku kini bisa pergi dengan tenang, karena Rona kini telah hidup bahagia, meskipun bukan bersamaku lagi.

Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku untuk Rona, Kau telah memberikan yang terbaik untuknya, meski bukan yang terbaik untukku. Namun aku tetap merasa bahagia...

***

Tercatat waktu kematian Rendra: Selasa, 6 Januari 2004 pukul 00.15
Dan waktu kelahiran: Selasa, 6 Januari 2009 pukul 00.15



READ MORE - Nafas Jiwa

HOW STUPID I AM?!?

by Leoni Margaretha

Berbagai cara sudah aku coba untuk bisa melupakan sosoknya dengan selalu mengenang kejadian menyakitkan yang pernah terjadi di dua belas tahun yang lalu, tapi tetap saja aku tak pernah bisa lupa.

baca Lanjutan cerita:

Entah kenapa sosok dirinya masih begitu melekat erat dalam hatiku, bahkan semakin parah saja, sehingga membuatku tetap sendiri diusiaku yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun ini. Kenapa tak ada pria yang bisa menggantikan posisinya di hatiku? Kenapa aku tetap mencintainya meskipun berulang kali dia menyakiti hatiku? Kenapa aku begitu bodoh? Sampai kapan aku mau terus begini? Seribu pertanyaan memenuhi benakku...

“Aya...” suara mamaku membelah lamunanku, segera aku mengubah ekspresi sedih di wajahku, aku tak mau mamaku tahu keresahanku. “Apa, Ma?”

“Besok tante Erni datang, bukan apa-apa sih... ehm, maksudnya beliau mau mengenalkan putranya ke kamu...,” lagi-lagi... kutarik nafas panjang, sudah tiga kali ini mama berbuat begini, aku sih maklum saja, itu semua karena kedua adik perempuanku sudah menikah.

”Kamu masih belum menyerah kan,Ya?” kutarik bibirku mencoba tersenyum,

“Sebenarnya Aya sudah capek, Ma... tapi buat Mama, Aya akan selalu coba...,” Mama mendatangiku lalu mengusap rambutku,

“Bukan maksud mama menjodohkan kamu, Ya... mama cuma mau bantu,” aku anggukkan kepalaku, “Thanks, Ma,”

***

Seperti kata mama kemarin, tante Erni teman SMU mama datang. Akupun bergegas merapikan rambut panjangku, dan masih tetap dengan perasaan dingin aku keluar kamar... sama seperti yang kurasakan saat kedatangan kedua teman mama yang lain sebelum ini. Aku berhenti sejenak di depan pintu saat memandang pria bertubuh tinggi yang saat ini tengah berdiri berhadapan dengan mama, dan itu artinya membelakangi aku. Sejanak aku terkesima, sosok itu mirip... tapi model rambutnya berbeda... jantungku mulai berdebar, lalu kuhela nafasku panjang, kenapa dari belakang sosoknya mirip sekali dengan Andre...? Pria yang selama ini tak mampu hilang dari pikiranku.

“Aya...,” mama melambaikan tangannya kearahku, mataku terus menatap pria itu nanar. Akupun melangkah mendekat, sambil terus mencoba menenangkan diri. Sedangkan pria itu sama sekali tak menoleh kearahku, tante Erni tersenyum, “Hai, Ya...,” sapanya.

“Malam, Tante,” balasku.

“Kenalin nih...,” Deg!!! Jantungku benar-benar copot, yang benar saja... dia benar-benar Andrean Satria...

“Hai, Ya... kita ketemu lagi,” sapanya sambil mengulurkan tangannya. Dengan hati gundah gulana aku balas jabatan tangannya yang hangat.

“Lho kalian kok...,” ucap mama bingung.

“Aya dan Andre sempat berteman waktu SMU, Ma,” ucapku.

“Berteman?” balas Andre. Ups! Aku merasa konyol mengatakannya, tapi..., “sebenarnya kami sempat pacaran, bukan begitu, Ya?” Andre tetaplah Andre... orang yang suka bicara blak-blakan dan apa adanya.

“Wah kebetulan dong kalo gitu...,” ucap tante Erni seraya tersenyum menggodaku.

“Kalo gitu, kalian nostalgialah dulu, mama sama tate Erni masuk ke dalam dulu,” lalu mereka berdua meninggalkan kami.

Cukup lama aku terdiam, canggung rasanya meskipun mungkin pertemuan kembali ini sangat aku harapkan.

“Kamu masih sama seperti dulu, Ya..., cantik dan lugu,” kata Andre memecahkan keheningan. Namun aku masih diam, aku malah kembali teringat saat terakhir kali aku bertemu dengannya, kejadian itu... sangat menyakiti aku. Tanpa sadar airmatakupun menitik, dan Andre mengusapnya dengan lembut.

“Aku minta maaf, Ya...” katanya. Maaf? Kenapa satu kata itu tak pernah terpikir olehku... apakah aku bisa memaafkannya atas kejadian itu? Kalo tidak... kenapa aku masih menyimpan perasaan cinta padanya? Kenapa semua ini ternyata begitu membuatku bingung... Aya apa sih maumu? Katamu cuma Andre... dan sekarang dia telah berdiri di depanmu, tapi kamu nggak bisa mengucapkan apapun... bahkan kata maafpun tak pernah terpikirkan olehmu?!?

“Aku ingin mengulangi semuanya dari awal, kalo kamu nggak keberatan, Ya..., aku ingin memperbaiki hubungan kita dulu,” Andre ingin memperbaikinya, ini kan yang aku seharusnya harapkan, tapi kenapa seolah aku tak bisa mengharapkan dia... kenapa aku ini? Terbayang lagi kejadian per kejadian dimasa laluku, begitu playboynya pria satu ini, putus sambung lebih dari sepuluh kali dalam satu tahun... dan yang terakhir kalinya...

“Kamu terlalu percaya diri, kalo aku nggak akan mungkin mutusin kamu, Ya,” ucapnya saat itu.

“Tapi kamu selalu minta kembali ke aku kan?” balasku tak mau kalah waktu itu.

“Itu semua ada alasannya... , mau tahu?” bisiknya, “karena kamu adalah cewek yang paling bisa aku bodohi... hahaha...,” Sekeras mungkin aku tampar pipi Andre, sakit mungkin tapi tetap tak sesakit luka hatiku...

"Eh, kamu kira aku sungguh-sungguh mencintai kamu ya!” sekali lagi Andre mencelaku, dan sekali lagi hampir aku mendaratkan tamparanku yang kedua di pipinya, tapi tangannya keburu menangkapku.

“Mana ada sih cewek yang mau diajak balik setelah cowoknya menyeleweng kecuali kamu, Ya... udah gitu sampai berulang-ulang lagi... konyol!!!” tangan Andre menghempaskan tanganku keras. Hhh...

***

“Ya... Aya,” panggil Andre menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menatapnya tajam,

“Sekali lagi untuk kesekian kalinya, An... aku maafin kamu,” kataku. Andre tersenyum seraya menggenggam tanganku, aku segera melepaskan tanganku..., “tapi aku bukan Aya yang dulu begitu bodoh di matamu, aku nggak akan mengulanginya lagi,”

“Tapi aku yang sekarang juga bukan aku yang dulu, Ya... aku sudah berubah,” balas Andre.

“Apalagi kamu sudah berubah, An... aku akan merasa belum pernah mengenal kamu, kenapa aku harus nekat pacaran dengan seseorang yang belum pernah aku kenal?” Sungguhkah aku mengatakan ini pada Andre? Aku sendiri tak percaya... aku yang begitu tak bisa melupakan Andre... setelah duabelas tahun ini.

“Maaf, An... aku nggak bisa,” aahhhh... lega rasanya dadaku setelah sekian lama aku terkungkung dalam bayangan pria ini, seolah kini aku terbang bebas... lepas semua beban yang selama ini menghimpitku... dan aku tak menyesal dengan keputusanku ini, yang jelas aku bukan Aya yang bodoh lagi... sekarang aku sudah berubah, mulai hari ini... mulai detik ini... aku sudah berubah. Aku mengembangkan senyumku yang kali ini tak aku paksakan,

“An, maaf ya,” kataku. Andre tersenyum kecut.

“Kamu merasa menang sudah menolakku?!?” katanya mengejutkan aku.

“Di sini nggak ada yang menang dan yang kalah, An...,”

“Lalu kenapa kamu tersenyum?”

“Aku merasa beban yang selama ini aku tanggung, raib begitu saja... terima kasih, An... kamu sudah membantuku menghilangkannya,”

“Aku sama sekali nggak merasa membantumu... aku datang ke sini hanya karena aku mau tahu apakah kamu masih tetap Aya yang bodoh seperti kataku dulu,” Deg!!! Aku menatap Andre tak percaya, dia kembali mengatakan aku bodoh...

“Dan ternyata masih tetap saja bodoh... sudah tahu nggak bisa melupakan aku, nggak mau aku ajak balik lagi, aku harap kamu menyesal?!?” aku terkejut, namun aku malah bahagia, bersyukur karena ternyata aku tak salah menolaknya.

“Aku nggak menyangka kamu tetap nggak berubah juga, An... hm... pokoknya thanks deh, apapun yang kamu katakan, aku tetap thanks ke kamu, tunggu ya aku panggil mama dan tante..., aku capek mau tidur, sekali lagi thanks, An..., untung banget lho kamu datang,”

Mulai malam ini aku tak pernah lagi mengharapkan Andre, bayangannya di hatiku sudah aku cabut seakar-akarnya hingga tak bersisa lagi. Esok hari akan aku jalani hari baru, yang lepas dari bayang-bayang Andre... bahkan sekarang aku sempat heran, apa sih kelebihannya yang membuat aku tak bisa melupakannya? Kelebihan gengsi kali’ atau... aku hanya mengharapkannya, supaya bisa membalasnya? Entahlah...



READ MORE - HOW STUPID I AM?!?

Rumah Itu...

by Leoni Margaretha

Hari ini adalah hari pertama aku bersama mama papaku menempati rumah baru, setelah rumah lamaku laku terjual. Entah apa sebabnya papa menjual rumah yang sudah terlanjur kusayangi itu dengan pindah ke rumah kuno yang hampir seluruh cat dindingnya mengelupas ini. Rumah antik bangunan Belanda, kata mama yang kudengar ketika berbincang dengan papa. Yah, benar-benar antik kurasa, lihat saja pintu dan jendelanya yang besar dan tinggi, dan kamar-kamar yang sangat luas dan lembab, dengan langit-langit yang dua kali lebih tinggi dari biasanya!


Baca kelanjutan ceritanya :


READ MORE - Rumah Itu...

Gadis Berjilbab Itu

Penulis / pengarang cerita kets_kitamura

Aneh sekali mimpi itu, ya. Kita hanya bisa menebak-nebak apakah yang hendak diberitakannya – kabar dari masa kelakkah yang dibawanya, atau hanya sekadar suara-suara dari ingatan yang diambil begitu saja, acak, dan tak bertujuan. Aku tak tahu. Tapi, kadang aku berpikir seperti ini. Mimpi itu seperti maling. Munculnya perlahan-lahan, langkahnya mengendap-endap, seringkali menengok ke kiri dan ke kanan, dan memakai jubah sewarna malam.

ia sebenarnya tengah menunggu waktu yang tepat untuk pergi ke gudang pikiran: tempat berdebu di mana keinginan-keinginan yang tak sampai dan ketakutan-ketakutan yang telah kita simpan jauh-jauh dan kita gembok, teronggok begitu saja. Aku sering heran sendiri bagaimana ia bisa menemukan kuncinya. Entahlah. Tapi, ia selalu saja bisa menemukannya dan membuka gudang itu dengan mudah. Ia jadi seperti anak kecil bila telah berada di dalam: menemukan banyak mainan baru, mencoba satu persatu, hingga akhirnya menemukan mainan yang menurutnya cocok, lalu membawanya keluar.

***

Aku akhirnya menikah. Kukira aku tidak akan pernah merasakan pengalaman itu. Yah, seperti biasa, selalu banyak kekhawatiran, tentunya, bagi lelaki yang telah cukup umur. Konyol memang, memikirkan hal yang bukan-bukan. Jangan-jangan maut keburu menjemput, jangan-jangan tak akan pernah menemukan pasangan yang tepat, jangan-jangan tak bisa menafkahi, jangan-jangan.. Terlalu banyak ‘jangan-jangan,’ ya. Tapi seperti kata orang, kekhawatiran selalu bisa memunculkan ketakutan-ketakutan yang berlebihan, yang biasanya hampir tak pernah benar-benar terjadi. Dan kalau pun terjadi, katanya, tenang saja, tidak semenakutkan yang dibayangkan, kok. Aku sering tak percaya pada perkataan semacam itu. Kupikir itu hanya kata-kata kosong saja untuk menenangkan hati. Tapi, sudahlah. Itu dulu. Aku mempercayainya sekarang. Buktinya, aku menikah. Dan semuanya berjalan lancar.

Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku baru saja menyadarinya. Sepengetahuanku, setiap mempelai haruslah berada di depan menjadi pusat perhatian, dengan pakaian yang menyolok, dengan senyum yang harus terus-menerus menggantung, dengan iringan orang-orang yang mengantri memberi selamat. Tapi aku? Di mana aku berdiri? Di tengah ruangan, dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Bagaimana pakaianku? Aku memakai kemeja flannel yang kubiarkan tak dikancingkan, memperlihatkan kaos putih yang jadi abu-abu, lusuh. Dan celanaku? Mengerikan: jins belel yang sobek di kedua lutut, seperti sepasang mata yang tengah mengintip.

Dadaku ribut. Pikiranku lalu-lalang.

Apa yang sebenarnya tengah kulakukan di pesta perkawinanku? Bagaimana mungkin aku memakai pakaian seperti ini? Apa yang… Pikiranku mendadak macet. Perlahan, kesadaranku yang lain, yang tadi mungkin tengah bersembunyi, sekarang merangkak naik mendaki kepalaku dan menyodorkan pertanyaan yang menakutkan: mungkinkah ini bukan pesta pernikahanku?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kutata pikiranku. Dari mana tadi aku tahu bahwa aku tengah menikah? Aku mengingat-ingat: mempelai perempuan! Maka, kulihat mempelai perempuan di ujung sana, di depan, menjadi pusat perhatian dan sedang sibuk melayani orang-orang yang memberi selamat. Tak salah lagi. Gadis Berjilbab itu. Gadis yang setiap kali kami berpapasan hanya bisa menatap mataku sejenak untuk kemudian menunduk atau mengalihkan tatapan itu ke arah lain. Gadis yang sungguh menaati Tuhannya, pikirku. Gadis lugu, yang meskipun telah berusaha merumahkan perasaannya padaku demi Tuhannya dengan tatapan singkatnya, namun selalu saja gagal, karena matanya seringkali berkhianat pada hatinya yang menginginkan diriku; kutemukan jejak senyum dimatanya kala menatapku.

Kulihat lagi Gadis Berjilbab itu. Benar, memang dia. Tapi dari mana aku tahu bahwa aku yang menikah? Tentu saja aku tahu, batinku, karena Gadis Berjilbab itu pasti menikah dengan… Aku tersentak. Lalu kulihat sosok yang tadi kuabaikan begitu saja yang berdiri disamping gadis berjilbab itu. Tenggorokanku tersumbat. Siapa lelaki itu?

Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri lagi. Kuperhatikan lelaki itu baik-baik. Dari jarak lima puluh meter kulihat tubuhnya tegap dan tinggi. Kurasa aku tak setegap dan setinggi itu. Tapi aku tidak yakin karena penglihatanku sesekali terhalang oleh tamu-tamu yang lalu-lalang. Aku mencoba mendekat hingga jarak dua puluh meter. Sekarang aku melihatnya dengan jelas.

Aku berpikir, mungkinkah itu aku setelah beberapa tahun: setahun, dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun kemudian. Mungkinkah aku berubah sebanyak itu. Tapi tak mungkin, bukan? Bila kita telah berumur pertengahan 20-an, kupikir perkembangan fisik kita telah sempurna. Dan kalau pun berubah, bukan grafik semakin meninggi yang terjadi, melainkan menurun.

Kuperhatikan lelaki itu lekat-lekat sekali lagi. Itu bukan rambutku. Rambut lelaki itu ikal dan tebal, sedangkan rambutku lurus dan tipis. Itu juga bukan telingaku, kerena daun telingaku sedikit runcing seperti elf dalam cerita Tolkien, sedang daun telinga lelaki itu tidak. Selama aku mencocok-cocokkan diriku dan lelaki itu, aku hanya bergumam tak percaya: itu bukan mataku, itu bukan bibirku, itu bukan hidungku, itu bukan… itu bukan…

***

Sepertinya ia telah puas bermain. Maka, seperti biasa ia akan mengembalikan dan menyimpan mainannya dengan hati-hati pada tempatnya semula. Ia berusaha tak meninggalkan jejak apapun. Perbuatannya itulah yang sering menyebabkan kita tak bisa mengingat mimpi semalam. Gambar-gambar tak pernah jelas. Adegan-adegan jungkir-balik tak nyambung. Dan di pagi hari, sewaktu kita membuka mata, yang kita dapatkan hanya remah yang terasa rapuh. Mungkin kita berusaha mengingatnya, mungkin kita melupakannya begitu saja. Kita tak ambil pusing dan hidup pun berjalan terus.

Namun, sering juga kejadiannya tidak seperti itu. Ia mungkin saja berusaha keras menghapus jejak, tapi ada kalanya ia terlalu banyak membawa mainan dari gudang, terlalu semangat bermain, sehingga kesetanan, sehingga lupa diri, lalu lupa membereskan mainan dengan tepat. Bila seperti itu, ingatan tentang mimpi jadi tertinggal dengan kuat. Kita tak lagi disuguhi gambar-gambar yang mengambang samar sewaktu bangun, malah sebaliknya. Hanya saja, buatku, resikonya cukup mahal. Kita jadi terbangun tiba-tiba, napas kita terengah-engah, keringat dingin membanjir. Uhh, letihnya bukan main. Dan, lebih buruknya, kita mungkin saja menjerit-jerit tolol, dengan tangan dan kaki yang sibuk menerjang ke segala arah, lalu terkena serangan jantung, lalu mati menyedihkan. Mati di tempat tidur.

Yah, begitulah.

Malam itu, aku pun menjerit-jerit bego. Masih terasa olehku, di mulut, kata-kata terakhir yang tak sempat kuucapkan dalam mimpi, yang rupanya terbawa dan ikut menyebrang ke alam nyata: Itu memang bukan diriku.

Aku tepekur lama. Dada masih memburu-buru, kerongkonganku kerontang. Kulirik jam: pukul dua malam. Aku bangkit berjalan menuju cermin. Tampangku menyedihkan. Sisi-sisi rambutku menempel di pipi yang licin oleh keringat, tak karuan. Aku serasa lebih tua sepuluh tahun.

Kutatap mataku. Benar, tak salah lagi. Bukan mata itu yang tadi kulihat dalam mimpi. Mata dari lelaki yang berdiri disamping Gadis Berjilbab itu tak seperti ini. Mata lelaki itu adalah mata yang sering kuharap ada dimataku. Sepasang mata yang hanya ada pada mereka yang telah tahu apa yang mesti mereka perbuat dengan Hidup.

Gambar dan adegan dalam mimpi itu masih terasa kuat di kepalaku. Aku bisa mengingat detail-detail kecil yang tadi sewaktu mimpi tak sempat kuperhatikan. Lelaki itu, dan gadis yang beberapa waktu lalu kuanggap Gadis Berjilbabku terbingkai dalam rona bahagia yang merah muda, wajah mereka bercahaya. Sepasang malaikat, dengan jubah putihnya, dengan sayap-sayap lembut sewarna beludrunya, berputar agung mengelilingi keduanya, mendoakannya. Tuhan pun turun tangan, pikirku. Aku merosot tak berdaya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat sekarang. Tuhan telah memberikan restunya. Padahal tadi sempat terlintas di benak: akan kubawa kabur saja Gadis Berjilbabku, seperti di cerita-cerita picisan, biar kutembak mereka-mereka yang menghalangi niatku..

Tapi, aku terus saja berdiri di tengah ruangan, tak berbuat apa-apa, di dekat pilar besar yang tak bisa kupeluk. Sendirian. Masih menggumam-gumam: itu bukan… itu bukan…

Aku akhirnya terbangun dengan telunjukku menunjuk-nunjuk tak jelas pada lampu neon yang menempel tinggi di langit-langit kamarku.

Lama sesudahnya, sering aku berpikir tentang mimpi… Tentang mimpi malam itu… Tentang Gadis Berjilbab itu…


READ MORE - Gadis Berjilbab Itu

“SEPERTI KAMU JUGA!”

by thequeenoftheword

Aku tak menyangka bertemu kamu, dia dan mereka di sini. Di negeri impianku yang telah lama bercokol di kepalaku selama bertahun-tahun. Aku merasa sendirian. Tak bisa bicara. Meskipun masih bisa mendengar. Sekalipun hanya mendengar suara-suara asing yang mematahkan semangat. Aku cuma bisa menatap wajah-wajah kaku, berbalut pakaian modis musim dingin dengan model rambut warna-warni dengan takjub. Tidak ada yang tidak cantik. Meskipun aku bingung dengan kecantikan yang seperti apa hingga seorang pria terkagum dan berdiri mematung. Karena sesungguhnya yang namanya cantik cuma debu. Tidak lebih! Dan yang tampan cuma tanah liat. Tidak lebih!

Jadi di mana yang sempurna? Tidak ada! Semuanya yang tampak di permukaan cuma pulasan dan warna-warni yang mempermak kita untuk menjadi lebih baik atau lebih tirus. Wanita-wanita yang takut gemuk, takut jelek, takut hitam dan takut dicap “tak terawat” menjejali tiap sudut jalan di kota besar ini dengan kaca dan lipstik di tangan mereka. Mereka sesekali merapikan dandanannya sebelum kembali bekerja. Sangat kontras dengan wanita-wanita dan para pria yang berada di restoran atau rumah makan. Mereka tampak lebih apa adanya dengan wajah kuyu karena seharian bekerja. Bau badan mereka adalah bau harum makanan yang keluar dari panci-panci dan wajan-wajan besar di dapur. Bukan wangi parfum!

Lelehan keringat yang meluncur di dahi mereka menandakan kerja keras mereka hari itu. Aku mendengar mereka berteriak di jalan, mempromosikan makanan di restorannya dengan celemek warna-warni. Bau makanan semerbak ke mana-mana, menguasai udara seperti mencekikku. Aku tak bisa membedakan mana bau babi panggang, ayam goreng, makanan Thailand atau makanan Jepang. Semua bau sepertinya sama! Mana bisa aku makan? Aku kelaparan tetapi malas makan! Aku cuma bisa mengeluarkan sebaris kalimat setelah sekian jam mematung di sana.
“Bawa aku ke Mc Donald!”

Sejam kemudian aku sudah memakan jatah makan malamku hari kesekian di Taiwan. Sekantung kecil kentang goreng, fille’ o fish, coca-cola yang sama sekali tak ada rasa Taiwannya! Sama saja seperti paket fille’ o fish yang aku beli di outlet Mc Donald di jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Tidak ada bedanya! Aku tertawa kecil.

Aku kembali mengawasi jalanan sempit yang penuh dengan neon box bertuliskan nama-nama restoran dalam bahasa mandarin. Menikmati orang-orang yang bersepeda di trotoar, berebut tempat dengan pejalan kaki. Taiwan benar-benar unik! Hanya kurang menarik! Aku tidak melihat orang-orang dengan baju adat yang membungkuk sopan kepada tamunya seperti di Jepang. Sepanjang mataku memandang aku cuma melihat Starbucks, Starbucks, Starbucks! Gerai khasnya nyaris ada di tiap blok! Aku menepuk kepalaku sambil bergumam.
“Bangun, Ne! Inilah wajah kota moderen hari ini!”

Aku menelan ludah. Oh ya? Moderen apa sama dengan tidak tahu adat? Lihat bagaimana mereka berciuman di sembarang tempat! Tak tahu malu! Aku bahkan tidak tahu bedanya pelacur dengan bukan di sana! Apakah itu yang membuat Taipei layak disebut kota besar? Kalau memang demikian…..betapa dusunnya aku! Aku nyaris muntah melihat sepasang anak muda yang tepat berada di belakangku di sebuah kedai minuman. Mereka berdua berciuman lama sekali. Aku pikir mereka berdua keterlaluan!

Ternyata….pasangan di belakangnya pun melakukan hal yang sama bahkan lebih parah. Dan semua orang melalui jalan itu tanpa bergeming. Tidak ada ekspresi marah, shock atau kaget melihat adegan tersebut. Aku tersenyum masam. Aku mengarahkan mataku ke arah bartender di hadapanku. Ia terlalu lama mencampur minuman sehingga antrian jadi sangat panjang. Aku tidak tahu apakah itu karena minumannya dikenal sangat enak sehingga orang-orang antri atau justru karena pengunjungnya tahu betapa lamanya menunggu pesanan minuman di sana sehingga mereka bisa berciuman selama mungkin di depan kedai itu! Entahlah!

Yang pasti, aku merasa ini bukan duniaku. Aku terasing. Tak bisa bicara. Tak bisa ke mana-mana. Kakiku melangkah tapi jiwaku seperti duduk karena kelelahan. Aku seperti robot yang berjalan tanpa jiwa. Aku berhenti di sebuah toko buku yang hampir tutup. Aku berkeliling sebentar sebelum akhirnya keluar karena memang jam kerjanya sudah selesai. Beberapa penjaga tokonya melepas seragam coklatnya yang seperti celemek melebihi batas dengkul dan mulai berbenah.

“Kita tunggu mereka di luar yuk, Ne.”
Itu suara Yunni. Aku mengangguk. Aku menatap jalanan yang lampu-lampunya mulai dipadamkan.
“Kamu tahu tidak, Ne. Jauh sebelum aku tahu kamu akan ke sini….aku mimpi kamu.”
Aku tertegun karena tak menyangka ia akan berkata demikian.
“Oh ya? Mimpi apa?”
“Aku mimpi ketemu kamu dan kenalan dengan kamu. Aku pikir Agustus tahun lalu kamu ikut Ko Philip ke Taiwan. Ternyata….tidak. Jadi, aku pikir itu cuma mimpi aja. Eh, kamu baru ke Taiwan tahun ini. Aku senang banget lho waktu tahu kalau kamu ikut ke sini,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Tiba-tiba saja kelelahanku hilang. Aku bergairah. Aku merasa Taiwan adalah negara yang menarik. Aku tersanjung sekali mendengar kata-katanya itu. Ia bermimpi ketemu aku? Orang biasa ini? Untuk apa? Untuk mendapatkan doa berkatku? Ah, Yunni! Ada-ada saja!

“Lho, bener! Aku tidak bohong, Ne! Karena itu aku senang sekali waktu diberitahu kalau kamu akan datang ke sini. Sayang kamu tidak datang tanggal 31 Januari kemarin. Laose sudah menyediakan tempat di rumahnya untuk kamu. Kita sudah merancang acara jalan-jalan dengan kamu…..,” jelasnya buru-buru karena tahu aku tak percaya.
Aku langsung terdiam. Kalian memperlakukan aku dengan sangat baik tetapi aku terlambat menyadarinya. Aku menceritakan nubuatan Pak Benaiah kepadanya.
“Kamu tidak ada di nubuatan itu secara spesifik, Yunni. Tetapi kamu ada di hatiku…”
Ia tersenyum lebar dan memelukku erat-erat.
“Aku juga. Aku juga, Ne.”

Ah, indahnya persahabatan ini. Sayangnya cuma 10 hari! Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak mau menunjukkan kesedihanku kepadanya. Aku mulai tengelam dalam lamunan ketika aku dikagetkan oleh tarikan tangan Yunni.
“Ayo, Ne! Kita ke arah sana, yuk! Itu mereka sudah di sana!”
Aku mengangguk lemah. Aku mengikuti langkahnya sementara pikiranku melayang ke mana-mana. Aku melewati keramaian pasar malam di Taipei dengan pikiran yang tidak fokus. Aku letih tetapi tidak diberi pilihan untuk berhenti. Aku teringat dengan permintaan oleh-oleh dari teman-teman di Surabaya yang jumlahnya sudah mereka tentukan.
“Minimal Rp. 150.000 untuk aku ya, Ne! Jangan lupa lho!”

Aku bergidik. Minimal? Itu angka minimal untuk satu orang! Kalau aku punya 10 teman ‘kan jadi angka fantastis! Aku tertawa kecil. Menggelikan! Persahabatan yang benar-benar menggelikan! Atau memang aku yang bodoh karena di antara kami bertiga hanya aku yang paling enggan minta sesuatu kepada orang lain! Aku tidak pernah meminta apapun kepada siapapun, bahkan dengan alasan yang paling rohani sekalipun! Tidak pernah! Aku tidak mau merepotkan orang yang akan bepergian dengan membelanjakan jutaan uangnya hanya untuk membelikan cincin, baju, jas, kalung, kue atau apapun….kecuali kalau ia membelikan novel “Inferno” karya Dante Alleghieri.

Tetapi….teori itu dipatahkan oleh Anita, Mei en, Laose, Scotty, Yunni dan orang-orang POKI. Aku kedinginan Sabtu sore itu. Aku berdiri menghadap bendungan besar yang terhampar di depan kamar Hotel “Bitan” sambil menunggu jemputan. Udara dingin yang menusuk tulang sempat membuat perutku kram. Aku nyaris memutuskan untuk tidak ikut retreat TKW yang dilayani oleh Ko Philip malam itu. Tetapi…aku juga malas ditinggal sendirian di kamar hotel yang menyediakan acara televisi yang “benar-benar tidak jelas” dan menyediakan perangkat mandi (shower cup, tooth brush, comb, Shaver, dll.) dengan kemasan menggelikan!

Jadi aku senang ketika Anita dan Yunni meneleponku, hanya untuk bertanya apakah sudah siap berangkat.
“Nit, aku lapar banget. Aku mau Pop Mie.”
“Oke. Oke, kita akan ke Supermarket sekarang, ya. Kita akan belikan kalian roti dan Pop Mie. Sabar ya. Sebentar lagi kita akan ke sana,” kata Anita dari seberang sana.
Setelah itu ia menutup telepon. Aku pun menutup telepon hotel tersebut dan mengucapkan Xie-Xie kepada seorang gadis putih cantik berleher jenjang dengan rambut lurus sepunggung. Riasan wajahnya serasi dengan baju seragam hotel yang ia kenakan. Sayangnya ia tidak bisa bahasa Inggris dan aku tidak bisa bahasa mandarin.

Maka terjadilah kebisuan yang cukup panjang selama aku menunggu Ko Philip turun dari lantai 11. Tigapuluh menit kemudian rombongan POKI datang. Mereka mengeluarkan makanan dari kantung plastik belanjaan yang mereka bawa dan menyodorkan sepotong roti keju kepadaku. Aku memakannya seperti lama sekali tidak pernah makan roti! Lahap sekali!
Sakit perutku ditambah rasa dingin karena berada di area pegunungan, semakin membuatku enggan pergi. Berkali-kali aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku dan berharap kehangatannya terasa…nyatanya panasnya yang tak seberapa dikalahkan oleh tiupan angin dan hujan yang turun malam itu. Upf! Aku baru bisa mengalahkan rasa sakitnya ketika melihat pemandangan indah yang terhampar di depanku. Aku takjub!

Hamparan hijau dedaunan berbaur dengan warna kuning kecoklatan menyatu dengan gazebo, sungai kecil berbatu besar yang airnya dangkal serta gunung tinggi di samping kiriku. Di hadapanku berdiri sebuah rumah yang terbuat dari papan kayu bercat putih.
Di samping kanannya terdapat sebuah bangsal tanpa dinding, berdiri dengan bantuan beberapa tiang penyangga saja. Di atasnya terpancang sebuah papan buram dengan tulisan mandarin. Aku tidak tahu apa artinya!

Aku makan semangkuk Pop Mie buatan Korea di salah satu bangkunya. Rasa hangat menjalar ke seluruh wajahku ketika aku meniup panas kuahnya yang berbau khas. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Mendadak aku teringat dengan makanan instan yang Yunni berikan kepadaku pagi tadi. Makanan sejenis lemper yang kulit luarnya seperti ketan putih atau beras yang dilapisi rumput laut dan berisi abon daging ikan tuna.
“Aku sudah kenyang. Mungkin Ko Philip mau memakannya, jadi lebih baik aku berikan kepadanya saja,” pikirku.
Aku menyimpannya di tas kamera videoku. Aku mulai melewatkan sesi-sesinya dengan mata setengah mengantuk. Lelah sekali. Sesekali aku berusaha membunuh kantuk dengan berkeliling mengambil gambar dan minum segelas kopi.

Ah, kopi….jadi kangen dengan Torabika Capuccinoku yang masih tersisa 2 sachet di kamar. Hm, seandainya aku bisa membawanya ke tempat ini. Sayang sekali….karena terburu-buru aku lupa membawanya. Aku masih teringat kepada percakapan awalku dengan Yunni, perjumpaanku dengan Anita di bandara beberapa hari lalu dan jalan-jalan bersama Scotty dan Mei En. Tak terasa sudah 9 hari bersama. Minggu besok adalah hari terakhirku bersama mereka.

Mengapa tiap pertemuan pasti diselingi perpisahan? Hidup memang penuh dengan misteri yang tak terpecahkan! Akhirnya sesi Ko Philip selesai juga. Kami berdua pulang ke hotel diantar orang-orang POKI. Aku menyerahkan “lemper Taiwan” yang kusimpan tadi kepada Ko Philip. Aku pikir pasti dia lebih lapar dari aku. Awalnya Ko Philip menolak makanan tersebut, tetapi akhirnya aku berhasil memaksanya untuk menerimanya. Di tengah perjalanan tiba-tiba Ko Philip mengatakan sesuatu yang membuatku terpana.

“Kamu beruntung, Ne. Kamu datang pada saat udara di sini sudah tidak terlalu dingin. Padahal waktu 31 Januari kemarin, di sini dingin sekali,” katanya sambil tersenyum.
Semua yang di dalam mobil itu mengiyakan. Aku terdiam. Oh ya? Wah! Aku jadi terharu. Untuk urusan yang paling tidak penting pun Tuhan mau mendengar dan menjawabnya…apalagi kalau hal itu penting bagiNya dan aku.


READ MORE - “SEPERTI KAMU JUGA!”